Oleh :
Siti Aminah
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
Tren yang akhir-akhir ini menyeruak di berbagai platform media adalah tentang kisruh dalam tata kelola sumberdaya alam. Di berbagai tempat ada fenomena ekstraksi sumberdaya alam tak terbarukan secara tidak tepat. Sumberdaya ini jumlahnya terbatas di alam karena regenerasinya memerlukan waktu bertahun-tahun, seperti mineral dan bahan bakar fosil (minyak, gas alam, dan batu bara, dll). Ekstraksi ini telah menjadi faktor ketidakseimbangan alam. membahayakan kesehatan ekosistem dan kesejahteraan manusia. Ini juga menjadi petunjuk bahwa modernisasi telah secara sepihak melupakan gagasan keselamatan alam dan semus spesies di bumi. Tak terbayangkan ekstraksi sumber daya tidak berkelanjutan mencakup berbagai kegiatan, seperti pertambangan, pengeboran, penggalian, pemanenan, penangkapan ikan, dan penebangan. Ekstraksi sumber daya demikian ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti polusi air, tanah, dan polusi tanah.
Problemnya bukan hanya ekstraksi sumberdaya alam yang tidak lagi dikelola dengan bijak, tetapi yang utama adalah penolakan masyarakat atas bahaya yang mengancam kehidupan penghuni planet bumi dan ketidakseimbangan pengelolaan lingkungan di pihak lain. Sikap penolakan masyarakat (gerakan sipil) terhadap ekstraksi/eksploitasi sumberdaya yang tak terbarukan sebagai respon untuk konservasi dan tindakan perbaikan nasional. Situasi ini yang kini tengah kita hadapi bersama dan ada di depan mata tak terbayangkan serentetan bencana yang akan terjadi. Bisa secara tiba-tiba menjadi kemarahan alam menimbulkan bencana baru bagi manusia dan semua spesies yang ada di dunia ini. Bencana tidak hanya alam, namun sosial budaya juga. Kita semua perlu mengambil langkah bijak untuk mengelola semua potensi alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip keberlanjutan pembangunan dan menjaga kesehatan lingkungan.
Menabung Krisis Bencana
Masalah lingkungan kontemporer bersifat khas dalam sejumlah dimensi. Kekhawatiran tentang perubahan lingkungan, tentu saja, bukanlah hal baru. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kekhawatiran kontemporer tentang lingkungan telah berkurang sejak puncaknya pada periode menjelang Rio pada tahun 1992. Ini mungkin benar pada tingkat masyarakat yang agak dangkal tentang pentingnya isu-isu tersebut, tetapi ada alasan untuk menyimpulkan bahwa kekhawatiran kontemporer terhadap lingkungan berbeda, khas, dan tidak mungkin hilang seperti kecemasan yang dipicu oleh tesis Batas Pertumbuhan yang dibahas pada 1972. Tesis batas pertumbuhan gagal menahan imajinasi publik, dan krisis minyak OPEC, yang secara paradoks berfokus pada keterbatasan sumber daya, pada saat yang sama mengalihkan perhatian terhadap kebutuhan ekonomi daripada lingkungan.
Sumber daya tak terbarukan adalah sumberdaya yang jumlahnya terbatas di alam karena regenerasinya memerlukan waktu bertahun-tahun, seperti mineral dan bahan bakar fosil – minyak, gas alam, dan batu bara – Ide pembangunan berkelanjutan memberi titik tekan pada proses transformasi sosial (pembangunan) yang disebabkan oleh kendala fisik yang tidak dapat ditolak (keberlanjutan). Pembangunan berkelanjutan sekaligus merupakan prinsip ilmiah, tujuan politik, praktik sosial, dan pedoman moral. Kini ada pengakuan luas bahwa perubahan lingkungan global telah melewati ambang batas. Lingkungan dan masyarakat menimbulkan tantangan baik di tingkat pemikiran maupun tindakan. Kita semua secara intelektual, melihat dan merasakan implikasi sosial dari perubahan lingkungan semakin dianggap serius oleh ilmuwan sosial yaitu bencana alam dan sosial budaya. Hal ini tidak bisa lagi dipandang remeh.
Krisis bencana alam semakin tidak terhindari saat potensi kekayaan yang dimiliki negeri ini dilakukan berlebihan. Dengan perubahan fokus isu-isu global dan skala global ini, penekanannya adalah pada penipisan sumber daya akibat eksploitasi berlebihan dan pada beban pada basis penyangga yang diciptakan oleh polusi yang bersama-sama mengancam kelangsungan hidup ekosistem. Dapat dibayangkan bahwa tantangan yang ditimbulkan oleh proses perubahan lingkungan global menandai momen penentu perubahan sosial.
Jebakan Perspektif Modernitas
Kita semua tentu masih ingat tentang wacana teoretis dari hakikat modernitas masyarakat dan sumber perubahan. Pendekatan, yang sekarang secara luas disebut modernisasi ekologis, menyatakan bahwa meskipun kendala lingkungan harus diperhitungkan sepenuhnya, kendala tersebut dapat diakomodasi oleh perubahan dalam proses produksi dan adaptasi kelembagaan. Hal ini konsisten dengan lingkungan hidup dan dapat dilihat sebagai perluasan dari proses modernisasi. Krisis lingkungan hidup sudah sedemikian besar sehingga perubahan sosial dan ekonomi yang mendasar tidak akan mampu mengatasinya. Manusia menghabiskan sumber daya alam planet ini dan standar hidup akan mulai menurun pada tahun 2030 kecuali tindakan segera diambil. Pada tahun 2022, misalnya, kita telah menghabiskan modal alam yang tersedia selama 365 hari dalam setahun hanya dalam waktu 200 hari (World Wide Fund for Nature/WWF).
Perubahan lingkungan global dan strategi pembangunan berkelanjutan yang terkait dengannya adalah “konsep konsensus yang membentuk titik fokus untuk mobilisasi sosial dan politik” telah mencapai pengaruh pada tingkat teoretis, ideologis, dan politis. Penipisan ozon, pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati, penggurunan, dan proliferasi nuklir merupakan risiko yang nyata, bahkan jika skala, waktu, dan dampak pastinya tidak dapat diramalkan. Menurut perhitungan Global Footprint Network, sebuah organisasi yang telah meneliti cara mengelola batas alami bumi sejak 1971 menunjukkan bahwa dunia membutuhkan 1,75 planet untuk memenuhi kebutuhannya, meskipun masih ada waktu untuk membalikkan situasi ini: jika kita menunda hari eksploitasi planet ini selama 4,5 hari setiap tahun, pada tahun 2050 kita akan kembali ke keseimbangan antara konsumsi dan produksi sumberdaya alam.
Modernisasi ekologis memandang tantangan lingkungan bukan sebagai krisis tetapi sebagai peluang di sini (dan asumsinya biasanya tidak perlu dipertanyakan) adalah bahwa proses inovasi industri yang didorong oleh ekonomi pasar dan difasilitasi oleh negara yang memungkinkan akan memastikan konservasi lingkungan. prosesnya adalah perubahan bertahap dan adaptasi kelembagaan yang dicapai melalui konsensus dengan berbagai pemangku kebijakan. Yang jelas, masyarakat kontemporer sedang menciptakan risiko yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Oleh karena itu, perhatian terhadap kelangsungan hidup yang menyertai risiko lingkungan lokal- global kontemporer memerlukan pemecahan terutama ketika risiko lingkungan ternyata lebih terlokalisasi, isu-isu seperti kesehatan masyarakat, ketersediaan air bersih, dan kualitas udara, lingkungan harus menjadi perhatian utama.
Penutup
Pemangku kebijakan untuk peduli mencari lingkungan yang lebih baik dan memperkenalkan kebijakan perlindungan lingkungan yang komprehensif. Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan dapat menimbulkan berbagai risiko sosial, termasuk meningkatnya ketimpangan, kemiskinan, konflik, dan masalah kesehatan, terutama bagi kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat. Risiko-risiko ini sering kali diperparah dengan kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian yang bergantung pada sumber daya yang dieksploitasi. Karena itu, masa depan umat manusia dan semua makhluk di planet bumi ini, seperti yang dinyatakan dalam Agenda PBB 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, memberikan tantangan ganda bagi kita semua. Karena Kita bertanggungjawab untuk melestarikan berbagai bentuk dan fungsi alam dan menciptakan rumah yang adil bagi semua orang di planet yang terbatas ini. Disinilah pentingnya bagi kita untuk bersama-sama melestarikan modal alam dengan memulihkan ekosistem yang terdegradasi, menghentikan hilangnya habitat prioritas, dam memperluas dan melembagakan jaringan global kawasan lindung secara signifikan. Permintaan kita yang tanpa henti terhadap sumber daya bumi/alam mempercepat laju kepunahan dan menghancurkan ekosistem dunia.
————– *** —————–
[…] ini tayang di Harian Bhirawa pada 15 Juni […]