Oleh :
Zainal Muttaqin
adalah founder Komunitas Santri Melek Teknologi (SAKTI) Indonesia dan Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur
Di sebuah sudut sunyi rumah keluarga Bupati Jepara pada penghujung abad ke-19, dua anak muda duduk menulis. Bukan untuk dikagumi, bukan pula untuk mengukir nama besar. Mereka menulis karena gelisah, karena cinta, dan karena cita-cita.
Yang pertama adalah seorang gadis muda yang kemudian dikenal sebagai Raden Ajeng Kartini, perempuan yang menulis untuk menyuarakan emansipasi. Yang kedua adalah kakaknya, Raden Mas Panji Sosrokartono, laki-laki tenang yang menulis dengan penuh rasa, menggali hikmah dari kata dan hidup.
Dua saudara ini berjalan di jalur berbeda, namun sejiwa: satu menulis untuk membebaskan perempuan, satu menulis untuk memuliakan manusia. Yang satu mewakili suara, yang satu mewakili rasa. Maka kisah mereka bukan hanya tentang keluarga, tetapi tentang dua jalan menuju terang: emansipasi dan rasa.
Kartini: Santri Komunikator Emansipasi
Kartini bukan hanya tokoh emansipasi. Ia juga seorang santri, pencari makna yang haus ilmu dan keberanian bertanya. Dalam salah satu suratnya, Kartini menulis kegalauannya: mengapa ia diajarkan membaca Al-Qur’an, tapi tak pernah diberi tahu artinya?
Pertanyaan itu mengantarnya pada pertemuan dengan Kiai Sholeh Darat, ulama besar dari Semarang. Dari beliau, Kartini menerima tafsir Al-Fatihah dalam bahasa Jawa, dan dari situ ia menemukan cahaya. Islam yang ia pahami bukan lagi sekadar tradisi, tapi jalan pembebasan: membebaskan dari kebodohan, dari ketimpangan, dari ketakutan berpikir.
Kartini adalah santri yang berpikir kritis tapi tetap santun. Ia menyerap ilmu dan menuliskannya menjadi surat-surat yang kini abadi. Bagi Kartini, menulis adalah ibadah; kata adalah perlawanan yang paling anggun.
Ia tidak marah, tidak menghujat. Ia menyentuh. Ia meyakinkan. Dan dengan itulah ia menggerakkan.
Kartono: Jurnalis Penempuh Jalan Sunyi
R.M.P. Sosrokartono, atau akrab disebut Kartono, mungkin tak sepopuler adiknya. Tapi jejaknya tak kalah mengagumkan. Kartono adalah jurnalis internasional, cendekiawan multibahasa, dan pelaku komunikasi damai lintas budaya. Ia menjadi koresponden New York Herald Tribune, fasih lebih dari 20 bahasa, dan mewakili Hindia Belanda dalam forum-forum dunia.
Sebagai jurnalis, Kartono bukan hanya cerdas, tapi juga tajam dan bermartabat. Ia menulis tidak sekadar untuk memberitakan, tapi untuk membangun pengertian. Dalam karyanya, ia memadukan presisi logika dengan kelembutan rasa, membawa rasa ke dalam setiap tulisan.
Namun, yang paling dalam dari Kartono adalah pilihannya di usia tua: meninggalkan hingar-bingar dunia dan memilih hidup sebagai pertapa, spiritualis, dan penebar ketenangan. Di masa itu, lahirlah tembang falsafi yang sangat dikenal di kalangan Jawa dan spiritualis Indonesia: Sugih Tanpo Bondo.
Liriknya menyentuh batin, menggambarkan filosofi hidup yang sederhana namun agung:
Sugih tanpo bondo
Digdoyo tanpo aji
Trimah mawi pasrah
Sepi pamrih, tebih ajrih
Langgeng tanpo susah, tanpo seneng
Anteng mantheng, sugeng jeneng
Kartono mengajarkan bahwa kaya bukan berarti berharta, kuat bukan berarti berilmu sihir, dan hidup bukan hanya tentang sukses duniawi. Ia mengajak manusia untuk hidup dalam rasa: menerima, memahami, dan menyatu dengan alam dan sesama.
Komunikator Jalan Perjuangan
Kartini dan Kartono adalah dua kutub yang saling melengkapi. Kartini menulis untuk menyuarakan. Kartono menulis untuk menyadarkan. Kartini adalah suara di luar. Kartono adalah suara di dalam. Kartini membela hak-hak perempuan. Kartono menyelami hakikat manusia.
Keduanya menunjukkan bahwa kata-kata bisa menjadi jalan perubahan. Bahwa tulisan bisa mengubah takdir, jika ditulis dengan jiwa yang jujur. Dan bahwa perjuangan tidak selalu harus dilakukan di jalanan, kadang ia dimulai dari perenungan, dari keheningan, dari pena yang mengalir tanpa amarah.
Jalan Terang Komunikasi Digital
Hari ini, kita hidup di era digital. Semua orang bisa berbicara, menulis, bahkan memengaruhi. Tapi tidak semua membawa rasa. Tidak semua bersuara dengan cinta. Dan tidak semua menyampaikan kebenaran.
Warisan Kartini dan Kartono memberi pelajaran penting: bahwa kata-kata harus mengandung tanggung jawab. Kartini menulis dengan nurani yang jernih. Ia menyampaikan fakta sosial dengan empati, bukan dengan kebencian. Kartono menulis dengan ketajaman batin, tidak tergoda untuk membesarkan sensasi atau membingkai informasi yang menyesatkan.
Dalam zaman di mana hoaks menyebar lebih cepat daripada kebenaran, kita belajar dari keduanya bahwa kejujuran adalah pondasi komunikasi yang bermartabat. Kartini tidak pernah mendramatisasi. Kartono tidak pernah memelintir. Keduanya memegang teguh etika dalam menyampaikan narasi apa adanya, tanpa tipu daya.
Maka menjadi Kartini masa kini berarti menyuarakan yang benar meski tidak populer. Menjadi Kartono masa kini berarti menahan diri dari menyebar apa yang belum pasti. Dalam dunia digital, memverifikasi adalah bentuk kasih sayang, dan menjaga kebenaran adalah bentuk ibadah batin.
Kita perlu lebih banyak rasa, lebih banyak kejujuran, lebih banyak kesadaran, lebih banyak kebijaksanaan. Karena pada akhirnya, kecerdasan tanpa integritas hanya akan menciptakan kebisingan, bukan perubahan.
Komentar Balasan Kita
Kartini dan Kartono sudah menulis untuk kita, dengan cinta dan nurani. Kini, di era media sosial dan ruang digital tanpa batas, kita tidak perlu lagi menulis surat panjang untuk menyampaikan balasan. Kita cukup hadir sebagai warga digital yang sadar, bijak, dan beretika.
Komentar balasan kita hari ini bukan dalam bentuk tinta di atas kertas, tapi dalam unggahan yang mencerahkan, dalam komentar yang menguatkan, dan dalam konten yang membangun kesadaran. Dalam setiap klik, kita memilih apakah akan meneruskan nilai kebaikan, atau sekadar ikut dalam arus kebisingan.
Kita bisa belajar menyampaikan seperti Kartini: jujur, tajam, menyentuh. Kita juga bisa berbagi seperti Kartono: tenang, dalam, penuh rasa. Dan di antara keduanya, kita bisa tumbuh sebagai pengguna digital yang tidak hanya pintar, tapi juga bermakna. jujur, tajam, menyentuh. Kita juga bisa hidup seperti Kartono: sederhana, tenang, dalam. Dan di antara keduanya, kita bisa tumbuh menjadi manusia yang tidak hanya pintar, tapi juga bijak.
Dua Saudara, Dua Cahaya
Emansipasi dan rasa adalah dua sisi dari manusia yang utuh. Kartini mengajarkan keberanian berpikir dan menyuarakan. Kartono mengajarkan kebijaksanaan dalam diam dan dalam makna. Dan dalam keduanya, kita temukan peta untuk menjadi manusia yang lebih luhur.
Karena pada akhirnya, perjuangan tidak hanya tentang menang, tapi juga tentang menghidupkan yang bermakna. Kartini dan Kartono telah memberi cahaya. Kini tugas kita: menjaganya tetap menyala.
———— *** —————