Moral dan etika hakim terasa makin runtuh, setelah Kejaksaan Agung menetapkan empat hakim menjadi tersangka gratifikasi. Hanya dengan “satu pintu” mudah, melalui cara pencermatan catatan pemberian vonis bebas terhadap Ronald Tannur di PN Surabaya, setahun lalu. Mahkamah Agung (MA) telah membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus), menelisik “areal gelombang” suap hakim. Tetapi pesimistis mengiringi Satgassus MA, karena tidak memiliki wewenang penangkapan hakim nakal.
Ternyata tidak sulit membongkar sindikat suap hakim. Awalnya, penyidik mencermati perkara suap di PN Surabaya, sampai pada nama mantan pejabat MA, Zarof Ricar. Mantan Pranata dan Tatalaksana Perkara Pidana MA, ini diduga telah menerima suap sampai senilai Rp 915 milyar, plus 51 kilogram emas. Jabatan lain yang pernah disandang Zarof Ricar, antara lain Sekretaris Ditjen Badan Peradilan Umum MA. Serta Kepala Balitbang Kumdil MA(sampai tahun 2022).
Dengan serangkaian jabatannya, dimiliki akses luas hampir ke seluruh hakim di MA. Sehingga banyak pengacara (dan Panitera) menjadikan sebagai “jujugan” untuk menembus kalangan hakim. Pada kasus suap hakim di PN Jakarta Selatan, jaksa penyidik menemukan bukti percakapan yang menyebut nama Marcella Santoso (seorang pengacara) yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka. Pengacara (dan Panitera) biasa menjadi “markus” (makelar kasus), pintu masuk suap dan gratifikasi kepada hakim.
Pada tataran stigma masyarakat, bahwa sangat jarang pengacara handal (pandai) di Indonesia, termasuk yang bergelar profesor. Yang paling umum, adalah pengacara yang pintar menyuap hakim untuk memenangkan perkara. Toh segala biaya dibebankan kepada klien. Bahkan pengacara masih bisa memungut keuntungan, dengan “mengutil” fee gratifikasi untuk hakim.
Pengungkapan kasus suap hakim, telah ditahan (dijadikan tersangka) sebanyak 4 hakim di PN Jakarta Selatan. Ditambah seorang Panitera Muda PN Jakarta Utara, dan seorang pengacara. Masyarakat sangat geram, kasus penyuapan hakim semakin sering terungkap. Sampai tokoh hukum sekaliber Jimly Asshiddiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi yang pertama), menyatakan hakim yang disuap pantas dihukum mati. Dalam akun X (14 April 2025), milik Jimly, ditulis, “Hakim biadab seperti ini pantas dituntut hukuman mati.”
Hukuman mati, bukan frasa asing dalam kaidah pemidanaan. Juga diatur dalam Peraturan MA (Perma) Nomir 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 17 ayat (1), menyatakan, “Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu …, Hakim dapat menjatuhkan pidana mati sepanjang perkara tersebut memiliki tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan tinggi ….” Hukuman berlaku umum, termasuk kepada hakim, dan terdakwa yang memiliki kewenangan.
Kasus suap hakim, patut dicermati seluruh APH (Aparat Penegak hukum). Termasuk oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Seluruh pengacara yang biasa menyuap, sudah memahami benar alur kasus di Pengadilan. Sampai inkracht. Karena masih terdapat sebungkus uang tunai mata uang dolar AS, bertuliskan, “buat kasasi.” Tetapi boleh jadi, tidak sempat mengalir, sudah tertangkap. Bisik-bisik peradilan sejak lama memiliki olok-olok, tiada pengacara bagus (pintar), kecuali hanya cerdik menyuap APH.
Pelanggaran hukum oleh APH, bisa menghancurkan sendi-sendi kenegaraan. Maka negara wajib menumpas tuntas pelanggaran etika APH. Sesuai mandat yang tertulis dalam kovensi (United Nations Convention Against Corruption), tahun 2003. Dinyatakan: “Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan penegakan hukum.” Maka hakim menerima suap patut divonis hukuman mati.
——— 000 ———