Berbagai pihak tersentak dengan laporan World Bank (Bank Dunia), berkait rilis tentang kemiskinan global. Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi (paling miskin) setelah Zimbabwe (negara di Afrika Tenggara). Dalam laporan World Bank dinyatakan jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 60.3% (sekitar 171,8 juta jiwa). Patut tersentak, karena menurut data BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya sebesar 8,57%, meliputi 24,06 juta jiwa. Perbedaan sangat mencolok.
Perbedaan data, menurut Kepala BPS (Badan Pusat Statistik) disebabkan beda standar (nilai) kemiskinan. BPS menggunakan standar hidup layak minimal (Cost of Basic Needs, CBN). Yakni, standar konsumsi sebesar 2.100 kalori per-orang per-hari. Sudah termasuk sayur, dan laupauk sederhana (telur, dan tahu). Serta tambahan kebutuhan perumahan, Pendidikan, Kesehatan, pakaian, dan transportasi. Padahal sejak lama standar konsumsi sebesar 2.100 kalori, bagaikan memberi makan ikan hias.
Sedangkan standar kemiskinan menurut Bank Dunia, menggunakan metode purchasing power parity (PPP), yang berarti paritas daya beli. Untuk kategori miskin ekstrem sebesar US$ 2,15 per-hari (setara Rp 35.303,-). Kategori menegah bawah sebesar US$3,65 (setara Rp 59.932,-). Sedangkan menengah atas sebesar US$6,85 per-hari (setara Rp 112.475,-). Sedangkan garis kemiskinan Indonesia per-September 2024, sebesar US$ 595.242 per-kapita per-bulan. Sekitar Rp19.841,- per-hari.
Ironisnya, sejak tahun 2023, Indonesia dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country). Sehingga digunakan standar pengeluaran sebesar US$ 6,85 per-hari. Realitanya, Indonesia masih tergolong menengah bawah (lower middle). Dengan standar rata-rata penghasilan per-kapita sebesar US$ 4.870 se-tahun.
Ironis, sebagian analis (dan kalangan intelektual) lebih percaya pada laporan World Bank. Bahkan Presiden Prabowo Subianto, sejak awal sudah menyatakan, agar tidak cepat puas dengan pujian, bahwa Indonesia sudah masuk peringkat ke-16 dalam G-20. Menjadi ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Secara tekstual, Presiden Prabowo Subianto, menyatakan, “Kita merasa bangga bahwa kita diterima di kalangan G20, kita kita merasa bangga bahwa kita ekonomi ke-16 terbesar di dunia.”
Dalam pidato pelantikan (20 Oktobr 2024) saat itu, Presiden selanjutnya menyatakan, “Tapi apakah kita sungguh-sungguh paham dan melihat gambaran yang utuh dari keadaan kita.” Di hadapan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dinyatakan pula, “Apakah kita sadar bahwa kemiskinan di Indonesia masih terlalu besar. Apakah kita sadar bahwa rakyat dan anak-anak kita banyak yang kurang gizi. Banyak rakyat kita yang tidak dapat pekerjaan yang baik. Banyak sekolah-sekolah kita yang tidak terurus.”
Problem kemiskinan patut menjadi prioritas pemikiran setiap Presiden RI. Sekaligus memiliki program pengentasan kemiskinan. Karena konstitusi secara tekstual memerintahkan penanganan kemiskinan. Tercantum dalam UUD pasal 34 ayat (1), dinyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Bahkan pada ayat yang kedua, dinyatakan kewajiban negara memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Masih ditambah catatan khusus model pemberdayaan yang “sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Rilis Bank Dunia berkait Macro Poverty Outlook, patut menjadi kritisi segenap tim perekonomian nasional. Termasuk DEN (Dewan Ekonomi Nasional). Program pengentasan kemiskinan patut diperkuat lebuh spartan. Bukan sekadar Bansos. Melainkan, yang lebih penting, fasilitasi rakyat tingkat grass-root. Terutama kinerja sektor pangan. Antara lain, perbaikan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta peningkatan tonase kapal nelayan. Juga fasilitasi budidaya perikanan, dan peternakan.
Fasilitasi juga diperlukan kalangan peternak indukan sapi unggul. Hingga kini kinerja sektor pangan yang berbasis perdesaan, masih identik dengan kemiskinan. Wajar tiada yang bercita-cita jadi petani, dan nelayan.
——— 000 ———