Oleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Kantor Redaksi Tempo dua kali menerima paket misterius. Pertama, paket tanpa identitas pengirim ditujukan kepada seseorang yang bernama Cica, Rabu (19/3). Cica adalah nama panggilan Francisca Christy Rosana, seorang jurnalis desk politik dan host siniar Bocor Alus Politik. Isinya adalah kepala babi. Kedua, kotak kardus yang diduga dilempar dari luar pagar pada dini hari, Sabtu (22/3). Isinya, enam ekor tikus dengan kepala dipenggal.
Simbol Ancaman
Ramai publik menghubungkan bahwa kiriman kepala babi dan enam bangkai tikus itu adalah simbol sebuah ancaman. Bisa jadi ini berkaitan dengan liputan politik yang dilakukan Cica atau Tempo secara umum, yang sedang menguak sesuatu yang sensitif sehingga ada pihak tertentu yang merasa terusik. Apalagi selama ini Tempo dikenal sebagai media kritis, yang sering mengkritik pemerintah, elite politik, dan menginvestigasi liputan kasus korupsi.
Kepala babi, tikus terpenggal, atau kepala hewan lain yang sering digunakan oleh mafia dan kelompok teror di berbagai belahan dunia, adalah simbol ancaman yang mengandung makna mendalam: “Kami bisa melakukan ini padamu juga.” Karena itu, peristiwa ini bukan sekadar lelucon, ini adalah sebuah teror.
Pengiriman kepala babi dan tikus terpenggal ini perlu dimaknai sebagai bentuk teror simbolik yang bertujuan menakut-nakuti atau mengintimidasi jurnalis dan media yang kritis. Penggunaan kepala babi maupun tikus terpenggal ini bisa dimaknai sebagai peringatan bahwa targetnya bisa mengalami nasib serupa, “jangan macam-macam.” Hal ini juga bisa diartikan sebagai upaya menanamkan rasa takut agar Tempo dan wartawannya berhenti menyoroti isu-isu tertentu, terutama yang mungkin membahayakan kepentingan kelompok tertentu.
Dalam sejarah jurnalisme kritis di dunia, fenomena seperti ini banyak terjadi. Di berbagai negara, jurnalis yang mengungkap skandal besar sering mengalami ancaman serupa, baik dalam bentuk pesan eksplisit maupun simbolik. Meskipun tidak secara spesifik kepala hewan, ancaman terhadap jurnalis sering kali berupa simbol-simbol kematian, seperti peluru dalam amplop atau darah yang dicoretkan di rumah mereka.
Dalam konteks ini, ancaman terhadap Tempo memiliki pola yang mirip dengan ancaman terhadap jurnalis di berbagai negara, terutama yang meliput kasus korupsi, kejahatan terorganisir, atau pelanggaran pemerintah. Di Indonesia, teror semacam ini mengingatkan kita pada pola lama: kekuasaan yang enggan dikritik dan cara-cara premanisme untuk membungkam kritik.
Rapuhnya Kebebasan Pers
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa sepanjang 2023, terdapat lebih dari 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis, mulai dari intimidasi, pemukulan, hingga serangan digital. Namun kasus kepala babi dan tikus terpenggal ini lebih serius, bukan lagi sekadar persekusi verbal atau serangan siber, tetapi pesan kekerasan yang eksplisit: Mati!
Pertanyaan utamanya adalah siapa yang merasa terancam oleh pemberitaan Tempo? Apakah ini tindakan yang bersifat individual atau bagian dari kekuatan yang lebih besar? Biarlah pihak berwenang yang mengungkapnya.
Jika melihat perjalanan jurnalistiknya, Cica maupun wartawan Tempo secara umum kerap melakukan investigasi dan melaporkan isu-isu sensitif yang berkaitan dengan “orang-orang besar.” Dalam konteks dinamika politik saat ini, ketika banyak kebijakan kontroversial muncul dan kritik terhadap pemerintahan semakin meningkat, teror ini bisa dimaknai sebagai pesan kepada seluruh ekosistem jurnalisme kritis di Indonesia: “Jangan macam-macam, atau kamu akan mati.”
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya kebebasan pers dan perlindungan atas jurnalis di Indonesia. Kita semua mafhum, bahwa di alam demokrasi pers disebut sebagai pilar keempat yang berfungsi sebagai pengawas kekuasaan. Sayangnya, laporan Reporters Without Borders (RSF) 2024, indeks kebebasan pers Indonesia terus mengalami penurunan, dengan berbagai bentuk intimidasi terhadap jurnalis yang semakin sistematis. Jika pola ini dibiarkan dan terus berulang, hal ini dapat mengarah pada efek ketakutan massal (chilling effect), di mana jurnalis memilih untuk menghindari isu-isu sensitif demi keselamatan mereka.
Menanti Komitmen Pemerintah
Respons pemerintah terhadap kasus ini adalah ujian serius bagi komitmen mereka terhadap demokrasi. Maka, pernyataan salah seorang pihak istana yang mengatakan, “Sudah, dimasak saja.”, adalah sebuah bentuk penghinaan sekaligus menganggap sepele kasus tersebut.
Siapa pun dalangnya, entah itu individu, kelompok politik, atau aktor bisnis, harus diusut tuntas. Sebab, ancaman terhadap satu jurnalis adalah ancaman terhadap kita semua. Ini adalah ancaman terhadap kebebasan berbicara, kebebasan berpikir, dan kebebasan mendapatkan informasi yang jujur dan apa adanya.
Jika teror ini dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan, metode yang lebih brutal akan digunakan untuk membungkam suara kritis. Akibatnya, tanpa pers yang bebas, kita hanya akan mendapatkan narasi tunggal yang dikontrol oleh mereka yang punya kuasa politik dan kuasa kapital.
Maka, jika kasus ini tidak ditangani dengan serius, hari ini yang dikirim mungkin adalah kepala babi dan tikus dengan kepala dipenggal, tetapi besok bisa jadi kita semua akan menerima paket “demokrasi” yang telah dipenggal kepalanya, yang mungkin salah satunya lewat revisi undang-undang TNI yang sedang ramai itu maupun wacana revisi undang-undang Polri.
———— *** —————