27 C
Sidoarjo
Friday, June 13, 2025
spot_img

Menyelamatkan Masa Depan Industri Hasil Tembakau

Oleh :
Wahyu Kuncoro
Adalah Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang Undang 17/2023 tentang Kesehatan. Proses penyusunan RPMK ini memantik polemik karena dalam proses penyusunannya dinilai tidak melibatkan elemen pertembakauan, baik petani, pelaku industri, maupun pemangku kepentingan lainnya.

Materi yang tertuang dalam RPMK seolah menegaskan posisi pemerintah -dalam hal ini direpresentasikan oleh Kementerian Kesehatan– lebih mengedepankan kepentingan kesehatan dibandingkan memikirkan nasib industri pertembakauan di tanah air. Kementerian Kesehatan nampaknya juga memilih mengakomodasi desakan LSM anti rokok dan desakan kepentingan global dengan mengusung isu kesehatan dibandingkan mengakomodasi kepentingan kalangan industri hasil tembakau (IHT).

Indikasi ini terbaca dari masuknya poin tentang kemasan rokok polos ke dalam RPMK tersebut. Kebijakan tentang kemasan rokok polos termuat di Artikel 11 dalam Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control), yang sampai dengan saat ini sebenarnya tidak diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Indonesia sendiri walaupun tidak meratifikasi FCTC, tetapi untuk aturan-aturan selama ini hampir mengadopsi FCTC tersebut. Pernyataan yang selama ini disampaikan pemerintah pusat bahwa kita tidak akan meratifikasi FCTC, tetapi kenyataannya di beberapa peraturan mengadopsi pasal-pasal tersebut.

Sebagai negara yang ditopang oleh industri hasil tembakau yang banyak menyerap tenaga kerja dan bahan baku dalam negeri dalam proses produksi, maka seharusnya pemerintah lebih memikirkan nasib IHT dengan memberikan perlindungan, melalui sejumlah regulasi. Ironisnya, regulasi yang diterbitkan justru malah membatasi ruang gerak IHT bahkan secara perlahan regulasi yang dihasilkan akan membunuh industri hasil tembakau.

Padahal sebuah regulasi, menurut Montesqiue dalam The Spirit of Laws (2007) berfungsi sebagai pengatur kepentingan masyarakat, memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum, serta menjadi dasar pembentukan sistem hukum nasional. Regulasi juga memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan publik, menciptakan ketertiban, memastikan keadilan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Menyoal RPMK dan PP 28/2024
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) telah memperhadapkan nasib industri hasil tembakau di satu sisi dengan isu tentang kesehatan di sisi lain. Pemerintah lebih melihat kepentingan kesehatan yang harus dikedepankan dibandingkan menyelamatkan industri hasil tembakau. Akibatnya kemudian adalah aturan – aturan yang tertuang dalam RPMK lebih cenderung memposisikan industri pertembakauan, sebagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat sehingga harus dibatasi eksistensi dan perkembangannya.

Berita Terkait :  Program Tiga Juta Rumah Versus Inpres Efisiensi Anggaran

Tulisan ini sejatinya tidak dimaksudkan untuk menegasikan dampak negatif dari industri tembakau, sama sekali tidak. Upaya- upaya untuk menciptakan kesehatan masyarakat tentu harus didukung, termasuk mengatur untuk mengurangi dampak negatif dari industri tembakau. Hanya tentu yang diharapkan, regulasi yang dihadirkan tidak diskenariokan untuk mematikan industri hasil tembakau dengan mengatasnamakan kesehatan, tetapi tetaplah dipandang dilandasi semangat untuk menyelamatkan industri hasil tembakau, karena industrik ini juga punya kontribusi dalam menyelamatkan perekonomian bangsa ini.

Eksistensi industri hasil tembakau (IHT) dengan segala turunannya sesungguhnya lebih tua dibandingkan kelahiran bangsa ini. Para pendiri bangsa, pelaku sejarah yang memperjuangkan kemerdekaan negeri sudah sejak dulu berdampingan dan hidup aman dan damai dengan industri tembakau. Bahkan tembakau dengan segenap proses produksi dan konsumsinya sudah melahirkan tradisi dan budaya bangsa tersendiri. Artinya, kehidupan sosial budaya bangsa ini tidak bisa dipisahkan dengan tembakau. Bahkan hingga hari ini, secara faktual menunjukkan betapa industri tembakau juga secara nyata memberikan kontribusi yang besar terhadap bangsa ini.

Tragisnya, seiring perjalanan bangsa ini, justru regulasi regulasi yang hadir mengatur keberadaan industri tembakau justru tidak membuat industri ini kian berkembang agar dapat memberi kontribusi yang membesar, tetapi justri regulasi yang dihadirkan dimaksudkan untuk mematikan eksistensi industri hasil tembakau karena dituduh menjadi sumber masalah kesehatan. Apa yang kita saksikan hari ini, industri yang telah tumbuh membesarkan bangsa ini dan tengah berjuang untuk tetap bertahan karena terus mengalami tekanan,yang justru dipicu oleh kebijakan pemerintah yang notabene sudah terbantu dan menikmati hasil IHT.

Industri padat karya seperti IHT sudah cukup tertekan oleh situasi ekonomi global. Sudah banyak contoh yang kita lihat belakangan ini, mulai dari tekstil hingga industri media. Bahwa di tengah gelombang ketidakpastian ekonomi ini, pemerintah tidak perlu tergesa-gesa dalam mengeluarkan sebuah kebijakan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87 persen pada kuartal I-2025, jauh di bawah target 5 persen. Capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 ini masih tertinggal dari target pemerintah sebesar 8 persen dan kalah dari negara pesaing seperti Vietnam. Oleh karena itu, penguatan sektor industri dalam negeri, termasuk industri hasil tembakau harus menjadi prioritas utama untuk mendorong perekonomian nasional.

Berita Terkait :  Danrem 081/DSJ Berganti, Pj Wali Kota Madiun Apresiasi atas Dedikasi

Industri hasil tembakau ini merupakan salah satu industri yang harus dipertahankan oleh pemerintah, berhubung industri ini memiliki tenaga kerja dari hulu hingga hilir yang mencapai 6 juta orang. Industri hasil tembakau (IHT) selama telah menjadi tulang punggung sektor padat karya di Indonesia. Pada 2022, sektor IHT menyerap sekitar 5,98 juta tenaga kerja.

Ini artinya, dari hulu ke hilir, jutaan keluarga menggantungkan hidupnya di sektor ini. Tak hanya menyerap tenaga kerja, kontribusi ekonomi sektor ini juga tidak bisa dianggap sepele. Industri hasil tembakau, misalnya, menyumbang 4,22 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selain itu, penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) mencapai Rp216,9 triliun hanya pada tahun 2024-angka yang jelas menunjukkan betapa strategisnya sektor ini bagi pendapatan negara.

Namun di balik angka-angka besar ini, bayang-bayang ancaman pengangguran tetap mengintai. BPS mencatat bahwa pada Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) memang turun tipis menjadi 4,76 persen dari 4,82 persen setahun sebelumnya. Tapi yang mengkhawatirkan, jumlah pengangguran secara absolut justru naik dari 7,2 juta menjadi 7,28 juta orang. Ini terjadi karena laju pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dibanding penyerapan tenaga kerja. Kondisi ini makin mempertegas pentingnya menjaga stabilitas sektor padat karya, termasuk IHT, agar tak ada lagi lonjakan pengangguran yang tak diantisipasi.

Masalah lain yang juga menjadi sorotan adalah peredaran rokok ilegal yang kian mengkhawatirkan. Pada 2024, proporsi rokok ilegal melonjak tajam hingga mencapai 46,95 persen, naik drastis dari 30,96 persen pada tahun sebelumnya. Jenis yang paling marak adalah rokok polos tanpa pita cukai, yang bahkan menguasai 95,44 persen dari total rokok ilegal yang beredar. Kondisi ini diperkirakan merugikan negara hingga Rp97,81 triliun hanya dalam setahun. Lonjakan ini menguatkan kekhawatiran bahwa semakin ketatnya regulasi tanpa pengawasan yang memadai justru akan memicu pasar ilegal tumbuh subur.

Menyelamatkan Kepentingan Nasional
Kehadiran PP 28/2024 dengan RPMK-nya telah menghadirkan beban baru. Sejumlah pasal dikhawatirkan akan kian menghimpit IHT dalam negeri. Sebagai gambaran misalnya Pasal 431 dalam PP tersebut. Aturan tersebut mengatur kadar nikotin dan tar. Hal itu tentu bisa berdampak buruk terhadap para petani tembakau Indonesia. Industri kretek menggunakan bahan baku lokal 97%. Bahan baku lokal itu baik itu tembakau, ada cengkeh. Petani kita masih sifatnya tradisional dan belum ada teknologi seperti di luar. Sehingga hasil tembakau yang dihasilkan oleh petani dalam negeri itu tembakau-tembakau yang sifatnya nikotin tinggi.

Berita Terkait :  Menyelamatkan Masa Depan Industri Hasil Tembakau

Imbas dari aturan tersebut yakni para pelaku industri harus mengimpor bahan baku tembakau dari luar negeri untuk memenuhi mematuhi aturan tersebut. Bila kadar tar dan nikotin dibatasi pemerintah pasti akan terjadi tembakau hasil petani tidak bisa dipakai. Konsekuensinya dari risikonya apa? Berarti import, import tembakau.

Polemik dari peraturan tersebut tidak berhenti sampai disitu saja. Aturan kemasan polos yang terdapat di PP dan juga RPMK tersebut juga dinilai membuat persaingan bisnis tidak sehat. Padahal di satu sisi, serapan tenaga kerja sektor industri hasil tembakau mencapai 5,98 juta pekerja dengan kontribusi kepada negara yang tidak sedikit. Dengan adanya kemasan polos tentu akan terjadinya persaingan tidak sehat khususnya makin maraknya munculnya rokok-rokok ilegal.

Meskipun rokok dari aspek kesehatan itu tidak baik. Namun industri tersebut harus dilihat secara lebih objektif. Sebab sektor tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional. Memang, tidak bisa dibantah bahwa rokok punyak dampak negatif dari sisi aspek kesehatan. Tapi melihat rokok dengan bobot hanya dengan ketentuan kesehatan itu tidak fair. Untuk itu, seharusnya dalam setiap pembuatan peraturan pada sektor tersebut harus melibatkan banyak aspek. Tidak hanya bisa mengedepankan pada satu aspek saja.

Rokok ini kalau dari sisi penerimaan cukai dan perpajakan menyumbang lebih dari Rp 300 triliun. Kita bersyukur karena rokok ini menyumbangkan kepada negara, membuat negara tidak berhutang Rp 300 triliunan. Artinya Rokok telah menjadi tulang punggung pereknomian nasional dan menopang kehidupan bangsa ini, dan itu sesungguhnya merupakan kepentingan (national interest) kita yang harus kita jaga dan selamatkan.

——— *** ———-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru