Oleh :
Andika Drajat Murdani
Dosen Universitas Slamet Riyadi, Surakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Generasi Alpha, yang lahir pada rentang 2010 ke atas, tumbuh dalam dunia yang lebih digital, lebih terhubung, dan lebih terbuka dibanding generasi sebelumnya. Bagaimana tidak, sedari usia dini, mereka telah mengenal teknologi, media sosial, serta informasi global yang berlimpah. Namun, apakah kemudahan akses terhadap informasi ini membuat mereka lebih toleran dibanding generasi sebelumnya? Ataukah justru sebaliknya, kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi ini menciptakan batasan-batasan baru dalam cara mereka memahami dan menerima perbedaan?
Toleransi di Era Digital
Toleransi adalah salah satu nilai utama dalam kehidupan bermasyarakat, dan di era digital, konsep ini menghadapi tantangan baru. Gen Alpha, sebagai generasi yang sangat terpapar internet, memiliki akses tak terbatas terhadap berbagai perspektif dan budaya. Mereka bisa melihat keberagaman dalam satu kali scroll media sosial, menyaksikan kehidupan komunitas yang berbeda, dan bahkan belajar tentang isu-isu sosial yang mungkin belum diajarkan di sekolah.
Namun, tantangan terbesar dari kebebasan informasi ini adalah bagaimana mereka menyaring dan memahami informasi tersebut. Algoritma media sosial sering kali menciptakan “echo chamber,” yang memposisikan seseorang hanya terekspos pada sudut pandang yang sejalan dengan pandangan mereka. Akibatnya, meskipun mereka terhubung dengan dunia yang lebih luas, pemahaman mereka tentang keberagaman bisa saja terbatas. Mereka mungkin hanya menerima informasi yang mendukung perspektif mereka sendiri tanpa benar-benar memahami perbedaan yang ada.
Apakah Gen Alpha Lebih Toleran?
Sebuah survei yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa anak-anak dari generasi ini lebih terbuka terhadap perbedaan gender, ras, dan budaya dibanding generasi sebelumnya. Pendidikan inklusif, kampanye media sosial, dan peran influencer dalam mengedukasi anak-anak tentang keberagaman membuat mereka lebih mudah menerima perbedaan. Banyak dari mereka yang sejak kecil sudah mengenal konsep inklusivitas dan kesetaraan.
Di Indonesia, penelitian dari SETARA Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang pernah dilakukan terhadap remaja Indonesia terkait toleransi menunjukkan bahwa para remaja memiliki persepsi toleransi yang positif. Namun, ketika mereka diuji dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih ideologis, mereka menunjukkan kecenderungan toleransi yang menurun.
Nyatanya, toleransi ini tidak selalu merata dalam semua aspek kehidupan. Sebagian Gen Alpha mungkin lebih mudah menerima perbedaan yang telah banyak dibahas di media sosial, seperti hak LGBTQ+ atau kesetaraan gender. Namun, ketika dihadapkan pada perbedaan yang lebih kompleks, seperti perbedaan pandangan politik atau agama, respons mereka bisa lebih beragam. Tidak jarang, mereka justru mengalami keterkejutan atau bahkan menunjukkan intoleransi ketika menghadapi pendapat yang berbeda dari yang selama ini mereka yakini.
Tantangan dan Risiko
Meskipun Gen Alpha memiliki potensi besar untuk menjadi generasi yang lebih toleran, ada beberapa tantangan yang perlu diantisipasi. Misalnya, adanya polarisasi digital media sosial. Ketika anak-anak tumbuh dalam lingkungan digital yang membatasi paparan mereka terhadap perbedaan sudut pandang, toleransi mereka terhadap pandangan yang berbeda bisa berkurang. Dalam banyak kasus, perbedaan pendapat di media sosial berujung pada konflik, bukan diskusi yang membangun sehingga semakin memperkuat polarisasi.
Risiko lain, cyberbullying dan cancel culture. Budaya internet yang semakin menormalisasi cancel culture bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ini bisa digunakan untuk menentang intoleransi dan ketidakadilan. Namun, di sisi lain, budaya ini bisa menjadi bentuk intoleransi terselubung, di mana seseorang yang memiliki pandangan berbeda langsung dikucilkan tanpa kesempatan untuk berdiskusi atau belajar dari kesalahannya.
Kurangnya interaksi sosial nyata juga turut mendorong rentannya toleransi Gen Alpha. Sebab, toleransi bukan hanya soal mengetahui bahwa perbedaan itu ada, tetapi juga tentang bagaimana seseorang berinteraksi langsung dengan mereka yang berbeda. Ketika anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di dunia digital dibanding dunia nyata, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk mengembangkan empati melalui interaksi sosial langsung.
Membangun Toleransi yang Lebih Kuat
Agar Gen Alpha bisa tumbuh menjadi generasi yang benar-benar toleran, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Mereka membutuhkan pendidikan yang menekankan kritis berpikir. Sekolah dan orang tua perlu mengajarkan anak-anak untuk tidak hanya menerima informasi mentah-mentah, tetapi juga mengembangkan pemikiran kritis. Mereka perlu diajarkan untuk melihat dari berbagai sudut pandang dan memahami konteks sebelum mengambil kesimpulan.
Mereka juga butuh interaksi dengan keberagaman di dunia nyata. Penting bagi anak-anak untuk tidak hanya belajar tentang toleransi melalui media sosial, tetapi juga mengalami langsung keberagaman dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan seperti pertukaran budaya, proyek komunitas, dan diskusi lintas agama dapat membantu mereka mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang keberagaman.
Pada dasarnya, Gen Alpha memiliki potensi besar untuk menjadi generasi yang lebih toleran dibanding generasi sebelumnya. Ini lantaran akses mereka terhadap informasi dan pendidikan yang lebih inklusif. Namun, tantangan seperti polarisasi digital, cyberbullying, dan kurangnya interaksi sosial langsung dapat menghambat perkembangan toleransi yang sejati.
Maka, tanggung jawab ada pada kita semua, orang tua, pendidik, dan masyarakat, untuk membimbing mereka agar tidak hanya sekadar melihat perbedaan, tetapi juga benar-benar memahami dan menghargainya. Dengan pendekatan yang tepat, Gen Alpha bisa tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki toleransi yang lebih matang dan autentik.
———– *** ————–