25 C
Sidoarjo
Thursday, March 6, 2025
spot_img

Anggota Komisi VIII DPR RI: Kemenag Perlu Menginventarisasi dan Mengupdate Jumlah Pesantren

Dialektika demokrasi ” Mengawal Komitmen Kementerian Agama Dalam Penerapan Kebijakan Pesantren Ramah Anak” di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (6/3/2025).

Jakarta, Bhirawa.
Anggota Komisi VIII DPR RI FPKB KH Maman Imanulhaq menegaskan jika kekerasan dan tindak asusila yang terjadi di sebagian kecil pesantren belakangan ini biasanya pesantren itu tidak berizin, sehingga tidak mendapat pengawasan internal maupun eksternal. Karena itu, dengan tumbuhnya banyak pesantren, Kemenag RI perlu menginventarisasi, mengupdate, jumlah pesantren di seluruh Indonesia.

Hal itu disampaikan Kiai Maman dalam dialektika demokrasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI dengan tema ” Mengawal Komitmen Kementerian Agama Dalam Penerapan Kebijakan Pesantren Ramah Anak” bersama anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriyana Gantina (FPDIP), anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad (FPKB), dan pengamat Pendidikan Andreas (Rumah Literasi 45) di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, pada Kamis (6/3/2025).

Bahkan lanjut Kiai Maman, banyak dari pesantren yang tumbuh tersebut ustazd-nya ‘karbitan’ tidak tahu asal dan belajarnya dari mana, keluarganya siapa, berguru kepada siapa, pendidikan agama di mana, dan apakah sudah berizin atau belum? “Makanya masyarakat harus hati-hati memilih pesantren untuk anak-anaknya,” ujarnya.

Menyadari banyaknya pesantren yang tumbuh sekarang ini menurut pengasuh Pesantren Al Mizan, Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat itu, pentingnya pemerintah mendata ulang. Selain melakukan pengawasan, sekaligus mengakui keberadaan pesantren yang ada sebelum negara ini ada dan telah berkontribusi besar terhadap tegaknya NKRI ini.

Berita Terkait :  Vonis Bebas Ronald Tannur, ICRW Sebut Penegakan Hukum Sudah Sakit Parah

“PKB dulu memperjuangkan UU Pesantren No.18 tahun 2019 yang berisi tiga point penting; yaitu afirmatif, pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan pesantren. “Meski mandiri, kalau diakui dan diberdayakan, maka wajar jika pemerintah membantu para guru agama di pesantren dan madrasah sewasta dengan layak. Sebab, banyak mereka itu yang digaji hanya Rp200.000/bulan. Itu pun jika ada,” katanya prihatin.

Jangan sampai lanjut Kiai Maman, yang diperhatikan justru pesantren-pesantren hanya papan nama, tidak memiliki santri, dan karena hanya milik oknum pejabat, mendapatkan Nomor Induk Pesantren (NSP). “Kata orang Sunda itu mah pesantren jajadian, dia tertulis namanya, terima dana, dan ada di daftar pesantren penerima Bos.Tapi, tak punya santri. Untuk itu, payung hukum itu penting agar legal,” tambahnya.

Data Kementerian PPPA sebanyak 28.831 kasus kekerasan terhadap anak, 24.000 nya korban perempuan, dan 6.200-nya laki-laki. Pesantren Al Mizan sendiri memiliki sekitar 1000 santri, hampir 60 persen gratis. Sekarang ini di seluruh Indonesia ada 39.551 pesantren dengan jumlah santri 5 jutaan orang. Jika terjadi kekerasan, bullying dan asusila itu angkanya 0,000 persen. “Artinya jumlah santri itu sangat besar. Jika tidak tersentuh, akan seperti apa menuju Indonesia Emas 2045?” pungkasnya.

Habib Syarief Muhammad menilai berbicara pesantren sejarahnya cukup panjang, karena pesantren ada di Indonesia melalui kurun waktu tiga abad silam, sejak tahun 1700 M dan pada tahun 1940 mulai mengalami kemajuan yang luar biasa sehingga jumlahnya mencapai 40.000 dan banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa dan negarawan. “Di Indonesia, kalau tidak ada Gus Dur mungkin sejarah perjuangan bangsa ini masih didominasi oleh kelompok nasionalis saja. Padahal, 10 November 1945 yang diawali dengan resolusi jihad NU itu peran kiai dan santri yang luar biasa, juga peran-peran lain untuk tegaknya NKRI ini.

Berita Terkait :  Diuji, Pembelian BBM Pertalite Pakai QR Code

Kini kata Habib Syarief, mulai banyak kalangan elit yang tertarik pada pendidikan pesantren, setelah sekolah-sekolah unggulan hanya mengejar prestasi akademis, elitis, cuek, hedonis, pragmatis, bahkan miskin akhlak dan kurang memiliki rasa cinta tanah air.

“Lihatlah pesantren Lirboyo Kediri, Tambakberas Jombang, Tebuireng, Gontor, Krapyak Yogyakarta, Cipasung Jawa Barat, dan lain-lain justru dengan santri ribuan bahkan puluhan ribu orang, biaya sekolahnya murah. Sehingga menjadi perhatian peneliti dari Jepang, Amerika, Australia, dan lainnya. Sehingga kalau terjadi kekerasan dan asusila, itu jumlahnya sangat kecil, dan itu dilakukan bukan oleh kiai utama, melainkan oknum ustadz,” ungkapnya.

Sementara itu menurut
Selly Andriyana Gantina, pentingnya pengawasan dari masyarakat, dan pemerintah.

“Perlunya pengawasan terhadap pendirian pondok-pondok pesantren. Khususnya yang kategori rumahan dan tidak berizin itu juga masih luput dari pengawasan Kementerian Agama, baik Kanwil maupun kabupaten/kota. Seperti kasus di kota Bandung, itu harus ada pengawasan yang jelas, kriteria pesantrennya seperti apa, dan pengawasan itu harus keberlanjutan dengan melibatkan ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain,” jelasnya.

Selain itu standar pendidikannya harus mengacu pada UU, misalnya UU No. 18 tahun 2019 tentang pesantren, peraturan pemerintah No. 57 tahun 2001 tentang standar nasional pendidikan yang mengatur standar keamanan dan kenyamanan pendidikan, termasuk di pesantren, peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), yang turunan dari UU PPKS No. 12 tahun 2022 yang mengatur kebijakan sekolah ramah anak. “Apakah ini sudah dilaksanakan dengan baik? Maka perlu ada evaluasi,” tambah Selly. (Ira.hel).

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru