Batu, Bhirawa
Program 1.000 Sarjana telah diluncurkan Pemerintah Kota (Pemkot) Batu pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) beberapa waktu lalu. Kini program yang diinisiasi pasangan kepala daerah Kota Batu, Nurochman-Heli mulai dipantau publik.
Bahkan para mahasiswa mulai mengkritisi dengan mempertanyakan implementasi Program 1000 Sarjana terutama terkait mekanisme hingga pemberdayaan SDM para sarjana baru di program ini.
Di antara kelompok yang menyoroti sejumlah aspek dalam pelaksanaan program 1.000 Sarjana Kota Batu adalah Badan Eksekutif Mahasiswa-Universitas Muhammadiyah Malang (BEM-UMM).
Mereka mempertanyakan mulai dari sisi anggaran, mekanisme distribusi, dan terpenting kemana arah lulusan setelah mereka menyandang gelar sarjana. Karena hingga kini, belum ada kejelasan rinci terkait sumber dan struktur pembiayaannya.
“Jika berasal dari APBD, publik berhak tahu sektor mana yang dipangkas atau dikorbankan. Jika berasal dari sponsor eksternal atau CSR, siapa pihak-pihak yang terlibat dan bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya?” ujar Naufal Rizky Firdaus, Presiden BEM UMM, Rabu (21/5).
Ia menjelaskan bahwa pihaknya juga mempertanyakan absennya atau tidak adanya roadmap strategis jangka panjang bagi para penerima program. Tanpa dukungan terhadap ekosistem kerja, baik dari sektor industri, kewirausahaan, maupun inovasi sosial maka program ini justru rawan melahirkan sarjana-sarjana yang terjebak dalam pengangguran terselubung.
“Hal ini tentunya akan memperparah kondisi yang ada saat ini, di mana pengangguran terdidik justru menjadi tantangan besar di kota-kota yang tengah berkembang,” ungkap Naufal.
Kekhawatiran terhadap program ini, katanya, juga sejalan dengan pernyataan Presiden RI dalam berbagai forum yang menegaskan pentingnya efisiensi anggaran. Serta perlunya menghindari proyek-proyek yang hanya bersifat seremonial dan tidak berdampak nyata.
Presiden bahkan menyebut bahwa proyek berlabel populis namun lemah dari sisi pengawasan, justru menjadi ladang subur bagi korupsi daerah. “Kalau tidak efisien dan tidak transparan, maka program sosial semacam ini sangat berpotensi jadi ladang korupsi baru,” tambah Naufal.
Selain itu, pihaknya juga mengkritik aspek seleksi dan verifikasi penerima manfaat. Karena tanpa sistem yang ketat dan transparan, program ini sangat berisiko disusupi praktik penyalahgunaan, mulai dari manipulasi data penerima hingga intervensi politik dalam distribusinya.
Sejauh ini, belum ada mekanisme evaluasi terbuka yang menjamin bahwa penerima beasiswa benar-benar berasal dari keluarga kurang mampu dan memiliki komitmen akademik. Iapun menyayangkan kurangnya pelibatan pemuda, mahasiswa, dan elemen strategis lainnya dalam perumusan kebijakan.
Tanpa kolaborasi lintas sektor, integritas kebijakan, dan keberanian membuka ruang partisipasi publik, maka program 1.000 Sarjana hanya akan menjadi proyek elitis yang jauh dari problem nyata masyarakat. Karena program ini berpotensi melahirkan pengangguran terdidik, ketimpangan sosial, dan hilangnya arah pembangunan SDM lokal secara berkelanjutan.
Pada dasarnya, lanjut Naufal, sebagai mahasiswa tentu sangat mendukung perluasan akses pendidikan yang dilakukan pemerintah daerah. Asalkan program seperti ini tidak boleh hanya menjadi komoditas politik sesaat. Selain itu pendidikan tinggi juga bukan menjadi tujuan akhir, melainkan alat menuju perubahan sosial dan kesejahteraan.
Diketahui, program 1000 Sarjana ini telah diluncurkan Pemkot Batu dalam Peringatan Hardiknas 2025. Peringatan Hardiknas menjadi penanda dimulainya pemberian beasiswa untuk Program 1.000 Sarjana Kota Batu yang dikeluarkan pemerintah kota.
“Program Beasiswa 1.000 Sarjana di Kota Batu merupakan realisasi komitmen Pemkot Batu dalam meningkatkan layanan serta pemerataan pendidikan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Kota Batu,” ujar Nurochman. [nas.wwn]