Oleh :
Muhammad Ali Murtadlo
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo
Ramadan selalu dikaitkan dengan kesederhanaan dan pengendalian diri. Bulan ini menjadi waktu refleksi bagi umat Islam untuk menahan hawa nafsu, tidak hanya dalam hal makanan dan minuman, tetapi juga dalam pola konsumsi secara umum. Namun, realitas yang terjadi justru bertolak belakang. Alih-alih menekan pengeluaran, masyarakat cenderung mengeluarkan lebih banyak uang selama Ramadan, baik untuk kebutuhan berbuka, sahur, pakaian baru, hingga liburan menjelang Idulfitri.
Di tingkat negara, kondisi ini pun serupa. Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan efisiensi anggaran dengan memangkas dana di beberapa sektor, seperti pendidikan dan infrastruktur. Namun, di saat yang sama, belanja negara justru meningkat menjelang Ramadan dan Idulfitri. Anggaran untuk subsidi energi, bantuan sosial, dan tunjangan pegawai membengkak, memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan dalam kebijakan efisiensi yang diterapkan. Jika Ramadan seharusnya menjadi momentum kesederhanaan, mengapa pengeluaran individu dan negara malah semakin besar?
Fenomena Lonjakan Konsumsi di Bulan Ramadan
Dalam teori ekonomi Islam, keseimbangan antara konsumsi dan keberlanjutan adalah prinsip utama. Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran rumah tangga di Indonesia meningkat antara 10 hingga 30 persen selama Ramadan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Peningkatan ini terutama terjadi pada kebutuhan pangan, pakaian, dan hiburan.
Faktor budaya menjadi salah satu pemicunya. Masyarakat merasa perlu menyediakan makanan lebih banyak saat berbuka dan sahur, meskipun pada kenyataannya porsi makan tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Selain itu, ada kebiasaan membeli pakaian baru untuk Lebaran, bepergian ke kampung halaman, hingga mengadakan acara buka bersama yang terkadang lebih bersifat sosial daripada esensial.
Dampak dari pola konsumsi ini juga berpengaruh terhadap belanja negara. Setiap tahun, menjelang Ramadan dan Idulfitri, pemerintah mengalokasikan dana besar untuk subsidi energi dan bantuan sosial. Subsidi bahan bakar, misalnya, selalu meningkat karena kebutuhan transportasi melonjak. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan anggaran tambahan untuk Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pegawai negeri.
Inkonsistensi Kebijakan Efisiensi
Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan efisiensi anggaran dengan memangkas dana di berbagai sektor, salah satunya pendidikan. Pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10 persen untuk dialihkan ke program Makanan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan yang memicu pro dan kontra.
Di satu sisi, efisiensi memang diperlukan agar pengeluaran negara lebih efektif dan tidak membebani APBN. Namun, jika efisiensi dilakukan dengan memangkas sektor penting seperti pendidikan, sementara di sisi lain belanja negara tetap meningkat karena faktor musiman seperti Ramadan dan Idulfitri, kebijakan ini menjadi tidak konsisten. Pemotongan anggaran seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang, bukan hanya menyesuaikan kebutuhan jangka pendek.
Masalah lainnya adalah ketergantungan ekonomi Indonesia pada konsumsi domestik. Dengan lebih dari 55 persen PDB berasal dari konsumsi rumah tangga, pemerintah cenderung mendorong belanja masyarakat selama Ramadan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam kondisi ideal, pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya bergantung pada konsumsi, tetapi juga harus didorong oleh investasi dan produksi yang lebih produktif.
Selain itu, ada faktor politik dalam kebijakan ini. Ramadan dan Idulfitri adalah momen di mana masyarakat lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi mereka. Kebijakan seperti pemberian bantuan sosial, subsidi, dan insentif lainnya sering kali diterapkan bukan hanya untuk alasan ekonomi, tetapi juga untuk mempertahankan citra positif pemerintah di mata publik.
Solusi untuk Efisiensi yang Lebih Adil
Agar kebijakan efisiensi benar-benar efektif, pendekatan yang lebih strategis diperlukan. Pemerintah harus lebih selektif dalam menentukan sektor yang mengalami efisiensi. Pendidikan dan infrastruktur, sebagai investasi jangka panjang, seharusnya tidak menjadi korban pemotongan anggaran, sementara belanja yang bersifat konsumtif dan temporer harus lebih dikendalikan.
Subsidi dan bantuan sosial perlu dikelola dengan lebih efektif. Dengan menggunakan teknologi big data, pemerintah bisa lebih akurat dalam menyalurkan bantuan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Ini akan mengurangi pemborosan anggaran yang selama ini sering terjadi akibat sistem distribusi yang kurang efisien.
Selain itu, masyarakat juga harus lebih sadar dalam mengelola konsumsi selama Ramadan. Kampanye kesadaran untuk tidak berlebihan dalam berbelanja bisa menjadi salah satu langkah untuk mengurangi tren konsumtif. Konsep “puasa konsumsi” bisa diperkenalkan sebagai bagian dari refleksi spiritual dan ekonomi selama Ramadan. Jika masyarakat bisa lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, dampaknya tidak hanya akan terasa dalam kehidupan pribadi, tetapi juga dalam stabilitas ekonomi negara.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari fenomena ini. Ramadan seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan ajang konsumsi berlebihan. Kesederhanaan yang diajarkan dalam puasa seharusnya tidak hanya berlaku untuk makan dan minum, tetapi juga dalam pengelolaan keuangan. Jika masyarakat bisa menerapkan pola hidup sederhana selama Ramadan, dampaknya bisa lebih luas, baik bagi individu maupun ekonomi nasional.
Di sisi lain, pemerintah harus lebih konsisten dalam menerapkan kebijakan efisiensi. Jika efisiensi benar-benar diperlukan, maka alokasi anggaran harus dilakukan dengan lebih adil dan strategis. Pemotongan anggaran tidak boleh dilakukan secara serampangan, terutama jika justru mengorbankan sektor-sektor yang memiliki dampak jangka panjang bagi pembangunan bangsa.
Puasa mengajarkan kita untuk menahan diri dari segala yang berlebihan. Jika nilai ini bisa diterapkan tidak hanya dalam aspek spiritual tetapi juga dalam kebijakan ekonomi, maka Ramadan benar-benar bisa menjadi bulan yang penuh berkah, bukan hanya bagi individu, tetapi juga bagi bangsa dan negara.
————- *** —————-