Tarif BPJS akan berubah seiring dengan sistem KRIS (Kelas Rawat Inap Standar), mulai Juli 2025. BPJS patut meng-godok seksama skema nominal tarif, sesuai asas keadilan layanan kesehatan. Harus diakui, BPJS menjadi pilar utama kesehatran masyarakat. Terbukti dari kesertaan yang mencapai 98% dari total masyarakat Indonesia. Tergolong rekor dunia. Namun jumlah masyarakat Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri juga naik pesat. Terutama kalangan keluarga kaya, artis, dan pejabat tinggi.
Berdasar data survei tahun 2024, lebih dari 1 juta warga Indonesia berobat ke luar negeri setiap tahun. Angkanya melonjak dua kali dibanding tahun 2022. Konon disebabkan cerita dari mulut ke mulut. Sehingga minta berobat ke luar negeri semakin meningkat. Malaysia menjadi tujuan paling favorit, terutama Penang. Disusul Singapura, China, dan Korea Selatan. Biaya (devisa) yang dibelanjakan ditaksir mencapai US$11,5 miliar (setara Rp 170-an triliun). akibat warga berobat di luar negeri.
Berobat ke luar negeri tidak dapat dicegah, karena berkait kepercayaan. Juga prosedur pelayanan. Berdasar penuturan, tingkat kepuasan hampir mencapai sempurna (95%). Membuktikan masih terdapat angka 5% “ruang pilihan.” Sesungguhnya, warga Indonesia lebih suka berobat di dalam negeri. Dengan catatan, terdapat jaminan (yang 95%) bisa diperoleh di dalam negeri. Berobat di dekat rumah, lebih menenteramkan.
Beberapa aspek yang membuat kepuasan berobat ke luar negeri (terutama Penang), meliputi obat, dokter, dan layanan rumah sakit dengan peralatan canggih. Dalam hal obat, terdapat “inovatif” penyediaan dari jenis obat-obatan baru dengan zat adiktif sebagai entitas kimia baru yang belum digunakan dalam obat lain. Menjadi entitas kimia baru (New Chemical Entity, NCE). Penyediaan “obat inovatif” bukan asal resep, melainkan di-awali edukasi, dengan berbagai pilihan. Namun, Indonesia hanya memiliki ketersediaan obat inovatif sebesar 9%, terendah di Asia-Pasifik.
Viral di media sosial, seorang artis sekaligus anggota DPR-RI, bercerita tentang penebusan obat. Dokter di rumah sakit Penang, Malaysia memberitahu, bahwa harga obat di apotek luar rumah sakit, lebih murah. Obat yang tergolong NCE, impor, tetapi tidak dikenakan pajak. Tingkat kepuasan berobat ke luar negeri, berdasar survei, adalah peralatan medis yang canggih. Anehnya, walau canggih, peralatan tidak ber-tarif mahal. Ternyata pemerintah Malaysia, tidak memungut pajak untuk peralatan medis.
Di luar BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan Indonesia, ongkos berobat ke Penang, kondang lebih murah. Karena biaya konsultasi dokter, operasi, hingga obat-obatan bisa lebih terjangkau. Bahkan bisa lebih murah 30% hingga 50% untuk beberapa prosedur tertentu. Tetapi niscaya, diperlukan biaya ekstra, berupa tiket pesawat. Namun malah menjadi daya tarik sebagai “wisata pengobatan.” Sekarang, hamper seluruh dokter, dan perawat sudah biasa berbahasa Indonesia.
Tetapi dengan BPJS, tiada pengobatan yang lebih murah dibanding di Indonesia. Termasuk penanganan rutin hemodialisis (cuci darah). Secara total BPJS Kesehatan menanggung sebanyak 144 jenis penyakit. BPJS Kesehatan telah tertera dalam UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Konstitusi meng-garansi jaminan sosial sebagai hak asasi manusia (HAM).
UUD pasal 34 ayat (2), menyatakan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Jaminan sosial yang tertulis dalam UUD ini, diadopsi dari falsaafah ideologi negara, Pancasila, sila ke-2, dan ke-5.
Pemerintah patut meningkatkan layanan kesehatan, termasuk tidak memungut pajak untuk peralatan medis (dan obat-obatan).
——— 000 ———