Judul Buku : Manajemen Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal
Penulis : Alfian, dkk
Penerbit : Star Digital Publishing
Tebal : 121 halaman
Tahun Terbit : 2025
ISBN : 978-623-89803-7-6
Peresensi : Khairil Miswar, Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam.
Ada dua tema pokok yang dibahas dalam buku Manajemen Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal yang ditulis Alfian, dkk (2025), yaitu pendidikan karakter dan kearifan lokal-dua frasa dengan pengertian berbeda. Merujuk pada teori-teori yang ada, pendidikan karakter adalah proses pembentukan nilai, sikap, dan perilaku individu-dalam hal ini peserta didik agar mencerminkan kepribadian luhur dan tanggung jawab moral.
Dengan kata lain, pendidikan karakter adalah praktik pendidikan yang tidak hanya bertumpu pada penguasaan ilmu pengetahuan atau kecerdasan (intelektualitas), tetapi juga dimbangi dengan penanaman nilai-nilai yang berkaitan dengan perilaku seperti kejujuran, disiplin dan empati (moralitas). Melalui pendidikan karakter, siswa diarahkan agar tidak hanya unggul dalam aspek intelektual, tetapi juga memiliki kebijaksanaan dalam bersikap serta mampu membuat keputusan yang didasari oleh nilai-nilai etika dan moral.
Thomas Lickona (2019), menekankan tiga aspek utama moralitas yang terintegrasi dalam pendidikan karakter: Pertama, pengetahuan moral, yaitu pemahaman kognitif peserta didik tentang nilai-nilai moral, prinsip, dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Kedua, perasaan moral yang merujuk pada aspek afektif atau emosional dari moralitas yang menekankan pengembangan emosi dan sikap yang mendorong terbentuknya perilaku yang bermoral. Dan, ketiga, perilaku moral, yaitu puncak dari pengetahuan dan perasaan moral, di mana peserta didik mampu mengimplementasikan pemahaman dan kepedulian moral mereka ke dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pengintegrasian ketiga aspek tersebut dalam pendidikan karakter bertujuan membentuk peserta didik yang tidak hanya memahami apa yang benar (moral knowing), tetapi juga memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai kebaikan dan keadilan (moral feeling), serta menunjukkan keberanian dan komitmen untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral (moral action).
Kearifan Lokal (Local Wisdom)
Menurut Kacung Marijan dalam artikelnya Revitalisasi Kearifan Lokal guna Memperkuat Karakter Bangsa dalam Rangka Ketahanan Nasional (2020), kearifan lokal merupakan hasil perpaduan budaya yang dibentuk oleh masyarakat setempat melalui proses berulang, dengan cara menginternalisasi serta menafsirkan ajaran agama dan nilai budaya, yang kemudian diwujudkan dalam norma-norma dan dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kearifan lokal tersebut dapat berupa adat istiadat, institusi sosial, kata-kata bijak, dan juga pepatah yang diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat. Bentuk-bentuk ini bukan hanya sebagai simbol budaya, melainkan berfungsi sebagai pedoman praktis yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Dalam konteks ini, kearifan lokal berfungsi sebagai sumber pengetahuan yang kaya dan bermakna, karena berasal dari pengalaman langsung serta hasil interaksi manusia dengan lingkungan di sekitarnya.
Selain itu, kearifan lokal berfungsi sebagai norma tak tertulis yang mengatur interaksi antar individu dalam masyarakat, sekaligus menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak hanya memuat nilai-nilai moral dan etika, tetapi juga mencerminkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Melalui nilai-nilai ini, masyarakat diajarkan untuk memelihara harmoni sosial dan lingkungan, yang menjadi fondasi bagi keberlangsungan hidup serta pelestarian identitas budaya mereka (Marijan, 2020).
Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal
Dalam buku ini, Alfian menerangkan bahwa konsep pendidikan karakter berbasis kearifan lokal diterapkan melalui penggunaan kurikulum yang diintegrasikan dengan nilai-nilai budaya lokal seperti gotong-royong, kejujuran dan sikap saling menghormati. Upaya lainnya dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler di lembaga pendidikan dan juga proyek kolaboratif dengan komunitas lokal guna memperkaya pengalaman belajar siswa (hal. 46).
Menurut Alfian, dkk, selama ini belum ada perencanaan formal terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal. Di sekolah dasar, tulisnya, pendidikan karakter melalui kearifan lokal cenderung dilakukan secara individual oleh guru tanpa adanya dukungan formal dari kepala sekolah atau lembaga pendidikan. Hal ini menyebabkan pelaksaannya menjadi tidak maksimal (hal. 49).
Konsep pendidikan karakter berbasis kearifan lokal, menurut Alfian, harus melibatkan beberapa pendekatan, yaitu: penggunaan bahasa lokal dalam pembelajaran, pengajaran sejarah dan tradisi lokal, penerapan nilai-nilai budaya dalam pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler berbasis budaya dan kolaborasi dengan masyarakat lokal (hal. 51-52).
Hadih Maja
Buku ini juga menyajikan pembahasan menarik tentang peran Hadih Maja sebagai basis pendidikan karakter, khususnya di Aceh. Hadih Maja sendiri merefleksikan kebijaksanaan masyarakat Aceh melalui petuah, ungkapan, atau perumpamaan yang kaya akan makna. Hadih Maja bukan hanya rangkaian kata-kata indah, melainkan warisan nilai yang membimbing pola hidup masyarakat, mencakup cara berinteraksi dengan sesama, menjaga kehormatan diri, serta menjalin keharmonisan dengan lingkungan. Setiap baitnya sarat dengan pesan moral yang lembut namun kuat, yang mendorong individu untuk bersikap adil, bersikap rendah hati, dan menghargai adat istiadat.
Lebih dari sekadar warisan lisan, Hadih Maja berkembang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sosial masyarakat Aceh. Kearifan lokal ini menjadi panduan saat warga dihadapkan pada konflik, memerlukan arahan dalam pengambilan keputusan penting, bahkan turut serta dalam menanamkan pemahaman mendalam tentang makna hidup kepada generasi muda.
Kekuatan Hadih Maja terletak pada proses transmisinya yang diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dan akrab dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kehadirannya terasa dalam pesan orang tua kepada anak, dalam forum musyawarah gampong, maupun dalam petuah bijak yang disampaikan oleh para tetua adat. Dengan keberadaannya yang terus mengakar ini, Hadih Maja dapat menjaga jati diri dan nilai-nilai luhur masyarakat agar tetap lestari di tengah laju perubahan zaman.
Sayangnya, dalam buku ini, penggunaan Hadih Maja sebagai basis pendidikan karakter tidak dielaborasi dengan dalam dan hanya analisis permukaan yang tidak memiliki wujud konkret untuk diterapkan di lembaga pendidikan. Padahal, penerapan Hadih Maja dalam pembentukan karakter peserta didik, khususnya di Aceh, dapat menjadi kekhasan tersendiri-sebagai pembeda dengan pola pendidikan karakter di daerah lain, sehingga pola yang dilakukan tersebut akan terasa lebih autentik.
Meskipun pendidikan karakter berbasis kearifkan lokal bukan tema baru dalam kajian akademik-dan sudah sering dikaji, tapi buku ini memiliki kelebihan tersendiri, yaitu pada kajian tentang Hadih Maja sebagai basis pendidikan karakter. Karena itu kehadirannya patut diapresiasi.
———- *** ———–