25 C
Sidoarjo
Thursday, April 17, 2025
spot_img

Urbanisasi dan Mitigasi Kemiskinan


Oleh :
Teguh Imami
Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya

Setiap pascalebaran masyarakat yang mencari pekerjaan dari desa ke kota (urbanisasi) selalu menjadi perhatian khusus. Sebab, bagi masyarakat yang tidak memiliki skill, ijazah, dan tidak memiliki relasi di dunia pekerjaan, seringkali menjadi korban kerasnya kota sehingga memunculkan persoalan baru. Alih-alih impian untuk menjadi orang kaya faktanya justru menjadi orang miskin baru.

Faktanya urbanisasi sudah ada sejak zaman Hindia-Belanda. Namun fenomena ini baru meningkat ketika abad 20an kota-kota besar mulai meningkat industralisasi. Jakarta, yang saat itu bernama Batavia, merupakan tempat singgah masyarakat untuk mencari penghidupan. Bergantinya zaman, tujuan masyarakat melakukan urbanisasi tidak hanya didominasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Saat ini beberapa kota yang sedang bertumbuh perekonomiannya juga menjadi sasaran masyarakat untuk melakukan urbanisasi.

Di Jawa Timur, Surabaya, masih menjadi primadona untuk penduduk di kabupaten sekitarnya merantau atau setidaknya tinggal di Surabaya. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab massal terjadinya urbanisasi di Surabaya, antara lain kesempatan Pendidikan di universitas, peluang kerja, peluang usaha dan lengakpnya akses fasilitas. Posisi Surabaya yang menjadi ibu kota provinsi Jawa Timur membuat banyak terbangun kantor hingga pabrik bertempat di daerah itu sehingga menciptakan besarnya peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan ketersediaan peluang kerja bagi mereka.

Berita Terkait :  Memaknai Liburan, Mereduksi Ekses Kemacetan

Penelitian penulis (2022), banyak mengungkap kaum-kaum urban di Surabaya yang tidak kebagian bekerja di perusahaan, tidak menempuh pendidikan, banyak tinggal di permukiman-permukiman kumuh dan bekerjanya sebagai pekerja informal seperti pedagang asongan, pengamen, pengemis, pemulung dan buruh kasar.

Munculnya Orang Miskin Baru
Beberapa ahli bersepakat bahwa faktor utama terjadinya urbanisasi adalah faktor perekonomian. Selain itu juga kurangnya lapangan pekerjaan, minim sarana dan prasarana, dan minim fasilitas pendidikan maupun pembangunannya di desa. Saat di desa kekurangan, mereka akan beralih ke kota (Berger & Engzwll, 2020).

Faktor penariknya yaitu kota mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Upah di kota jauh lebih tinggi, hiburan lebih banyak, tempat-tempat wisata atau bangunan yang lebih banyak dan bagus untuk di kunjugi. Masyarakat desa banyak mendengar kisah kesuksesan masyarakat yang melakukan urbanisasi (Ma, 2018). Hal ini dipertajam dengan sosiologis masyarakat kita yang setelah mudik ke kampung halaman menceritakan kehidupan kota yang serba cukup, baik, dan meyakinkan jaminan akan masa depan. Meskipun kondisinya tidak demikian.

Munculnya permukiman kumuh dan ilegal di Surabaya yang kemudian memunculkan kemiskinan baru karena mereka nekat melakukan urbanisasi (Teguh, 2022). Mereka miskin secara structural, karena relasi structural tidak berpihak kepadanya. Pemerintah kota tidak bisa berbuat banyak karena tidak berKTP Surabaya. Di sisi lain, mereka akan kesulitan mencari pekerjaan secara layak karena tidak memiliki ijazah, skill kerja tidak mumpuni.

Berita Terkait :  Peran Kades dalam Pelaksanaan Otonomi Desa

Bahkan mereka harus menghuni permukiman-permukiman liar, illegal, dan kumuh. Permukiman ini terdapat di dekat sungai, di bawah tol jembatan, atau di dekat makam. Bekerjanya pun dalam sektor informal. Hal inilah yang membuat munculnya orang miskin baru di kota. Jika dibiarkan kemiskinan structural ini akan terus berlanjut.

Mengantisipasi Urbanisasi
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 66,6% pada 2035. Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70% dari total populasi di tanah air. Data di atas menunjukkan jika pertumbuhan masyarakat yang akan tinggal di kota akan semakin meningkat. Artinya, urbanisasi masyarakat dari desa ke kota, juga terus berjalan. Terjadinya urbanisasi pascalebaran sulit rasanya jika dilarang, terlebih pertembuhan ekonomi antara desa dan kota yang belum merata.

Di sisi lain, juga tidak bisa menyalakan sepenuhnya kepada masyarakat yang urbanisasi, karena merekalah pembangunan kota bisa terlaksana. Pekerjaan-pekerjaan informal yang selama ini mereka lakukan, setidaknya membantu dalam pembangunan kota dan keberlanjutan kota. Pemerintah harus tegas dan melakukan mitigasi sejak dini untuk memitigasi adanya urbanisasi ini.

Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, Pemerintahan Surabaya, dan pemerintahan di kabupaten-kabupaten perlu bekerja sama dalam memitigasi masyarakat melakukan urbanisasi. Karena urbanisasi bukan satu-satunya solusi untuk merubah nasib masyarakat. Selain itu, negara wajib hadir dalam menyelesaikan masalah ini agar warga memiliki jalan lain untuk hidup sejahtera meskipun tidak melakukan urbanisasi.

Berita Terkait :  HMI untuk Indonesia Mandiri dan Berdaulat

Namun jika gelombang urbanisasi ini sudah terjadi, pemerintah, lapisan masyarakat hingga pengurus RT/RW perlu berbondong-bondong untuk mengantisipasinya dengan beberapa jalan. Pertama, memberi edukasi. Kedua, memberi pelatihan lapangan pekerjaan. Ketiga, perlu kesepakatan lama tinggal. Keempat, setidak-tidaknya memberi akses mengenai lapangan pekerjaan. [*]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru