31 C
Sidoarjo
Monday, May 12, 2025
spot_img

Sisi Gelap Fanatisme Beragama dalam Serial Bidaah

Oleh :
Muhammad Ali Murtadlo
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Serial film Bidaah menjadi fenomena tersendiri di jagat maya. Sejak dirilis, serial produksi Malaysia ini telah ditonton lebih dari 2,5 Miliar kali, dengan mayoritas penonton berasal dari Indonesia. Bukan sekadar tontonan religi biasa, Bidaah berhasil mengguncang nalar dan menggugah rasa, memantik obrolan, perdebatan, hingga refleksi mendalam di tengah masyarakat. Yang menarik, bukan soal siapa aktor atau alur sinematiknya, melainkan bagaimana serial ini menyibak sisi tergelap dari fanatisme beragama yang kerap kali terjadi dalam kenyataan, namun jarang sekali diangkat secara berani ke ruang publik.

Film Bidaah yang tengah viral bukan hanya sebuah karya dramatik yang memukau secara visual, tetapi juga sebuah cermin tajam yang menyorot dinamika kompleks dalam tubuh umat Islam kontemporer. Di balik narasi penyelamatan seorang anak terhadap ibunya dari jerat kelompok sesat, tersimpan pelbagai lapis makna dan kritik yang mendalam terhadap praktik keagamaan yang melenceng dari esensi Islam.

Ia menjadi otokritik terhadap fenomena keislaman yang terjebak dalam dogmatisasi dan kultus individu, terutama dalam relasi kuasa yang terbangun antara pemimpin spiritual dan para pengikutnya yang mudah percaya. Pendekatan teoritik terhadap Bidaah dapat membuka ruang interpretasi yang lebih kritis dan berimbang atas realitas sosial-keagamaan yang kerap luput dari wacana publik.

Relasi Kuasa Spiritual
Menggunakan teori Michel Foucault tentang power/knowledge, kita dapat melihat bagaimana tokoh Walid Muhammad Mahdi Ilman dalam film tersebut tidak hanya memanipulasi teks keagamaan, tetapi juga membentuk sistem pengetahuan baru yang dipaksakan kepada pengikutnya. Dalam struktur kekuasaan yang dibangun Walid, ia tampil sebagai representasi kebenaran tunggal, pusat dari segala barokah dan petunjuk. Ia tidak sekadar memimpin secara spiritual, melainkan memonopoli penafsiran agama demi mempertahankan dominasi atas tubuh dan pikiran pengikutnya. Inilah bentuk relasi kuasa yang tidak kasat mata, tetapi menjerat lebih kuat dibandingkan jeruji penjara. Kekuasaan yang tidak membutuhkan kekerasan fisik, karena telah merasuk melalui bahasa, simbol, dan ritus religius yang tampak sah secara lahir.

Berita Terkait :  Hikmah di Balik Viralnya Candaan Pendakwah

Di sisi lain, pendekatan Louis Althusser tentang ideological state apparatus turut menjelaskan bagaimana ideologi keagamaan bisa menyusup ke dalam kesadaran kolektif masyarakat awam dan mengunci mereka dalam sistem pemikiran tertentu. Ajaran sesat dalam film Bidaah tidak serta-merta hadir dengan kekerasan atau paksaan, melainkan melalui proses interpellation, yakni menyeru individu menjadi subjek ideologi dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti barokah, thariqah, ketaatan mutlak pada mursyid, hingga klaim-klaim spiritual yang sulit diverifikasi secara rasional. Dalam konteks ini, masyarakat awam yang minim literasi keislaman kritis menjadi sasaran empuk. Mereka terhipnotis oleh karisma tokoh sentral yang dikultuskan – mursyid, kyai, atau habib – dan bersedia melakukan tindakan-tindakan yang dalam pandangan Islam sendiri tergolong khurafat, seperti meminum air sisa minum mursyid, air basuhan kaki, bahkan air bekas mandi sang tokoh. Mereka percaya tindakan tersebut membawa barokah dan keselamatan, padahal justru menempatkan mereka dalam posisi subordinat dan kehilangan nalar kritis.

Fenomena ini nyata terjadi dalam berbagai komunitas keagamaan yang terlalu memuja figur pemimpin spiritual. Thariqah-thariqah tertentu yang seharusnya membawa umat menuju penyucian diri dan kedekatan dengan Allah, dalam beberapa kasus justru menjadi arena pembungkaman, dogmatisasi, dan praktik manipulatif berkedok agama. Ketaatan buta pada mursyid, yang seharusnya dibingkai dalam batas-batas syariah, sering berubah menjadi penghambaan.

Bahkan, dalam film Bidaah, doktrin poligami dan nikah bathin yang dilakukan oleh pemimpin sekte merupakan bentuk ekstrem dari penyalahgunaan wewenang keagamaan. Dengan mengatasnamakan syariat, ia menjadikan perempuan sebagai objek spiritual sekaligus seksual yang harus tunduk pada perintah batin mursyid. Padahal, dalam hukum Islam yang benar, pernikahan adalah ikatan sah antara dua orang berdasarkan ridha, ijab qabul yang terang, adanya wali dan saksi, disertai adanya hak serta kewajiban yang setara. Tidak ada konsep “nikah bathin” yang membenarkan praktik hubungan suami istri tanpa akad syar’i dan persetujuan yang transparan.

Berita Terkait :  Kucing Prabowo dan Simbol Pemberantasan Korupsi

Dogma dan Brainwashing
Film ini juga mengangkat bagaimana para pengikut yang telah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan spiritual seperti ini, mengalami apa yang oleh psikologi sosial disebut sebagai brainwashing. Proses ini bukan hanya mencuci pikiran, tapi juga merombak identitas dan logika berpikir individu. Robert Jay Lifton, dalam teorinya tentang thought reform, menyebutkan bahwa individu dalam kelompok tertutup akan mengalami disorientasi moral dan logika karena tekanan sosial, isolasi informasi, dan tekanan emosional dari pemimpin karismatik. Dalam Bidaah, sosok sang ibu yang begitu yakin dengan kebesaran Walid adalah contoh nyata bagaimana akal sehat bisa hilang ketika seseorang telah menyerap total doktrin yang dipoles dengan simbol-simbol religius. Bahkan ketika anaknya sendiri memohon untuk menyelamatkannya, ia memilih bertahan dalam lingkaran yang menjanjikan “surga” versi sang mursyid.

Realitas yang dibangun dalam film ini bukan sekadar fiksi, melainkan representasi sosial dari dinamika keagamaan yang marak terjadi di berbagai organisasi yang mengidolakan tokoh-tokoh sentral. Ini bisa kita lihat dalam kasus-kasus nyata seperti komunitas pengajian eksklusif, sekte-sekte pseudo-Islam, bahkan dalam lingkungan tarekat yang kurang transparan dan tertutup dari kritik. Film ini membongkar praktik-praktik penyimpangan yang selama ini tertutup rapat dalam tembok kesalehan formalistik. Ia menjadi semacam whistleblower dari dunia dalam Islam yang tidak banyak dibicarakan, atau kalaupun dibicarakan, hanya dari perspektif luar yang kadang terkesan memojokkan.

Berita Terkait :  Dukung Komitmen Pemerintah, Komite III DPD RI Dorong RUU Bahasa Daerah Jadi Prioritas Prolegnas

Otokritik Islam yang Menyentil
Yang menjadikan Bidaah begitu bernas adalah keberaniannya melakukan otokritik terhadap komunitas Islam sendiri. Bukan untuk merendahkan, melainkan untuk membersihkan rumah dari dalam. Islam sebagai agama yang luhur tidak pernah mengajarkan kekerasan simbolik, penghambaan kepada manusia, apalagi manipulasi atas nama Tuhan. Justru dengan mengangkat isu ini, film Bidaah mengajak umat Islam untuk kembali kepada nilai-nilai tauhid, keadilan, dan kesetaraan. Ia menegaskan bahwa tidak ada manusia yang berhak menjadi wakil Tuhan yang absolut di bumi. Semua manusia, betapapun salehnya, tetap tunduk pada hukum dan akal.

Maka, Bidaah tidak hanya layak ditonton sebagai drama, tetapi juga sebagai refleksi. Ia menantang kita untuk melihat ke dalam: sejauh mana agama kita benar-benar membebaskan, bukan membelenggu. Sejauh mana mursyid dan kyai kita mendidik dengan hikmah, bukan menguasai dengan ketakutan. Sejauh mana kita masih berani menggunakan akal dalam beriman. Sebab iman yang membebaskan adalah iman yang dibangun di atas kesadaran, bukan ketakutan. Dan Bidaah mengingatkan kita, bahwa yang paling bid’ah bukanlah yang berbeda secara ritus, tetapi yang menyesatkan secara moral.

————– *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru