Surabaya, Bhirawa
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai dilaksanakan serentak awal Januari lalu. Program yang menyasar anak-anak Indonesia untuk peningkatan kualitas gizi ini rupanya tidak bisa dinikmati bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Di Tulungagung misalnya, 20 siswa ABK tidak bisa ikut menikmati program unggulan Presiden Prabowo ini karena menu yang diberikan tidak sesuai dengan program diet mereka.
Terkait hal ini, Pakar Nutrisi Universitas Ciputra Oki Krisbianto, S.TP., M.Sc., memaparkan meskipun menu MBG sudah memenuhi prinsip “piring sehat” yakni 1/3 karbohidrat, 1/3 protein serta tambahan sayur dan buah, namun kebutuhan ABK jauh lebih kompleks dan memerlukan pendekatan yang lebih spesifik.
Menurut Dosen Food Technology UC ini, ABK memiliki kebutuhan gizi yang lebih spesifik dibandingkan anak-anak lainnya. Menu MBG yang dirancang untuk anak-anak secara umum tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ini.
“ABK tidak hanya membutuhkan bahan makanan bergizi, tetapi juga penyesuaian dalam komposisi dan porsi makanan. Misalnya, banyak ABK memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat dipenuhi hanya dengan menu standar MBG,” jelas Oki, Senin (13/1).
Ia menambahkan salah satu tantangan terbesar adalah perbedaan kebutuhan kalori antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki, dengan aktivitas yang lebih tinggi, memerlukan asupan kalori lebih besar untuk mencegah risiko stunting.
Dengan anggaran Rp10.000 per porsi, menu MBG juga dinilai belum optimal untuk memenuhi kebutuhan protein ABK. Oki menyarankan agar fokus diberikan pada protein hewani, seperti ikan, yang memiliki daya serap lebih tinggi dibandingkan protein nabati seperti tahu dan tempe. “Indonesia kaya akan sumber daya perikanan. Ikan bisa menjadi pilihan protein berkualitas tinggi yang sesuai dengan kebutuhan gizi ABK,” ungkapnya.
Dalam program MBG, penggunaan susu UHT juga disoroti sebagai solusi yang lebih aman dan steril. Menurut Oki, nutrisi susu UHT lebih terjaga dibanding susu segar sapi. “Proses pengolahan susu UHT memastikan nutrisi tetap terjaga. Kebersihan makanan ini sangat penting, terutama bagi ABK, karena kondisi kebersihan yang buruk bisa menghambat penyerapan nutrisi,” tambahnya.
Oki menilai bahwa menu MBG saat ini masih lebih cocok untuk anak-anak pada umumnya, bukan untuk ABK. Ia menyarankan agar pemerintah melakukan uji coba program ini di sekolah-sekolah dengan mayoritas siswa kurang mampu untuk memahami kebutuhan yang lebih spesifik.
“Uji coba yang dilakukan di sekolah mampu kurang relevan. ABK memiliki tantangan nutrisi yang memerlukan pendekatan lebih mendalam, seperti memilih bahan makanan yang sesuai dan memastikan standar kebersihan pengolahan makanan,” jelas Oki.
Menu MBG merupakan langkah baik dalam meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, tetapi penerapannya untuk ABK masih membutuhkan banyak penyesuaian. Dengan mengutamakan bahan makanan berkualitas tinggi, memperhatikan kebutuhan kalori spesifik, serta memastikan kebersihan dalam penyajian, program ini dapat menjadi lebih inklusif dan efektif bagi ABK.
Hal sama juga diuraikan Ahli Gizi Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Rizki Nurmalya Kardina, S.Gz., M.Kes. Menurut Rizki menu dalam program MBG belum bisa menyasar anak-anak disabilitas karena mereka memiliki program diet yang berbeda.
Ia menilai program ini untuk sementara memang belum bisa menjangkau anak-anak yang mengalami kebutuhan khusus. “Karena menu yang diberikan untuk anak yang berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kondisi masing masing anak,” tegasnya.
Rizki mencontohkan menu untuk anak ABK yang bisa dikonsumsi diantaranya tidak mengandung gluten untuk karbohidratnya, proteinnya tidak mengandung kasein dan mengandung food additive. [ina.wwn]