27.8 C
Sidoarjo
Saturday, May 24, 2025
spot_img

Perjuangan Perempuan Masih Berlanjut

Oleh :
Pitrus Puspito
adalah guru bahasa Indonesia dan peneliti bidang bahasa dan sastra Indonesia. Ia menempuh pendidikan terakhir di Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Selain menulis puisi dan cerita anak, ia juga menulis esai dan artikel ilmiah.

Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati hari Kartini. Sosok Raden Ajeng Kartini atau R. A. Kartini telah menjadi simbol emansipasi atau perjuangan perempuan atas hak dan martabatnya. R. A. Kartini telah berhasil memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakatnya yang feodal dan patriarki. Sejarah mencatat, dampak emansipasi itu yang melahirkan tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pemimpin di Indonesia.

Suradiredja dan Syafizaldi (2019), mencatat bahawa peluang partisipasi perempuan di arena publik dan politik formal sudah semakin terbuka. Dari data jumlah penduduk, perempuan Indonesia mencapai 131,9 juta jiwa, dan setidaknya ada 9 orang perempuan yang menduduki posisi Menteri pada Kabinet Kerja Jokowi 2014-2019, terdapat 139 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, 97 orang menjadi anggota Dewan dan Wakil Kepala Daerah, 97 orang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yakni 17, 32 % dari total 560 orang anggota DPR RI.

Perjuangkan perempuan demi harkat dan martabatnya telah menjadi persoalan yang selalu terjadi di Indonesia. Dalam penelitian ilmu budaya dan sastra yang mengangkat topik diskriminasi dan perlawanan perempuan terhadap laki-laki selalu menarik para akademisi untuk mengkajinya. Selain di dalam media, diskriminasi terhadap perempuan dalam sepuluh tahun terakhir juga masif terjadi pada sektor ketenagakerjaan. Sebagai contoh diskriminasi buruh perempuan tentang upah kerja mereka. Dikutip dari konferensi tahunan UGM bertajuk The 12th Gadjah Mada International Conference of Economics and Business (GAMAICEB) 2024, kaum perempuan masih mengalami diskriminasi dan kesenjangan karir di lingkungan kerja.

Berita Terkait :  Perpamsi Jatim Apresiasi Pemkot Malang Bangun WTP

Ketidakadilan yang dialami perempuan bersumber pada masalah yang mendasar, yakni perbedaan gender. Menurut Connell (2009, p. 11), gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial daripada biologi. Artinya laki-laki dan perempuan dibedakan berdasarkan peran dan tugas mereka dalam kehidupan sosial berdasarkan pelabelan bukan kodrat alami. Pembedaan gender ini seringkali menrugikan kaum perempuan, sehinga ketidakadilan gender seolah tidak pernah akan selesai. Lalu apa saja bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di masayarakat itu? Bagaimana sebaiknya perempuan melakukan perlawanan?

Bentuk-Bentuk Diskriminasi

Menurut Fakih (2012, pp. 12-13), ketidakadilan gender diwujudkan dalam pelbagi bentuk ketidakadilan, yakni eksploitasi, marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi peran gender. Dari berbagai jenis itu, yang umum terjadi dan dianggap normal dalam masyarakat adalah subordinasi, stereotipe dan kekerasan.

Subordinasi berarti memandang bahwa perempuan itu tidak penting. Lebih lanjut pandangan ini menganggap perempuan tidak rasional dan cenderung emosional sehingga perempuan dianggap tidak bisa menjadi pemimpin. Fakih (2012) memberi contoh bahwa di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga. Selanjutnya jika dalam rumah tangga terdapat kendala dalam menyekolahkan anak, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas utama.

Berita Terkait :  UPT Dinsos Jatim Beri Bimbingan Psikolog pada PM Mantan Chef

Secara umum stereotip adalah pelabelan negatif terhadap perempuan sehingga merugikan mereka. Sebagai contoh, perempuan yang berdandan dan berpakaian tidak tertutup diartikan sebagai perempuan penggoda. Bahkan jika ada kasus pemerkosaan yang dialami perempuan, tidak sedikit masyarakat justru cenderung menyalahkan korbannya. Masyarakat secara umum menganggap bahwa tugas perempuan adalah melayani suami. Menurut Fakih, banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, budaya dan kebiasaan yang dikembangkan karena stereotip tersebut.

Selanjutnya, diskriminasi terhadap perempuan yang berupa kekerasan. Kekerasan sendiri dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Kekerasan fisik merupakan yang paling sering terjadi, baik di dalam rumah tangga maupun di masyarakat. Kekerasan fisik selain ditujukan untuk menyakiti juga untuk melecehkan perempuan. Sedangkan kekerasan verbal lebih bersifat umpatan, makian dan kata-kata tidak senonoh yang ditujukan untuk menggoda perempuan. Kekerasan verbal ini juga disebut pelecehan secara verbal dengan menggunakan bahasa.

Jenis Perlawanan Perempuan
Terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan kemudian memunculkan perlawanan perempuan terhadap diskriminasi yang dialaminya. Perlawanan perempuan menentang dominasi laki-laki inilah yang disebut dengan gerakan feminisme. Ada banyak jenis gerakan feminisme atau perlawanan perempuan, dengan tujuan dan cara yang berbeda-berbeda pula. Namun secara garis besar, perlawanan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perlawanan secara radikal dan perlawanan secara kompromis

Perlawana radikal adalah perlawanan perempuan terhadap laki-laki yang dilakukan dengan cara langsung. Perlawanan jenis ini mengandalkan kekuatan fisik dan tanpa ditunjang dengan kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam sejarah, perlawanan radikal ini disebut juga dengan istilah strategi pergerakan radikal non kooperatif, yakni suatu strategi perjuangan dengan memakai cara yang keras untuk menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Berita Terkait :  Kementerian PU dan Kementerian Pertanian Sepakati Program Bersama Swasembada Pangan

Kedua, perlawanan kompromis yang lebih modern dan mengandalkan rasionalitas. Perlawana kompromis dilakukan dengan cara memanfaatkan kekuatan-kekuatan pemikiran, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam sejarah, perlawanan kompromis ini disebut juga dengan istilah strategi pergerakan moderat, yakni perjuangan yang dilakukan dengan cara menghindari tindakan kekerasan atau ekstrem. Perlawanan perempuan secara kompromis dilakukan dengan taktik kooperatif, hati-hati bahkan kompromi dalam membebaskan diri dari belenggu dominasi laki-laki.

Sejarah perjuangan perempuan memang telah membuahkan hasil. Sebagian besar kebijakan publik saat ini telah mempertimbangkan perempuan dalam pengambilan kebijakannya. Perempuan juga memiliki peluang yang sama dalam aspek politik dan pendidikan. Meskipun begitu, pada masayarakat yang luas, perempuan masih dianggap lemah dan inferior (lebih rendah). Sebagai contoh masih banyak masyarakat dengan suku dan budaya tertentu yang patriarki menganggap perempuan tugasnya di dapur, mengurus rumah dan membesarkan anak.

Namun dengan adanya perayaan hari Kartini kita selalu diingatkan tentang pentingnya kesetaraan anatara laki-laki dan perempuan. Selain itu berbagai tulisan dan penelitian yang mengangkat persoalan ketidakadilan gender serta dukungan pemerintah yang pro terhadap peran perempuan, diharapkan dapat memberi edukasi kepada masayarakat luas untuk berperilaku adil dan tidak memandang rendah perempuan. Semoga kita semua terpanggil untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam hidup keseharian kita.

———– *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru