Oleh:
Jacika Pifi Nugraheni
Dosen Ilmu Administrasi Negara Universitas Slamet Riyadi Surakarta
“Lapor ke mana, Bu? Ke siapa saya harus cerita?” Pertanyaan ini acap muncul dari para korban kekerasan seksual. Sayangnya, setelah laporan dibuat, penderitaan justru berlanjut. Tidak hanya karena proses hukum yang lambat, tetapi juga karena minimnya layanan pemulihan psikologis dan kesehatan mental yang terintegrasi. Negara masih tertinggal dalam membangun ekosistem yang melindungi korban secara utuh.
Angka Naik, Layanan Jalan di Tempat
Data terbaru dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan naik 9,77% pada tahun 2024. Total laporan mencapai 445.502 kasus, dengan 330.097 kasus merupakan kekerasan berbasis gender (KBGtP). Kekerasan seksual menduduki posisi dominan, baik di ranah komunitas maupun personal, dengan lebih dari 20.000 kasus tercatat di berbagai mitra pendataan.
Ironisnya, lonjakan ini tidak dibarengi dengan kesiapan layanan pemulihan korban. Trauma jangka panjang seperti PTSD, gangguan kecemasan, bahkan upaya bunuh diri, tak tertangani karena layanan psikologis belum terinstitusionalkan secara nasional. Banyak puskesmas belum memiliki psikolog klinis, belum ada SOP penanganan trauma seksual, dan minim rujukan berjenjang. Bahkan, dalam banyak kasus, pendampingan psikososial baru hadir setelah tekanan publik meningkat.
Kasus Viral: Bukti Negara Belum Hadir
Kasus paling aktual terjadi pada Maret 2025, ketika AKBP Fajar Widyadharma Lukman dilaporkan melakukan pencabulan. Korban terdiri dari tiga anak (usia 6, 13, dan 16 tahun) serta seorang perempuan dewasa. KemenPPPA akhirnya menyatakan bahwa korban telah menerima pendampingan psikososial. Namun hal ini justru menimbulkan pertanyaan besar: mengapa respons negara baru muncul setelah kasus viral? Apakah kita memiliki sistem respons yang konsisten dan tanggap, atau justru reaktif dan insidentil?
Kasus lain dari Indramayu menunjukkan betapa tragisnya dampak kekerasan seksual. Seorang siswi SD diperkosa oleh sekelompok remaja punk. Sang ibu, tak kuat menahan beban, meninggal dunia karena syok. Lagi-lagi, intervensi psikososial berkelanjutan bagi korban dan keluarga tidak terdengar.
Undang-Undang Tak Cukup, Sistem Harus Diciptakan
Indonesia sejatinya telah memiliki landasan hukum yang cukup, seperti UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, hukum hanya akan menjadi teks kosong jika tidak dibarengi dengan sistem implementasi yang hidup. Pasal-pasal yang menjamin pemulihan korban masih sering berhenti pada niat baik, belum menyentuh pada anggaran, SDM, dan kelembagaan yang nyata di lapangan.
Program seperti Rumah Aman atau P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) belum merata di semua daerah. Bahkan, banyak yang belum memiliki tenaga profesional tetap. Hal ini mencerminkan ketimpangan dan ketidaksiapan birokrasi lokal dalam menjawab krisis kekerasan seksual.
Membangun Sistem, Bukan Seremoni
Deklarasi “Kota Layak Anak”, “Kota Ramah Perempuan”, atau “Zona Integritas Bebas Kekerasan Seksual” harus berhenti menjadi jargon seremonial. Tanpa regulasi daerah yang jelas, anggaran terencana, dan koordinasi antar-instansi, korban tetap akan menjadi korban dua kali.
Untuk membangun sistem yang tangguh, negara perlu merancang arsitektur layanan pemulihan yang operasional dan mudah diakses. Setiap kabupaten/kota harus memiliki peta layanan pemulihan korban yang terintegrasi dari hulu ke hilir mulai dari laporan awal, pendampingan hukum, layanan psikologis dan medis, hingga reintegrasi sosial korban. Digitalisasi sistem pelaporan dan pemantauan juga menjadi kunci, agar korban dapat mengakses bantuan tanpa takut, malu, atau terhambat oleh birokrasi.
Pemerintah pusat perlu membuat pedoman teknis (juknis) pemulihan korban sebagai acuan wajib bagi pemda, termasuk indikator kinerja layanan, standar operasional, hingga mekanisme audit berkala. Selain itu, perlu dibentuk forum koordinasi lintas sektor di tiap daerah yang melibatkan lembaga layanan, organisasi masyarakat sipil, serta tokoh agama dan adat, agar pendekatan yang digunakan tetap kontekstual dan inklusif.
Institusionalisasi layanan pemulihan harus dimulai dari hal-hal tataran konkret. Integrasi hulu ke hilir dapat dilakukan antara lain : 1) Setiap daerah dapat diwajibkan membentuk Pusat Layanan Terpadu Pemulihan Korban Kekerasan Seksual, berbasis RSUD, puskesmas, atau lembaga sosial. 2) Psikolog, konselor, dan pendamping korban harus menjadi bagian sistem ASN dan ditempatkan di unit-unit layanan publik. 3) Sekolah dan kampus harus memiliki Unit Layanan Psikososial dengan akses rujukan langsung ke layanan kesehatan mental.
Investasi anggaran perlu diarahkan pada pelatihan petugas, penguatan infrastruktur, serta penyediaan rumah aman dan layanan 24 jam yang responsif dan berpihak pada korban.
Belajar dari Praktik Baik
Di Yogyakarta, LRC-KJHAM (Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia) berkolaborasi dengan berbagai pihak. Pada semester pertama 2024 LRC-KJHAM telah mendampingi lebih dari 20 kasus di berbagai wilayah, mulai dari pendampingan hukum, psikologis, mitigasi krisis, hingga advokasi kebijakan. Selain itu, di Solo, SPEK?HAM (Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan HAM) secara proaktif mengumpulkan dan menangani 75 kasus kekerasan berbasis gender pada 2023, termasuk 11 kasus kekerasan seksual. Mereka menyediakan layanan konsultasi hukum, mediasi, pendampingan, call center krisis, bahkan ‘Lumbung Perempuan’ untuk pendanaan pemulihan korban dan pemberdayaan ekonomi. Meskipun menghadapi kendala seperti minimnya pemahaman aparat dan belum adanya UPT khusus, Spek?HAM tetap menjadi garda terdepan.
Ini menunjukkan bahwa sistem pemulihan masih sangat bergantung pada inisiatif komunitas, bukan kebijakan negara. Padahal, mandat pemulihan korban telah jelas diatur dalam UU TPKS. Praktik-praktik ini dapat menjadi model nasional jika didukung penuh oleh negara.
Membangun Sistem yang Sensitif
Pendekatan ini menuntut birokrasi yang adaptif, yang mampu membaca dinamika sosial dan merespons kebutuhan korban secara kontekstual. Pengambilan keputusan harus berbasis data lokal, bukan sekadar meniru kebijakan daerah lain. Dengan demikian, sistem pemulihan dapat tumbuh sebagai bagian dari ekosistem sosial, bukan elemen asing yang hanya hadir saat krisis. Ini mencerminkan bentuk kebijakan yang agile atau fleksibel, cepat merespons perubahan, dan selaras dengan perkembangan tuntutan masyarakat modern yang kian sadar hak dan keadilan. Pemerintah pusat cukup bertindak sebagai holding policy, menyediakan kerangka hukum dan arah kebijakan umum, sementara aturan spesifik dan teknis harus dirancang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan kapasitas sumber daya manusia di tiap daerah. Daerah dengan keterbatasan psikolog klinis, misalnya, dapat mengembangkan sistem kemitraan dengan komunitas lokal atau perguruan tinggi, sambil memperkuat pelatihan berbasis kebutuhan nyata di lapangan. Hanya dengan cara inilah sistem pemulihan dapat benar-benar hidup, lentur, dan membumi.
Pendekatan ini penting diperhatikan, dalam era di mana informasi menyebar cepat dan tekanan publik tak bisa diabaikan, kebijakan yang lambat dan seragam justru akan kehilangan legitimasi sosialnya.
Dalam perspektif ekologi administrasi, kebijakan bukan hanya soal aturan dan anggaran. Ia harus berpijak pada realitas sosial yang kompleks. Negara harus peka terhadap luka sosial yang tidak kasatmata. Trauma psikologis adalah bagian dari krisis kebijakan jika tidak ditangani serius. Dalam kerangka ini, sistem pemulihan harus dirancang dengan memahami ekosistem sosial korban: dari keluarga, sekolah, lingkungan, hingga budaya lokal.
Kekerasan seksual tidak bisa ditanggulangi hanya dengan penindakan hukum. Ia butuh sistem pemulihan yang hidup, berjenjang, dan berpihak pada korban. Kementerian dan dinas harus disinergikan; pemulihan tidak bisa hanya ditangani oleh KemenPPPA, tapi juga Kemendagri, Kemenkes, dan bahkan Kemendikbudristek.
Pemulihan sebagai Agenda Publik
Jika negara tak hadir dalam pemulihan, maka korban hanya berpindah dari ruang gelap ke ruang kosong. Dalam kekosongan itulah, mereka bertarung sendiri dengan luka. Sudah saatnya negara tidak hanya mengatur, tapi juga memulihkan. Sudah saatnya trauma tidak dianggap sebagai urusan pribadi, tetapi sebagai tanggung jawab publik. Membentuk sistem pemulihan bukanlah kerja pilihan, melainkan kewajiban moral dan administratif dalam negara hukum yang beradab.
———– *** ————