30.4 C
Sidoarjo
Wednesday, July 16, 2025
spot_img

Merayakan 10 Muharram Bersama Keluarga: Antara Tradisi, Cinta dan Kesadaran Sosial

Nur Kamilia
Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo

Tanggal 10 Muharram datang setiap tahun tanpa gegap gempita seperti Idulfitri atau Maulid Nabi. Namun, bagi banyak keluarga Muslim di Indonesia, hari ini tetap istimewa. Di kampung halaman saya, setiap tahun ada tradisi memasak makanan khusus pada 10 Muharram. Biasanya, ibu akan bangun lebih pagi dari biasanya, memasak bubur Asyura atau menu sederhana lainnya, lalu mengajak kami anak-anaknya berbagi dengan tetangga, kerabat, dan anak-anak yatim di sekitar.

Tradisi ini mungkin tidak ditemukan dalam teks-teks baku kitab fikih, tetapi ia hidup dalam keseharian kami. Ia diturunkan dari generasi ke generasi, bukan sekadar sebagai perayaan, tetapi sebagai cara menunjukkan kasih sayang, rasa syukur, dan semangat berbagi. Apakah ini yang disebut “berpesta”? Mungkin iya, tapi bukan pesta yang hura-hura. Lebih seperti pesta kasih sayang dan perhatian, di tengah kesunyian spiritual yang ditawarkan Muharram.

Dalam sejarah Islam, 10 Muharram memang dikenal sebagai hari yang penuh peristiwa besar. Selain menjadi hari wafatnya cucu Nabi, Imam Husain, di Karbala, juga disebut sebagai hari diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Firaun. Maka tidak heran, hari ini penuh makna: ia adalah hari perlawanan terhadap kezaliman sekaligus hari penyelamatan dan keberanian moral.

Di tengah makna besar itu, saya justru melihat bagaimana 10 Muharram memberi ruang bagi keluarga untuk memperkuat nilai-nilai keislaman secara membumi. Bagi ibu saya, mengajak anak-anaknya memasak dan berbagi bukanlah ritual kosong. Itu adalah bentuk pendidikan mengajarkan bahwa agama bukan hanya soal ibadah pribadi, tetapi juga tentang relasi sosial, kepedulian, dan keberpihakan pada yang lemah.

Berita Terkait :  Surat Edaran COVID-19: Alarm Dini Kewaspadaan Kesehatan Publik

Tradisi keluarga kami tidak pernah memaksa anak-anak berpuasa sunah atau menyuruh membaca doa panjang. Tapi ada kehangatan yang ditanamkan secara pelan-pelan. Misalnya, ketika kami mengantarkan makanan ke rumah tetangga yang baru kehilangan pekerjaan. Atau saat kami menyisihkan sebagian uang jajan untuk membeli susu bagi anak-anak yatim di sekitar. Dari situ saya belajar bahwa Islam bisa hadir dalam tindakan-tindakan kecil, yang dilakukan dengan cinta.

Tentu saja, di era media sosial seperti sekarang, semua yang bersifat “berpesta” sering dikritik sebagai bentuk perayaan yang dangkal. Tak jarang ada suara-suara yang menyindir: “Mengapa kalian merayakan hari yang seharusnya duka?” Tapi, jika berpesta dimaknai sebagai cara masyarakat menyampaikan cinta dan solidaritas, apakah salah jika bentuknya adalah makanan hangat di meja, pelukan anak-anak kepada ibunya, atau senyum anak yatim yang diberi perhatian?

Saya percaya, setiap keluarga punya cara masing-masing untuk meresapi makna spiritual. Tidak semua harus melalui ceramah atau puasa. Kadang, justru pengalaman sederhana memasak bersama, makan bareng, saling bercerita, dan berbagi kepada tetangga adalah cara paling jujur merawat nilai-nilai Islam yang ramah dan membumi.

Muharram bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah cermin tentang siapa kita hari ini. Di tengah dunia yang makin individualistis, 10 Muharram mengajak kita untuk menyambung kembali relasi sosial yang terputus. Menghidupkan empati. Menumbuhkan keberanian untuk peduli. Dan dalam konteks keluarga, ia bisa menjadi ruang belajar spiritualitas yang inklusif: tidak menghakimi, tidak memaksa, tapi menginspirasi.

Berita Terkait :  Ketua Komisi A DPRD Lamongan Kawal PTT SD dan SMP Menuju PPPK

Maka, jika ada keluarga yang memilih “berpesta” pada 10 Muharram dengan makan bersama, berbagi makanan, atau berkumpul sambil mendongeng kisah para nabi bukankah itu bentuk nyata dari Islam rahmatan lil ‘alamin?

Saya membayangkan, andai tradisi-tradisi keluarga seperti ini dirawat dan diberi makna baru, kita tak hanya memperingati Asyura, tapi juga memperkuat ikatan keluarga dan memperluas empati sosial. Karena sejatinya, keberpihakan kepada yang lemah, kasih sayang kepada anak yatim, dan solidaritas antar tetangga adalah inti dari Islam yang diajarkan Nabi dan diteruskan oleh para keturunannya termasuk Imam Husain.

Dan bukankah keluarga adalah tempat pertama di mana nilai-nilai itu bisa ditanamkan, tumbuh, dan berbuah?

————- *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru