Oleh:
Anisatul Sofiyah
Mahasiswa KKN subkelompok 8 Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Kondisi gizi balita yang masih memprihatinkan di beberapa wilayah pedesaan menjadi alarm keras bagi kita semua. Di Desa Jimbaran Wetan misalnya, sejumlah balita tercatat dalam kategori BGM (bawah garis merah) dan BGT (bawah garis tepat)-indikator awal dari potensi stunting yang bisa membatasi masa depan anak-anak kita. Dalam kondisi seperti ini, saya percaya bahwa pendekatan yang bersifat edukatif, aplikatif, dan kolaboratif menjadi sangat penting.
Sebagai bagian dari mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, [enulis bersama rekan-rekan subkelompok 8 menginisiasi kegiatan bertajuk Sosialisasi dan Dapur Sehat Inovasi Pangan Bergizi Cegah Stunting. Bukan sekadar penyuluhan, kegiatan ini kami rancang sebagai bentuk intervensi langsung yang menyentuh jantung persoalan: pola makan, pola asuh, dan kesadaran kolektif. Kami menghadirkan dua narasumber hebat.
Dari sisi gizi, Aprilia Kusumawardhani, S.Gz dari Wahana Visi Indonesia, menyampaikan bagaimana pentingnya nutrisi seimbang, terutama pada masa emas pertumbuhan anak. Dari sisi psikologi, Aulya Maharani, S.Psi., M.Psi., Psikolog dari Pusat Pelayanan Psikologi Rumah Stimulasi, menekankan peran pengasuhan dan kesehatan mental ibu dalam mendorong tumbuh kembang optimal. Kombinasi dua perspektif ini sungguh membuka mata kami semua: stunting bukan hanya soal makan, tapi juga soal pemahaman dan kasih sayang dalam pengasuhan.
Namun yang paling menyentuh bagi saya adalah saat kami menggelar demo masak dapur sehat, memperkenalkan menu bergizi sate lele. Anak-anak yang sebelumnya susah makan, ternyata lahap menikmati makanan hasil kreasi lokal tersebut. Ini bukan sekadar soal rasa, tapi soal pendekatan: makanan sehat harus disajikan dengan cara yang menarik dan familiar. Itu kuncinya.
Penulis meyakini bahwa perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil yang bermakna. Saat ibu-ibu di dapur mulai paham pentingnya protein hewani dari bahan lokal, saat ayah-ayah mulai sadar bahwa dukungan emosional kepada keluarga turut memperkuat kesehatan anak-maka di situlah titik balik dimulai.
Opini penulis sederhana: pencegahan stunting tidak bisa hanya dibebankan pada tenaga kesehatan atau pemerintah. Ini adalah urusan kita semua. Ketika kampus, warga, dan desa bersatu dalam semangat yang sama, perubahan nyata bisa terwujud.
Dapur sehat bukan hanya tempat memasak, tapi ruang edukasi dan harapan. Dan Jimbaran Wetan sudah memulainya. Kini tinggal bagaimana kita menjaga bara semangat ini agar terus menyala, hingga tak ada lagi anak yang tumbuh tanpa gizi cukup, kasih cukup, dan peluang cukup. [*]
Catatan : artikel ini disusun bersama Tito Bryan Herlambang, Aisyah Ayu dan Krisnando W