Dari kiri Rangga Saadila (moderator), Eddy Supriyanto (Pj Walikota Madiun) dan Wahyu Kuncoro (FKDM) Jatim saat menghadiri Lokakarya di Hotel The Sun, Kota Madiun, Sabtu (19/10).
Kota Madiun, Bhirawa.
Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Jatim menggelar Lokakarya, Sabtu (19/10). Dalam Lokakarya yang berlangsung sehari tersebut menghadirkan FKDM Kab/Kota Madiun dan sekitarnya, Bakesbangpol Kab/Kota, organisasi massa, organisasi keagamaan dan aktivis Mahasiswa.
Perwakilan FKDM Provinsi Jatim Ria Damayanti saat membuka Lokakarya mengungkapkan kegiatan Lokakarya sebagai bagian tugas FKDM Jatim sebagaimana di atur oleh Permendagri 46 Tahun 2019 tentang KKDM.
“Secara umum FKDM memiliki dua tugas utama yakni menjaring, mengkoordinasikan dan mengkomunikasikan informasi terkait ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), serta bertugas memberikan pertimbangan (policy brief) kepada pemerintah daerah,” jelas Ria Damayanti.
Oleh karena itu jelas Ria, selain pemberian materi dari narasumber juga dilakukan diskusi kelompok dengan peserta yang bertujuan untuk mendapatkan data informasi terkait ATHG.
Hadir sebagai narasumber adalah Pj Walikota Madiun Eddy Supriyanto dan anggota FKDM Wahyu Kuncoro.
Saat menyampaikan paparanm Eddy Supriyanto mengingatkan tentang posisi strategis Jawa Timur dalam konstelasi politik dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, menjaga agar Jawa Timur tetap kondusfi menjadi menemukan urgensinya.
“Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih atas peran dan partisipasi dalam ikut menjaga Jawa Timur tetap kondusif termasuk di dalamnya adalah peran FKDM,” jelas Eddy Supriyanto.
Lebih lanjut menurut Eddy, fungsi fungsi deteksi dini yang dilakukan FKDM sangat efektif dalam mencegah atau meminimalisir kemungkinan muncul persoalan dalam masyarakat.
Sementara itu, anggota FKDM Jatim Wahyu Kuncoro mengingatkan potensi kerawanan yang mungkin terjadi pada masa transisi kepemimpinan nasional. Menurut dosen fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIS) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Fase transisi kepemimpinan pasca Pemilu dan Pilpres selalu menghadirkan potensi kerawanan sosial dan politik yang patut diwaspadai. Bentuk kerawanan itu antara lain; pertama, ketidakpuasan pihak yang kalah Pilpres atau Pemilu sehingga menyulut gelombang protes massa yang rawan ditunggangi kelompok tertentu yang ingin memantik kericuhan sosial.
Gejala itu sebenarnya sudah mulai tampak dengan munculnya narasi kecurangan Pemilu sampai seruan menolak hasil penghitungan suara KPU. Kedua, munculnya narasi yang menyebutkan bahwa presiden, DPR, Kementerian, dan lembaga pemerintahan lainnya akan mengalami kondisi lame duck alias bebek lumpuh. Yakni kondisi ketika individu atau lembaga kehilangan kekuatannya salam mengambil kebijakan karena sudah ada di fase akhir jabatan atau segera diganti dengan sosok yang baru.
Narasi pemerintah dan lembaganya mengalami fase lame duck ini rawan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mendelegitimasi otoritas kenegaraan dan menebarkan rumor bahwa negara dalam kondisi kritis atau rawan. nDi tengah kondisi pasca Pilpres dan fase transisi yang rawan konflik ini, jelas Wahyu maka seluruh komponen bangsa diharapkan bersinergi menjaga situasi sosial dan politik tetap kondusif. (why.dar).