Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar ( PGSD ) Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo
Masih layakkah merayakan Hari Kartini setiap 21 April? Pertanyaan menyeruak menggeliat sekaligus memunculkan tudingan sekedar melanggengkan rutinitas historis minim makna. Persesi ini selayaknya mengedukasi khalayak saat ini bahwa di era pasca pendemi covid-19 terjadi de javu mirip-mirip dengan kondisi kartini masa lalu.Sanggul besar, pakaian adat lomba bernuansa keluwesan menjadi stigma manakala selebrasi kartini berlangsung di beberapa instansi. Euphoria hari kartini sekedar seremonial tersebut sudah sedemikian lamanya mengendap dalam mainstream warna negeri ini seakan menutup ruang alternatif seremonialnya..
Berpijak keseteraan perjuangan, sermonial tersebut secara tidak langsung mengingkari hakikat perjuangan kesetaraan yang disuarakan kartini. Perjuangan berbasis literasi menjadi akar kuat perubahan mainstream perempuan pada masa kartini tidak penah diseriusi untuk disemai pada generasi masa kini. Hais gelap terbitlah terang sebagai salah satu legacy literasi dari Kartini menegaskan pola perjuangan kepenulisan tersebut. Euphoria hari kartini justru menjadi hari penuh pengorbanan bagi kalangan utamanya dalam bidang pendidikan. Informasi untuk perayaan kartini sepanjang tahun dari sebuah lembaga penyewaan baju tradisional sampai kewalahan untuk menerima pesanan.
Perjuangan mengembangkan cita -cita kartini berbasis literasi sampai saat ini belum sepenuhnya Nampak tersaji dalam kultur kekinian negeri ini. jangankan mengembangkan literasi terbarukan sekedar menyampaikan pesan kesetaraan peran tidak sepenuhnya tampak dalam setiap tahapan seremonialnya. Deretan lomba bernuansa keluwesan lebih mengemuka sementara unjuk kreasi literasi tidak kunjung kesampaian. Fenomena ini tentunya berkebalikan dengan pola perjuangan kartini tersebut namun selayaknya perubahan mindset literasi harus terus dikembangkan melampaui batas -batas pembelenggunya.
Pelurusan makna
Kartini hadir dan menunjukkan betapa literasi memberikan ruh kuat pola perjuangan, mainstream ini secara tidak langsung mempersepsikan perjuangannya tidak semata-mata berkaitan emansipasi namun memperjuangan kesetaraan literasi. Habis gelap terbitlah terang sebagai tagline perjuangannya menunjukkan kekuatan pena diatas segalanya. Naskah surat yang kerapkali dimunculkan selama proses selebrasi hari kartini menjadi aktual sepanjang masa tanpa ada upaya pembendungnya.
Pesan literasi inilah yang selama ini luput dalam pola pembelajaran di negeri ini. Hakikat perlawanan penindasan baik berbasis kolonial maupun kultural sedemikian indah tersaji pada tulisan kartini. Sayangnya perspektif perlawanan ini tidak hadir proporsional dalam ruang-ruang pembelajaran di negeri ini. perlawanan berbasis liteasi ini pada akhirnya memberikan arah baru yang tidak tergantikan hingga saat ini menjadi pemikiran kuat emansipasi. Kajian literasi kartini sedemikian absurb bahkan cenderung terlupakan bagi seluruh elemen negeri.
Menjadi sedemikian naĂŻf manakala konteks kekinian literasi menjadi benda yang sedemikian ekslusif. Budaya baca sedemikian sulit terjaga sementara budaya tata tutur lebih mengemuka merupakan realitas yang dimunculkan dalam tata laku publik negeri ini. Memprihatinkannya jika kalangan pendidikan yang digadang-gadang menyemai generasi kartini terbarukan terabaikan dalam pengembangan literasinya.
Secara tidak langsung saya pernah melakukan observasi pada beberapa rekan pengajar pada jenjang SMP dan perguruan tinggi. Ketika salah satu opini menarik tersaji di media massa secara iseng saya lontarkan obrolan pada seorang teman, bu ada naskah menarik di koran lho? Respon teman tersebut teramat mencengangkan coba pak ceritakan apa isi naskahnya. Kisah lain manakala terjadi kasus pembunuhan di wilayah soloraya dan terekspos di media massa saya membuka obrolan pada teman tentang permasalahan tersebut dan dijawab dengan respon lebih mencengangkan maaf saya tidak pernah membaca Koran.
Respon dua teman tersebut bagi saya pribadi sedemikian mencengangkan dan teramat naĂŻf terlebih mereka bergerak di dunia pendidikan. Penghargaan karya literasi ternyata tidak dipersepsikan proporsional dan teramat mengkhawatirkan manakala mayoritas kalangan yang bergerak di bidang pendidikan melakukan laku serupa. Bukannya mengagungkan satu media cetak dengan media lain, keberadaam Koran sebagai salah satu media massa secara tidak langsung menjadi representasi minat baca, jika untuk membaca media saja tidak mau bagaimanakah dengan pola pengenbangan literasi ?.
Mungkin dianggap usang namun manakala membaca Pemberitaan di laman JPNN edisi 12 April 2016 menyatakan berdasarkan Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University,. Bahwa, tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat ketinggalan. Indonesia berada di urutan ke-60 dari total 61 negara. Guyonan teman pengunggah artikel tersebut berseloroh bahwa suvey tersebut tidak sepenuhnya benar mengingat saat ini sebenarnya minat membaca orang Indonesia meningkat pesat utamanya membaca status orang lain di media sosial.
Fenomena ini selayaknya menjadikan emansipasi kartini dihadirkan dengan pembelajaran literasi memadai. Pembelajaran sejarah berkonteks kekinian pun selayaknya tidak sekedar terjerumus dalam pencitraan kartini secara sempit namun membelajarkan bahwa dengan literasi kartini dapat berdaya. Ranah pendidikan sebagai garda depan pengembangan negeripun selayaknya mempertimbangkan pembelajaran berbasis literasi dalam pengembangan pembelajarannya. Pembelajaran berbasis literasi tanpa mempertimbangkan gender siswa menjadi sebuah bargaining tersendiri dalam pengembangan generasi terbarukan berbasisi literasi.
Spirit kartini meninggalkan legacy perlawanan berbasis tulisan ini selayaknya diberlakukan dalam konteks pembelajarannya. Membangkitkan peran literasi kartini ini selayaknya berlangsung simultan dan dapat memanfaatkan beragam momen tersaji didalamnya. Perlombaan menyambut hari kartini patut direposisi tidak sekedar menguji keluwesan namun membelajarkan bagaimakah menyuarakan sebuah pesan dengan peran berkelanjutan. Perlombaan menyambut kartini dapat dilakukan dengan menambah mata lomba berbasis literasi semisal pembacaan puisi, essay maupun menulis karya sendiri. Perubahan mata lomba ini diharapkan memberikan spirit baru tidak sekedar menggugurkan kewajiban merayakan event.
Linieritas penyiapan peran literasi dengan kegiatan pembelajaran didalamnya menjadi pemikiran tersendiri dalam pengembangan generasi. Perspektif baru pendidikan berbasis literasi ini dapat diawali dengan pemahaman guru sebagai penyemainya. Hakikat Pendidikan terefektif adalah pendidikan berbasis keteladanan harus dikedepankan untuk pemberdayaan generasi ini. guru sebagai penyemai pengetahuan siswa dalam beragam jenjang sedemikian dahsyat dampaknya manakal melakukan reposisi pembelajaran berbasis literasi ini.
Perspektif baru berbasis literasi ini selayaknya menjadi pola baru bagaimanakah selayaknya publik menselebrasi perayaan kartini. Penghayatan peran perjuangan kartini ini menjadi sebuah pola beru bagaimanakah selayaknya publik merepresentasikan perjuangan generasi masa lalu dengan meninggalkan kesan mendalam. Keluwesan keanggunan kartini tidak terbantahkan namun lebih elegan jika perjuangan berbasis penulisan dikedepankan.
Selamat Hari Kartini
–———– *** —————