Oleh :
Soekaryo
Pustakawan Ahli Utama di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur
Hari Senin yang lalu tanggal 21 April 2025 adalah hari peringatan ulang tahun R.A Kartini yang ke 60. Jika kita mereflesksikan kembali sosok Kartini maka Kartini selain dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita tetapi juga dikenal perempuan yang gemar membaca dan menulis sehingga menjadi wanita yang punya ide-ide brilian terhadap kemajuan kaumnya.
Meneladani Semangat Belajar RA Kartini
Kartini belajar di sekolah Europeesche Lagere School (ELS). Ini merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi orang Belanda dan orang Jawa yang kaya. Di ELS ini, Kartini bersekolah hanya sampai usia 12 tahun, karena sudah harus memasuki masa pingitan dengan cara tinggal di rumah sebagai tradisi wanita Jawa, akhirnya Kartini memilih dengan cara belajar sendiri di rumah dengan beberapa bahan bacaaan di antaranya: 1). Surat kabar Semarang yaitu De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft 2). Majalah leestrommel, majalah yg berisi tentang kebudayaan majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. 3). Buku yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli.
Selain membaca Kartini mengirimkan tulisan tentang emansipasi wanita kepada temen temennya di Eropa dan sekaligus mengirim tulisan mengenai masalah sosial umum lainnya untuk dimuat di De Hollandsche Lelie.
Semangat belajar Kartini tidak pernah surut walaupun sudah berhenti sekolah tetapi terus berusaha belajar dengan metode gemar membaca dan menulis walaupun kondisinya sangat sulit karena berada dalam pingitan. Hal ini perlu menjadi teladan bagi para generasi mudah khusunya generasi Z (gen Z) bahwa semangat belajar harus tumbuh dari dalam dirinya sendiri dan dimulai sedini mungkin, dan tidak selalu melalui pendidikan formal (sekolah) tetapi bisa melalui pendidikan non formal seperti perpustakaan baik diperpustakaan umum, perpustakaan khusus atau perpustakaan digital karena belajar merupakan suatu keharusan bagi manusia hidup tanpa melihat pada batasan usia atau yang disebut juga dengan belajar sepanjang hayat.
R.A Kartini Wanita Cerdas dan Kritis
Dampak dari semangat belajar, Kartini mempunyai pemikiran yang cerdas dan bersifat kritis serta analitis sehingga muncul keinginan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar mendapatkan pendidikan yang layak dan setara dengan laki laki serta setara juga dengan perempuan-perempuan Eropa. Tujuannya, agar perempuan pribumi mempunyai kompetensi, mandiri secara ekonomi, dan tidak terpingit lagi seperti dirinya serta bebas dari hal yang bersifat merugikan hak perempuan yaitu tidak dipaksa menerima pasangan hidup tanpa persetujuannya.
Dalam mewujudkan cita-citanya, Kartini mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang Komplek Kantor Kabupaten Rembang. Setelah 8 tahun Kartini meninggal pada tahun 1912 berdirilah Sekolah Kartini oleh Yayasan kartini, yang diprakarsai keluarga Van Deventer, salah satu tokoh politik etis saat itu.
Awalnya, didirikan di Semarang, tapi kemudian berdiri juga di Surabaya, Yogyakarta, Madiun, Malang, dan daerah lainnya. Jejak perjuangan Kartini terus berjalan dan dapat melahirkan berbagai aturan tentang kesetaraan gender.
Pada tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjelaskan bahwa setiap manusia, tanpa terkecuali, berhak atas kesetaraan hak, termasuk hak perempuan. Selain itu pada tahun 1979 PBB juga meresmikan The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Selanjutmya di dalam Undang-Undang Dasar 1945 salah satu pasalnya memuat aturan bahwa warga negara mendapatkan hak dan kesempatan yang sama. Dan Pada tahun 1984 Indonesia juga mengesahkan CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, memperkuat komitmen bangsa untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Kemudian Pada tahun 2008 UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan umum DPR, DPRD, DPD dan DPRD memuat 30% keterwakilan perempuan.
Jika RA Kartini Masih Hidup
Usia Kartini sangat singkat hanya 25 tahun (21 April th 1879 -17 September 1904) namun tingkat keberhasilan kartini dalam membangun kesetaraan gender berhasil ditegakkan, tetapi dengan adanya era globalisasi perempuan Indonesia, mulai jauh dari nilai-nilai luhur yang hidup sebagai budaya sebuah bangsa. Perempuan yang awalnya diperjuangkan untuk mengenyam pendidikan layak dan mandiri serta berkarakter, saat ini mulai tergeser oleh budaya budaya barat, demi mendapatkan pengasilan yang cukup seringkali perempuan mengekploistasi diri, Data dari International Labour Organization (ILO) pada 2024 mengungkapkan bahwa lebih dari 61% perempuan di sektor informal tidak memiliki perlindungan sosial, menjadikan mereka lebih rentan untuk menerima kondisi kerja yang tidak layak, bahkan berbahaya. Banyak dari mereka secara sadar mengambil risiko ini dikarenakan kebutuhan hidup yang mendesak.
Sedangkan, bagi perempuan yang berhasil meniti karier dengan sukses, mereka sering kali melupakan tanggung jawab sebagai istri sekaligus sebagai seorang Ibu. Berdasarkan Penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Paedagogie (2022) menunjukkan bahwa ibu yang bekerja di luar rumah cenderung mengalami kesulitan dalam mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga. Kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak tidak hanya memengaruhi perkembangan akademik, tetapi juga berdampak pada perilaku dan kecerdasan emosional anak.
Untuk perempuan muda yg berhasil mandiri secara ekonomi mempunyai kebiasaan untuk tampil sempurna di ruang publik. Data dari Katadata Insight Center tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 65% perempuan muda, usia 18-35 tahun lebih banyak mengalokasikan pengeluarannya untuk kebutuhan gaya hidup, daripada untuk pendidikan atau pengembangan diri.
Kondisi ini makin diperparah dengan penggunaan media sosial yang begitu masif. Laporan Digital 2024 dari We Are Social dan Hootsuite mencatat bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di media sosial, dengan perempuan usia 18-34 tahun sebagai pengguna dominan. Platform ini seringkali menjadi ruang untuk membangun citra diri, di mana standar kecantikan, kemewahan, dan popularitas menjadi tolok ukur keberhasilan.
Jika Kartini masih hidup, Kartini tidak akan setuju terhadap perempuan yang bekerja dengan cara mengekpolitasi diri karena hakekat eman sipasi wanita mandiri secara ekonomi, harus dilakukan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kehormatan sebagai perempuan.
Untuk perempuan yang sukses dalam pendidikan dan kariernya akan diminta penyelarasan yang seimbang antara hak dan kewajibannya sebagai istri sekaligus ibu agar dapat membangun keharmonisan dalam rumah tangganya sehingga tercipta rumah tangga yang sakinah mawadda wa rahma.
Demikian juga untuk perempuan-perempuan muda yang masih sangat produktif akan diberi edukasih yang lebih mendalam tentang arti pentingnya sukses agar tidak keliru memaknai. Karena indikator sukses untuk perempuan muda jika ia telah menggapai pendidikan yang ber karakter yang mencakup moral dan etika, sikap positif dan empati, keterampilan sosial dan komunikasi, tanggung jawab dan disiplin, serta berintegritas dan berkontribusi positif pada masyarakat.
.
–———- *** ————-