Oleh :
Rira Jun Fineldi
Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan atau artificial intelligence yang dikenal dengan sebutan AI telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Tidak hanya dalam sektor industrial atau layanan publik, tetapi juga mulai merambah dunia pendidikan.
AI seperti halnya ChatGPT, Gemini, atau Copilot kini sudah mulai digunakan oleh siswa untuk membantu mengerjakan tugas, menulis esai, bahkan memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi pertanyaan mendesak: apakah kurikulum pendidikan kita sudah siap menghadapi revolusi ini? dan apakah Kurikulum tanpa AI dianggap sebagai Pendidikan tanpa masa depan?
AI atau artificial intelligence adalah sebuah rangkaian teknologi yang memungkinkan untuk menjalankan fungsi tingkat lanjut hingga memiliki kemampuan pemecahan masalah layaknya manusia. Seperti halnya kemampuan untuk melihat, memahami, menerjemahkan bahasa lisan serta tertulis, menganalisis data, membuat rekomendasi, dan bahkan membuat prediksi berbasis data. Hal ini memungkinan seseorang dapat melakukan segala sesuatu yang detail dan terperinci dalam berbagai keinginan disegala bidang.
Namun sayangnya, kurikulum nasional kita saat ini belum memiliki kerangka jelas dalam menjawab fenomena ini. AI belum menjadi bagian integral dalam konten pembelajaran, kecuali sebatas disebut dalam mata pelajaran informatika tingkat tertentu. Padahal, negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Singapura sudah memperkenalkan literasi AI kepada siswa sejak jenjang dasar, bahkan mengaitkannya dengan pendidikan karakter dan etika digital (UNESCO, 2023).
Menurut The World Economic Forum, AI menempati posisi kedelapan dalam teknologi yang diprediksi akan diadopsi oleh berbagai organisasi pada tahun 2023-2027 dengan presentase sebesar 74,9%. Data tersebut menunjukkan bahwa pengaruh AI sudah berkembang secara masif di dunia. AI juga menawarkan banyak peluang untuk meningkatkan akses dan kualitas pembelajaran.
Teknologi ini dapat membantu guru menganalisis pencapaian belajar siswa, menemukan gap pemahaman, dan bahkan membuat materi yang dapat disesuaikan untuk setiap orang. Seperti halnya Finlandia yang menggunakan AI dalam membantu pengajar menemukan siswa yang berisiko tertinggal pada segi kognitif. Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi pembelajaran menjadi lebih cepat dan mudah sehingga menunjukkan perkembangan yang baik terhadap proses siswa dalam mendapatkan informasi pada pembelajaran.
Pemerintah sebenarnya telah mulai merancang untuk memasukkan mata pelajaran “coding” sebagai pelajaran pilihan di jenjang SD, SMP, dan SMA mulai tahun ajaran 2025-2026. Langkah ini merupakan awal terintegrasinya AI dalam pembelajaran di Indonesia. Namun apakah hal tersebut sudah siap untuk dilakukan?
Faktanya dilapangan masih banyak sekolah-sekolah yang memiliki keterbatasan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai dalam menunjang pembelajaran berbasis AI. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kesenjangan digital antara sekolah di perkotaan dan pedesaan. Bahkan AI justru lebih sering dipandang sebagai ancaman daripada potensi pembelajaran. Meskipun kurikulum sekarang mendorong kreativitas dan fleksibilitas, hal tersebut masih dirasa kurang berfokus pada keterampilan abad ke-21 yang memerlukan kecerdasan buatan yang menjadi dasar utama dalam meramu pembelajaran berbasis AI.
Menurut OECD (2023) pendidikan masa kini harus mencakup kemampuan berpikir kritis terhadap algoritma, kreativitas dalam menonjolkan ide, keterampilan kerja kolaboratif dengan mesin pintar, komunikatif , serta pemahaman karakter dan etika AI. Sangat penting bagi pemerintah untuk segera membuat rencana untuk memasukkan AI ke dalam pendidikan yang berjalan dengan baik dan digunakan dengan bijak. Hal ini tidak hanya memasukkan topik kecerdasan buatan ke dalam buku pelajaran, tetapi juga merancang ulang sistem pembelajaran secara keseluruhan untuk menyesuaikannya pada kurikulum pembelajaran nasional.
Masalah etis yang terkait dengan kecerdasan buatan juga menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam memasukkan AI dalam pembelajaran. Bagaimana pendidik dapat mengevaluasi kebenaran dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif yang muncul pada pikiran siswa ketika ia dapat menyelesaikan tugas dengan AI dalam hitungan detik? AI dianggap dapat merusak integritas akademik dan mendorong budaya secara instan jika tidak ada peraturan yang jelas dan panduan pedagogis yang kuat (Selwyn, 2023). Terus apakah kurikulum tanpa AI bagai pendidikan tanpa masa depan?
Tentu hal tersebut menjadi pertanyaan yang sangat memancing perdebatan tentang kualitas pembelajaran serta kesiapan guru dalam menghadapi tantangan pendidikan kedepannya. UNESCO menekankan pentingnya pendekatan yang berpusat pada manusia dalam penggunaan AI di pendidikan, termasuk perlindungan data pribadi dan kesetaraan akses. Tanpa panduan etika yang jelas, penggunaan AI dapat menimbulkan risiko seperti penyalahgunaan data dan ketergantungan berlebihan pada teknologi. Hal prioritas yang harus dibahas yakni memastikan bahwa integrasi AI dalam pendidikan tidak memperlebar kesenjangan digital yang sudah ada dimana sekolah-sekolah di daerah terpencil atau dengan sumber daya terbatas mungkin kesulitan mengadopsi teknologi ini, sehingga diperlukan kebijakan yang mendukung pemerataan akses dan pelatihan bagi semua pihak terkait. Pemerintah perlu menyusun peta jalan yang jelas untuk integrasi AI dalam pendidikan, mencakup pengembangan kurikulum, pelatihan guru, penyediaan infrastruktur, dan evaluasi berkelanjutan. Tidak lupa juga keterlibatan orang tua dan masyarakat juga penting agar pembelajaran siswa di lingkungan luar dari sekolah akan sesuai dengan nilai-nilai moral yang diharapkan keluarga dan masyarakat dengan memperhatikan manfaat dan risikonya.
AI bukan sekadar alat, tapi sebuah kekuatan baru yang membentuk cara berpikir generasi yang akan melek akan teknologi. Kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting untuk memastikan keberhasilan implementasi ini
Jika pendidikan nasional mengabaikan AI, kita berisiko menciptakan generasi yang mahir menggunakan teknologi tetapi tidak memahami konsekuensi sosial dan moralnya. Sebaliknya, jika AI digunakan dengan bijak, kita bisa mencetak generasi pemimpin yang tidak hanya cerdas digital tetapi juga bijak secara moral dan kritis. Itu adalah masalah besar bagi pendidikan di Indonesia saat ini. Integrasi AI dalam kurikulum bukan hanya tentang mengajarkan teknologi, tetapi juga tentang membentuk karakter dan etika siswa dalam menggunakan teknologi tersebut. Pendidikan yang tidak mengakomodasi perkembangan teknologi seperti AI berisiko menjadi usang dan tidak relevan dengan kebutuhan masa depan. Oleh karena itu, integrasi AI dalam kurikulum bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan bahwa siswa Indonesia siap menghadapi tantangan dan peluang di era digital.
Perlu diingat bahwa teknologi hanyalah alat, dan keberhasilannya tergantung pada bagaimana manusia menggunakannya. Oleh karena itu, penting untuk menekankan pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional siswa, agar mereka dapat menggunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.
Dengan langkah-langkah yang tepat dan kolaborasi dari semua pihak, integrasi AI dalam pendidikan dapat menjadi katalisator untuk transformasi sistem pendidikan Indonesia menuju masa depan yang lebih inklusif, adaptif, dan berkelanjutan yang Indonesia Emas 2045 akan terlaksana.
————- *** —————–