Oleh :
Arin Setiyowati
Dosen Ekonomi Islam di Prodi Perbankan Syariah FAI Univ. Muhammadiyah Surabaya
Idul Adha kembali menyapa umat Islam dengan gema takbir yang menyentuh langit. Namun, di balik kemeriahan perayaan dan aroma daging yang menggoda, ada kenyataan sosial yang kerap luput dari perhatian kita. Yakni ketimpangan sosial, pengangguran dan kemiskinan yang masih menghantui banyak sudut negeri ini. Sementara sebagian masyarakat mampu membeli sapi untuk dikurbankan, sebagian lainnya bahkan kesulitan membeli beras untuk makan sehari-hari.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia mencapai 4,76 persen, yang berarti sekitar 7,28 juta orang tidak memiliki pekerjaan. Selain itu, gini ratio (indikator ketimpangan pengeluaran) pada September 2024 tercatat sebesar 0,381, hal tersebut mencerminkan bahwa ketimpangan yang masih tinggi, terutama di perkotaan dengan angka 0,402.
Dalam situasi seperti itu, tentu momentum idul kurban tidak boleh dipahami hanya sebagai ritual keagamaan tahunan. Kurban harus menjadi cermin kepekaan sosial, sarana distribusi kekayaan serta wujud nyata solidaritas kemanusiaan. Ia bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih egoisme pribadi untuk menghidupkan empati sosial.
Islam sejak awal telah menempatkan ibadah dalam dimensi spiritual sekaligus sosial. Sebagaimana QS. Al-Hajj ayat 37 menegaskan bahwa “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang sampai kepada-Nya.” Ayat ini memperjelas bahwa nilai kurban tidak diukur dari jumlah hewan yang disembelih, melainkan dari seberapa besar dampak sosialnya bagi sesama.
Kurban, Tauhid Sosial dan Ekonomi Solidaritas
Kurban adalah salah satu bentuk Tauhid, namun Tauhid yang hanya menyentuh aspek vertikal (hablumminallah) belum cukup. Kurban juga harus bermuara pada relasi horizontal (hablumminannas). Dalam konteks ini, kurban adalah bentuk social piety (keshalehan sosial) yang menjembatani dimensi ibadah dengan kebutuhan umat.
Ketika Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan Ismail atas perintah Tuhan, itu adalah bentuk kepatuhan spiritual. Namun pengorbanan itu menjadi teladan transformatif karena mengajarkan ketulusan melepaskan sesuatu yang sangat dicintai demi kemaslahatan yang lebih besar. Spirit inilah yang perlu dihidupkan dalam pelaksanaan kurban hari ini.
Model kurban yang ideal bukan hanya tentang “siapa paling besar maupun banyak hewan kurbannya”, tetapi lebih kepada “siapa paling besar dampak sosialnya”. Di sinilah konsep ekonomi solidaritas Islam relevan, sebuah tatanan ekonomi yang bertumpu pada prinsip keadilan, pemerataan, dan kepedulian terhadap kelompok rentan. Dalam praktiknya, ekonomi solidaritas dapat mewujud melalui kurban yang dikelola bersama, disalurkan secara strategis, bahkan diolah menjadi produk pangan tahan lama untuk distribusi yang lebih luas dan berkelanjutan.
Lembaga-lembaga sosial Islam seperti BAZNAS, LAZISMU, LAZISNU, Dompet Dhuafa, dan lainnya punya peran besar dalam mengelola kurban ke arah ini. Kolaborasi antara masjid, pesantren, koperasi dan UMKM juga bisa menjadi jalur distribusi kurban berbasis komunitas. Daging kurban dapat dijadikan bahan baku untuk program ketahanan pangan lokal, atau diolah menjadi produk bernilai tambah oleh kelompok usaha binaan.
Mengkritisi Seremonialisme dan Konsumtivisme dalam Kurban
Sayangnya, pelaksanaan kurban saat ini masih banyak yang bersifat seremonial dan konsumtif. Tidak sedikit masyarakat yang menjadikan momen kurban sebagai ajang “pamer sosial” atau ritual yang berhenti pada simbolisme belaka. Padahal, esensi ibadah ini adalah tentang keikhlasan, keberpihakan dan keberdayaan.
Di beberapa daerah, distribusi daging tidak proporsional. Ada keluarga yang menerima lebih dari tiga kantong daging, sementara keluarga lain tak tersentuh sama sekali. Belum lagi praktik pemborosan dan limbah makanan yang meningkat drastis saat Idul Adha. Hal ini terkonfirmasi dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa limbah makanan pada periode kurban bisa meningkat hingga 30 persen dibanding hari biasa.
Fenomena ini menggambarkan bahwa kurban seringkali terjebak dalam logika konsumsi. Daging menjadi komoditas sesaat bukan solusi jangka panjang. Padahal dalam Islam, keberkahan terletak pada kebermanfaatan. Sebagaimana dalam QS. Al-A’raf ayat 31 mengingatkan kita bahwa “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Artinya, penting bagi kita untuk menggeser paradigma dari kurban seremonial menuju kurban sosial. Dari sekadar menyembelih hewan, menjadi menyembelih rasa egoisme dan eksklusivisme. Dari ajang personal, menjadi instrumen pemberdayaan umat.
Kurban sebagai Gerakan Empati dan Transformasi Sosial
Kurban pada hakikatnya adalah proyek peradaban. Ia bukan hanya tentang hari raya, tetapi tentang arah masa depan umat. Ketika kurban dijalankan dengan prinsip empati, kolaborasi dan kebermanfaatan jangka panjang, maka ia akan melahirkan tatanan sosial yang lebih adil dan berkeadaban.
Menghidupkan kembali semangat kurban sebagai gerakan keadilan sosial adalah kebutuhan mendesak. Kurban bisa menjadi titik temu antara spiritualitas dan solusi atas problem sosial-ekonomi. Ia bisa menjadi sarana pendidikan moral, pembentukan karakter sosial dan penggerak ekonomi kerakyatan.
Sudah saatnya kurban tidak hanya dimonopoli oleh mereka yang mampu membeli hewan. Dengan model kolektif, gotong royong dan distribusi adil, setiap orang bisa terlibat. Manfaat kurban pun tidak hanya berhenti di hari tasyrik, tapi bisa memberi dampak berkelanjutan bagi kehidupan masyarakat miskin, pengungsi, tukang becak, buruh tani, anak yatim, buruh nelayan dan kelompok rentan lainnya.
Kita bisa memulainya dari hal sederhana dengan menyalurkan kurban melalui lembaga yang transparan, mengajak tetangga untuk patungan atau mengatur distribusi dengan lebih adil. Bahkan menyadarkan masyarakat bahwa kurban tidak harus selalu mewah, tapi harus bermakna.
Dari Pengorbanan Menuju Perubahan
Idul Adha merupakan momentum untuk merefleksikan ulang makna pengorbanan. Di tengah ketimpangan sosial yang masih nyata, kurban harus kembali pada hakikatnya yakni mendekatkan diri kepada Allah sekaligus menebar manfaat bagi sesama. Dari pengorbanan Nabi Ibrahim kita belajar bahwa cinta sejati kepada Tuhan tidak bisa dilepaskan dari keberanian untuk memberi dan berempati.
Kurban sejatinya adalah potongan daging yang menjembatani hati antar manusia. Ia memotong egoisme, menyambung solidaritas dan mengalirkan keadilan. Saat umat Islam mampu memaknai kurban sebagai instrumen sosial, maka lahirlah peradaban yang tidak hanya saleh secara ritual tetapi juga kuat secara sosial.
Mari jadikan kurban tahun ini sebagai ruang untuk memperkuat kesalehan sosial kita. Bukan sekadar menyembelih, tetapi juga menyentuh. Bukan hanya berbagi daging, tetapi juga berbagi harapan. Sebab dalam kurban terkandung energi perubahan. Dan dari pengorbanan itulah kita membangun masa depan yang lebih adil dan berperikemanusiaan.
———— *** —————