26 C
Sidoarjo
Thursday, September 19, 2024
spot_img

Pilkada yang Adil

Ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 sesungguhnya merupakan kontestasi politik yang akan dipenuhi berbagai manuver dan dinamika. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan, untuk memuluskan jalan kemenangan siapa pun calon yang diusung pihak-pihak yang memiliki kuasa dan kekuatan logistik.

Manuver dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya dengan mengutak-atik ketentuan perundang-undangan, mengintimidasi dengan ancaman kasus hukum, hingga lobi-lobi partai politik yang didasarkan pada upaya mengambil habis kursi kekuasaan. Hal ini jelas akan mengoyak keadilan dalam ajang kompetisi pilkada. Kebebasan untuk memilih calon kepala daerah pun terkekang.

Manuver manuver dalam pilkada salah satunya dapat melahirkan pasangan calon tunggal melawan kotak kosong. Fenomena ini pertama kali muncul pada 2015. Sejak itu, sudah empat pilkada serentak berlalu, kompetisi melawan kotak kosong telah berubah dari fenomena menjadi semacam tradisi yang lestari.

Betapa tidak, jumlah pasangan calon tunggal melawan kotak kosong sampai dengan Pilkada 2020 terus bertambah. Bila diakumulasi, sudah sebanyak 53 pasangan calon bertanding dengan kotak kosong dan hampir semuanya, kecuali satu, berhasil menang.

Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan munculnya calon tunggal. Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 juga telah memastikan pilkada tetap dilaksanakan secara demokratis, meski hanya ada calon tunggal. Dengan berlandaskan konstitusi, putusan MK memberikan jalan bagi rakyat untuk memilih kotak kosong ketimbang tidak memakai hak suara juga dijamin.

Berita Terkait :  Menimbang Urgensi Institusi DPA

Kemunculan calon tunggal tidak serta-merta bisa disebut sebagai hasil rekayasa. Calon tunggal yang merupakan petahana sangat mungkin seng ada lawan karena didukung rekam jejak keberhasilan pemerintahannya. Tidak mengherankan juga bila calon tunggal menang melawan kotak kosong ketika hasil kerja dan kinerja mereka memang baik lalu diakui rakyatnya.

Yang berbahaya ialah bila pasangan calon tunggal dipaksakan lewat praktik-praktik prakondisi. Bila itu yang dilakukan, tentunya akan ada cawe-cawe lanjutan untuk memastikan mayoritas warga memilih calon tunggal hasil karbitan tersebut.

Rakyat adalah yang paling dirugikan karena gagal mendapatkan calon pemimpin daerah yang terbaik. Pun, terhalang kesempatan kandidat-kandidat potensial berkemampuan unggul untuk mengelola daerah.

Kiranya kita perlu mengingatkan kembali kepada para elite politik agar sepenuh hati dan dengan kesadaran berbangsa yang luhur menjalankan perintah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18 ayat (4). Ketentuan itu mengamanatkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis.

Demokratis dalam konteks kepemiluan di Indonesia harus menjunjung asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada pelaksanaannya selama ini, terjadi pilih-pilih asas alias ada satu, dua, atau bahkan mayoritas asas yang sengaja dilanggar. Praktik prakondisi di ajang pemilihan tanpa malu-malu dilakukan.

Luka demokrasi oleh sayatan praktik prakondisi dalam pemilihan presiden yang lalu saja belum jua mengering. Apa jadinya bila demokrasi kembali dikoyak-koyak di pilkada?

Berita Terkait :  Orientasi Maba dan Kampus Bahagia

Demokrasi yang sehat akan melahirkan para pemimpin yang sehat pula. Sehat dari sisi integritas, kemampuan mengelola pemerintahan, sampai dengan ketulusan mengabdi kepada rakyat. Bukan pemimpin yang terkerangkeng kandang nafsu berkuasa.

————– 000 —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img