Wahyuddin Fahrurrijal
Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Beritanya mulai menghilang, namanya mulai jarang dibicarakan, bahkan seakan dunia media pun seakan berusaha menutupkan mata kita tentang betapa menderitanya anak-anak, orang dewasa, orang tua, para ibu, wanita yang sampai hari ini masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan, ancaman dan hal-hal mengerikan lainnya. Sejak konflik kembali pecah pertama kali pada Sabtu, 17 Oktober 2023 saat kelompok Hamas yang menguasai Gaza melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Israel dan direspons oleh Israel dengan pernyataan perang, masih menjadi pemberitaan hingga saat ini. Sejak dimulainya konflik Palestina-Israel yang masih berlangsung hingga kini, tercatat sebanyak 50.695 warga Palestina telah tewas yang mayoritas anak-anak dan perempuan. Jumlah korban ini akan terus bertambah jika konflik terus berlangsung. Namun hari ini, pemberitaan tentang konflik itu mulai memudar. Nama “Palestina” kian jarang muncul di layar-layar media. Kondisi di Gaza yang semakin parah dengan rumah sakit yang hancur, anak-anak yang kelaparan, dan keluarga yang hidup dalam reruntuhan tidak lagi menjadi sorotan utama. Dunia perlahan diam.
Narasi besar tentang “perdamaian”, “hak asasi manusia”, dan “solidaritas global” yang dulu sering digaungkan, kini terasa hampa ketika dihadapkan pada realita genosida yang berlangsung di depan mata. Hanya suara-suara minor yang masih terdengar dan terbaca yang menyuarakan tentang Palestina, tentang bagaimana kondisi mereka disana. Hanya baru-baru ini kembali, ketika Israel kembali melancarkan serangan di Gaza meski adanya kesepakatan gencatan senjata. Tentu, serangan ini tak lepas dari “lampu hijau” Presiden Amerika, Donald Trump. Ironisnya, meskipun berulang kali berjanji untuk menghentikan perang dan melakukan gencatan senjata, Israel selalu mengingkari Lantas, Masih adakah kemanusiaan di Palestina? Masih adakah tempat bagi air mata seorang ibu dan ayah yang kehilangan anak-anaknya karena serangan udara? Masih adakah perhatian untuk seorang anak yang terbangun setiap malam karena dentuman bom yang menghantam silih berganti? Jika dunia memilih diam, dan media memilih bungkam, maka siapa yang akan menyuarakan penderitaan mereka? Kemanusiaan seharusnya tidak memiliki syarat. Ia seharusnya bersuara paling lantang saat ketidakadilan merajalela.
Namun kini, kemanusiaan itu sendiri dipertanyakan, bukan karena tidak ada, tetapi karena terlalu banyak yang memilih untuk tidak peduli. Inilah saatnya kita bertanya bukan hanya “masih adakah kemanusiaan di Palestina?” tetapi juga “masih adakah kemanusiaan di dalam diri kita? Sebab kemanusiaan sejati diuji bukan ketika segalanya tenang dan nyaman tetapi ketika kita dihadapkan pada penderitaan yang tidak menyentuh langsung hidup kita, namun tetap meminta kita untuk peduli. Jika kita masih punya hati, maka kita tidak bisa terus diam. Kita harus bersuara, sekecil apa pun, sebab diam adalah bentuk lain dari persetujuan. Dan sejarah akan mengingat bahwa siapa yang berdiri di sisi yang benar, dan siapa yang memilih membisu saat kemanusiaan digilas tanpa rasa menyesal.
Perspektif Psikologi: Mengapa Banyak Orang Bisa Diam?
Dari sudut pandang psikologi, fenomena ini dikenal sebagai “empat musuh empati”: jarak emosional, desensitisasi, rasa tidak berdaya, dan normalisasi kekerasan. (1) Jarak Emosional, ini terjadi saat seseorang merasa terlalu jauh secara geografis, budaya, atau pengalaman dari korban yang sedang menderita. Banyak orang tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya tinggal di Gaza, hidup di bawah bayang-bayang bom, kehilangan anak dalam waktu sekejap, atau tidak bisa makan selama berhari-hari. Karena tidak mengalaminya secara langsung, penderiaan warga Palestina dianggap sebagai “masalah mereka” bukan “masalah kita”, sehingga muncul jarak emosional yang membuat empati terasa tidak relevan. Hal ini membuat empati sulit timbuh karena otak manusia cenderung merespons lebuh kuat terhadap penderitaan yang merasa dekat secara pribadi. (2) Desensitisasi terjadi ketika seseorang terlalu sering terpapar pada gambaran penderitaan sehingga respon emosiaonalnya melemah. Dalam psikologi, ini sering disebut sebagai kelelahan empatik. Ketika tragedi terus-menerus ditampilkan, otak manusia mulai “mati rasa”. Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis, agar tidak terus merasa sakit, kita memilih untuk tidak merasa sama sekali.
(3) Rasa Tidak Berdaya, kondisi psikologis di mana seseorang merasa tidak ada tindakan yang bisa mereka ambil untuk membuat perubahan, sehingga mereka berhenti peduli atau bertindak. Banyak orang merasa, Apa gunanya peduli? Saya tidak bisa mengubah apa pun.” Rasa tidak berdaya ini akhirnya menumpulkan aksi. Ini disebut “learned helplessness” atau keadaan psikologis di mana seseorang berhenti mencoba karena merasa semua usaha sia-sia. Ini merupakan jebakan mental yang sangat berbahaya. (4) Normalisasi Kekerasan, terjadi ketika suatu bentuk kekerasan dianggap sebagai bagian rutin dari kehidupan atau konflik tertentu. Ini membuat kekejaman tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang mengejutkan atau memerlukan respon. Dalam konflik yang berlangsung puluhan tahun, banyak pihak mulai menganggap kekerasan sebagai bagian dari “konflik biasa”. Ini sangat berbahaya. Saat kita menganggap kematian massal sebagai hal yang “normal”, maka empati sudah mati, dan kemanusiaan kehilangan maknanya. Hal ini lah yang seringkali membuat kita melihat tragedi yang mengguncang nurani justru direspons dengan apatis.
Meski demikian, kita tidak boleh kehilangan harapan. Kemanusiaan belum sepenuhnya hilang. Ia masih hidup dalam doa-doa orang tua yang kehilangan anaknya namun tetap berharap. Ia masih ada dalam suara-suara yang terus berseru, meski kecil, tapi tak pernah padam. Ia masih ada dalam kemarahan yang sehat, dalam air mata yang tidak malu untuk tumpah, dan dalam aksi-aksi kecil yang menolak untuk pasrah. Kita mungkin tidak bisa menghentikan perang. Tapi kita bisa menolak menjadi mati rasa. Kita bisa menolak untuk diam. Sebab pada akhirnya, bukan hanya sejarah yang akan menghakimi apa yang terjadi di Palestina, tapi juga bagaimana kita, manusia biasa, merespons tragedi itu. Dan ketika anak-anak Palestina bertanya suatu hari nanti, “Di mana dunia saat kami dihancurkan?”, semoga kita punya jawaban yang pantas untuk menjawabnya.
———— *** —————