25.7 C
Sidoarjo
Monday, June 23, 2025
spot_img

Generasi Emas Menolak Disinformasi, Radikalisme, dan Intoleransi

Oleh :
Nur Cholissiyah, M. Pd.
Pendidik di SMPN 3 Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jatim

Dalam dua dekade terakhir, dunia mengalami lompatan besar dalam teknologi informasi yang mengubah cara manusia berkomunikasi, bekerja, dan membangun pemahaman terhadap dunia. Internet dan media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, penetrasi internet yang mencapai lebih dari 70% populasi membuat ruang digital menjadi arena yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik dan perilaku sosial.

Namun, seiring dengan kemajuan tersebut, hadir pula tantangan serius berupa penyebaran disinformasi, tumbuhnya radikalisme, dan menguatnya intoleransi. Ketiganya menjadi ancaman nyata bagi stabilitas sosial, keberagaman, dan masa depan bangsa. Dalam konteks inilah, generasi muda yang diproyeksikan menjadi pilar utama pembangunan Indonesia Emas 2045, memiliki peran krusial sebagai garda terdepan dalam menangkal ancaman-ancaman tersebut.

Memahami Karakteristik Generasi Emas
Generasi emas Indonesia merujuk pada kelompok usia produktif yang lahir dan tumbuh dalam ekosistem digital. Mereka adalah digital native terbiasa dengan teknologi, cepat menyerap informasi, dan aktif di ruang maya. Menurut proyeksi Bappenas, pada tahun 2045 saat Indonesia genap berusia 100 tahun, komposisi penduduk Indonesia akan didominasi oleh usia produktif. Inilah momen emas untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, berdaulat, dan berdaya saing tinggi.

Namun, keunggulan digital yang dimiliki generasi muda ini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika tidak diimbangi dengan literasi digital, kecakapan berpikir kritis, dan nilai-nilai kebangsaan, maka justru akan membuka celah besar bagi infiltrasi ideologi ekstrem, informasi menyesatkan, dan praktik intoleransi yang dapat merusak fondasi negara.

Berita Terkait :  Relawan Cantiq Situbondo dan Gembel Konsolidasi Pemenangan Luluk-Lukman

Menolak Disinformasi: Membangun Budaya Literasi Digital
Disinformasi atau informasi palsu yang disebarkan dengan tujuan tertentu, menjadi salah satu masalah utama era digital. Hoaks dan teori konspirasi dengan mudah menyebar melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Bahkan, algoritma digital kerap memperkuat penyebaran informasi menyesatkan karena kecenderungan manusia untuk lebih cepat mempercayai hal yang emosional dan sensasional.

Generasi emas harus memainkan peran penting dalam melawan disinformasi dengan membangun budaya literasi digital. Ini berarti antara lain, pertama harus mampu membedakan antara informasi valid dan tidak valid, kedua, harus bisa memverifikasi sumber informasi, kemudian yang ketiga adalah mengedukasi orang-orang di sekitar mereka, termasuk keluarga dan komunitas.

Sebagai pengguna aktif media digital, generasi muda dapat menjadi influencer kebenaran, menyebarkan fakta, meredam hoaks, dan mendorong diskusi berbasis data. Banyak inisiatif berbasis komunitas, seperti gerakan cek fakta dan kampanye anti-hoaks, yang bisa diikuti dan dikembangkan oleh anak-anak muda untuk meluaskan pengaruh positif mereka.

Menangkal Radikalisme: Menjadi Agen Moderasi dan Dialog
Radikalisme adalah paham yang menghendaki perubahan drastis dengan cara-cara ekstrem, bahkan kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan bagaimana media sosial digunakan untuk merekrut simpatisan dan menyebarkan ideologi radikal, termasuk di Indonesia. Radikalisme tumbuh subur di lingkungan yang tidak memiliki daya tahan ideologis, minim literasi keagamaan, dan kehilangan ruang dialog. Generasi muda harus memahami bahwa radikalisme bukan hanya masalah keamanan, tapi juga masalah sosial, pendidikan, dan psikologis.

Berita Terkait :  Satreskrim Polres Gresik Ungkap Ibu Muda Buang Bayi hingga Tewas

Peran generasi emas dalam menangkal radikalisme dapat diwujudkan antara lain seperti

mempromosikan nilai-nilai moderasi dalam beragama dan bernegara, menumbuhkan sikap toleran terhadap perbedaan, aktif dalam kegiatan lintas agama, budaya, dan komunitas, menolak segala bentuk ujaran kebencian dan kekerasan di media sosial. Pemuda harus menjadi agen dialog, bukan pemicu konflik. Mereka bisa menciptakan ruang-ruang virtual yang sehat, edukatif, dan terbuka bagi perbedaan. Melalui konten digital, podcast, video edukatif, dan kampanye sosial, generasi muda bisa mengangkat narasi kebersamaan dan kemanusiaan. Selain itu ada pula cara untuk melawan intoleransi, menjadi pelopor persatuan dalam keberagaman. Intoleransi muncul ketika seseorang atau kelompok menolak eksistensi orang lain yang berbeda pandangan, keyakinan, atau identitas. Di era digital, intoleransi bisa sangat mudah menyebar melalui komentar, meme, dan unggahan bernada kebencian.

Indonesia adalah negara yang sangat beragam, baik dari sisi agama, etnis, budaya, maupun bahasa. Oleh karena itu, intoleransi menjadi ancaman serius terhadap keutuhan bangsa. Di sinilah generasi emas harus tampil sebagai pelopor dalam membangun narasi persatuan dalam keberagaman. Generasi muda harus menyadari bahwa keberagaman bukan hambatan, melainkan kekayaan yang harus dirawat. Mereka perlu aktif dalam gerakan kebudayaan dan sosial yang merayakan keberagaman, mempromosikan inklusivitas dalam komunitas digital, menolak sikap eksklusif dan superioritas kelompok

Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, pemuda dapat mengangkat kembali nilai-nilai lokal dan kearifan budaya yang selama ini menjadi perekat bangsa. Hal ini bisa dilakukan melalui karya seni, musik, film pendek, dan kampanye sosial yang mencerminkan semangat kebersamaan.

Berita Terkait :  Pemerintah Akan Ubah Subsidi BBM ke BLT, Ketua DPD RI: Khawatirkan Dampak Kelas Menengah

Generasi emas tidak cukup hanya menjadi penonton atau pengikut tren. Mereka harus menjadi pencipta dan penggerak. Dalam konteks digital, ini berarti aktif berkolaborasi lintas sektor dan komunitas. Pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan sektor swasta perlu menggandeng generasi muda dalam menyusun strategi melawan disinformasi, radikalisme, dan intoleransi.

Sebagai generasi yang akan memimpin Indonesia menuju 2045, generasi emas memegang tanggung jawab besar. Era digital menawarkan peluang luar biasa, namun juga membawa tantangan serius berupa disinformasi, radikalisme, dan intoleransi. Generasi muda harus menyadari bahwa melawan ketiga ancaman ini bukan semata tugas negara atau aparat keamanan, tetapi juga tugas moral dan kebangsaan setiap warga negara, terutama mereka yang punya akses dan pengaruh di ruang digital. Dengan bekal literasi, kesadaran sosial, semangat kolaborasi, dan cinta tanah air, generasi emas Indonesia dapat menjadi benteng pertahanan bangsa sekaligus pelita harapan untuk masa depan yang lebih adil, damai, dan bersatu dalam keberagaman.

————- *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru