Surabaya, Bhirawa
Pernahkah terpikirkan dalam diri, apa yang paling indah dalam hidup? Mungkin sebagian besar akan menjawab pengalaman mereka mengunjungi tempat yang memiliki pemandangan yang luar biasa, melihat bunga dengan warna yang indah, atau bertemu dengan seseorang yang memiliki paras yang rupawan dan apa saja yang mampu menggiurkan mata.
Penglihatan biasanya kunci utama untuk menilai sesuatu indah atau tidak, sebab cahaya dengan beragam warna yang terpantul dari objek menarik dan mengesankan diri akan dinilai indah, jikalau tidak maka hal tersebut biasa saja. Padahal ada banyak cara untuk manusia menemukan keindahan selain dari pancaindra, khususnya mata.
Bagaimana dengan manusia yang memiliki keterbatasan melihat, mengalami kebutaan atau diistilahkan sebagai tunanetra. Apakah mereka bisa menilai keindahan hidup? ataukah hidup mereka sesuram yang kita pikirkan.
Sadewa dan Nakula salah satu anak kembar yang mengalami kebutaan sejak lahir ke dunia, mereka berdua sekarang berumur 10 tahun dan menduduki kelas 5 SD. Anak kembar ini akan menjawab pertanyaan, apakah hidupnya segelap tanpa cahaya yang kita kira.
Nakula dengan antusias menyatakan bahwa dirinya sangat suka mendengar cerita dan bercerita, “Saya suka mendengar cerita dan bercerita, karena bagiku dari cerita bisa mengenal dunia yang begitu indah, dan menghibur diri”.
Sadewa juga menyukai hobi yang diucapkan oleh adiknya, tetapi bernyanyi merupakan hobi yang paling disukai, terlebih lagi dirinya pernah menjuarai lomba azan, membuktikan bahwa Sadewa memiliki suara yang merdu.
Hobi yang disukai oleh anak kembar tersebut memiliki korelasi yang sama, yakni suara. Mereka mengenal dunia dari suara cerita yang didengar, dan kemerduan bunyi membuat mereka menyukai suara.
Menghadapi Hidup Bersama
Sadewa dan Nakula terdiam beberapa detik, sampai mereka menyebutkan nama saudara kembarnya satu sama lain. Sadewa menyebut nama Nakula, sebaliknya Nakula menyebut nama Sadewa. Keterikatan batin yang kuat dan senasib dalam menjalani hidup, menjadikan saudaranya sebagai sandaran kesempurnaan, saling melengkapi.
Tidak dipungkiri kalau anak kembar selalu bersama, terlebih lagi kalau memiliki nasib yang sama. Bercerita, tertawa, dan bermain mereka berdua selalu bersama, sehingga menciptakan hubungan batin yang menguatkan, mewarnai hidup.
Kedua anak tersebut terdiam kembali beberapa detik, lalu kemudian serentak menjawab “tidak ada”. Jawaban Sadewa dan Nakula memiliki arti untuk menyadarkan semua orang bahwa keterbatasan fisik bukan halangan untuk menjalani hidup.
Anak kembar tersebut juga mengajari kita, jikalau kekurangan bukan untuk dijadikan sebagai kesedihan, melainkan diubah menjadi semangat lebih untuk menggapai sesuatu seperti orang normal lainnya.
“Sangat banyak,” jawab Nakula, “banyak sekali yang membuat kami bahagia”, sambung Sadewa.
Ucapan anak kembar tunanetra tersebut seakan memiliki banyak kebahagiaan yang didapatkan dari orang yang peduli, sayang kepada mereka.
Kebahagiaan mereka adalah kenangan indah yang mereka dapatkan dari kebaikan setiap orang yang peduli kepada mereka, khususnya para difabel. Sentuhan dan rabaan lembut yang menyapa Sadewa dan Nakula menjadi ukiran senyum kebahagiaan di dalam hatinya.
Impian Mereka
Kali ini kedua anak tersebut menjawab berbeda, “saya ingin menaiki pesawat kak,” tegas Sadewa, “saya ingin menjadi raja, untuk menolong orang susah,” ucap Nakula. Sama seperti anak-anak yang lain, mereka berdua penuh imajinasi dalam bermimpi. Keinginan mereka juga terdengar biasa saja, tapi alasannya sungguh mulia.
Sadewa teringin menaiki pesawat untuk merasakan kebersamaan orang-orang, mengunjungi tempat yang jauh, dan bertemu dengan orang baru. Mengesampingkan pemandangan yang paling diincar saat menaiki pesawat, Sadewa menantikan kebersamaan, perjalanan, dan berkenalan.
Nakula memiliki keinginan yang penuh imajinasi, mau jadi Raja.
Alasannya sederhana, Nakula beranggapan dengan menjadi Raja mampu membantu orang yang mengalami kesusahan. Bagi kita keinginan ini sangat sulit untuk diwujudkan, tapi coba telisik ke arah kemauan Nakula untuk membantu orang, menjadi poin utama bahwa penyandang disabilitas juga mampu membantu orang lain.
“Umrah gratis bersama Ustaz Adi Hidayat,” ucap Nakula, diikuti anggukan setuju dari Sadewa. Mengunjungi tanah suci adalah keinginan semua umat Islam di dunia, siapa pun yang mengunjunginya menjadi kenangan paling indah tentunya. Termasuk Sadewa dan Nakula, menginjakkan kaki ke Mekkah dan Madinah yang tidak pernah terbayangkan tentunya bisa hadir melakukan umrah, terlebih lagi bersama sosok ulama yang dikagumi.
Sadewa dan Nakula sosok anak kembar tunanetra yang tidak melihat cahaya dunia semenjak lahir, berhasil mengenali dunia lebih dari dugaan mereka.
Keindahan hidup tidak seharusnya dalam bentuk visualisasi yang diterima oleh mata, akan tetapi keindahan hadir justru dari kenangan yang mereka dapatkan. Suara indah yang merdu, sentuhan indah yang selalu menyapa, kebersamaan yang indah dari orang tersayang, dan pengalaman menciptakan momen teristimewa dalam hidup Sadewa dan Nakula.
Cahaya yang tidak mengizinkan hadir dalam hidup Sadewa dan Nakula tidak membuatnya sedih atau menyesal untuk hidup, lebih dari itu mereka menjadi kuat dari siapa pun, kisah hidupnya tidak kalah dengan orang normal.
Ternyata keindahan hidup datang dari kebaikan orang sekitar, kepeduliannya untuk membantu, dan rabaan lembut adalah keindahan hidup sesungguhnya dari mereka, walau cahaya tidak hadir bagi Sadewa dan Nakula. (why.hel)