Oleh :
Jusrihamulyono A.HM
Trainer PUSDIKLAT Pengembangan SDM UMM
Menuju hari yang dinanti segenap rakyat gang kecil hingga rakyat pinggiran desa yaitu, pelantikan kepala daerah tahun 2025 dalam kontestan politik 2024. Pelantikan yang unik dimana akan mengukir sejarah baru, kendati demikian sebanyak 505 kepala daerah tanpa gugatan di Mahkamah Konstitusi akan dilantik secara bersamaan pada 20 Februari 2025 serta langsung dilantik oleh Pak Prabowo sendiri (Kompas, 10/2/25).
Pelantikan Kepala Daerah secara serentak baik Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh Presiden dimungkinkan sebagai amanat Pasal 164 B Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 164 B UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut menyatakan: “Presiden sebagai pemegang pemerintahan dapat melantik Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak”.
Pelantikan serentak seyogyanya memiliki arti yang sepadan dengan pemilihan serentak pula. Bila dipilih dengan serentak tentu dengan waktu kerja pemimpin daerah pula harus dimulai dengan serentak. Pemimpin daerah tidak sekedar dilantik, namun sebuah seremonial untuk segera membenahi daerahnya. Mulai masalah sulitnya ditemukan lapangan pekerjaan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, hingga kepercayaan publik terhadap pelayanan publik pun kini suram.
No janji gimmick
Janji gimmick kepala daerah sering kali menjadi sorotan publik dalam setiap kontestasi politik. Istilah “gimmick” mengacu pada janji atau tindakan yang tampak mengesankan, tetapi sebenarnya kurang substansial atau hanya dibuat untuk menarik perhatian dalam jangka pendek. Dalam konteks kepala daerah, janji gimmick biasanya merupakan komitmen yang tidak didasarkan pada perencanaan yang matang atau tidak memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam sebuah buku yang berjudul Leader Eat Last oleh Simon Sinek (2014). Pemimpin berposisi layaknya pilar rakyat, langitnya rakyat serta dinding rakyat yang kapan saja siap berkorban demi apapun. Bupati, Wali Kota, Gubernur hingga setinggi pejabat negara menjadi posisi krusial dalam menjaga kehidupan para rakyatnya, sebaliknya tidak sedikitpun diperkenankan menggerogoti kehidupan rakyat atas kebohongan proyek.
Buku yang dikutip di atas bahwa konsekuensi pemimpin yaitu berfikir pada kemakmuran rakyat dengan bentuk empati. Artinya nilai empati untuk merasakan penderitaan rakyat, merasakan pengorbanan relawan yang berjuang mencari suara rakyat, rasa kepedulian akan nasib rakyat. Pemimpin dengan kesiapan harus siap untuk berfikir dan bekerja menyatukan keinginan dan memberikan ruang kepada rakyat mendapatkan haknya.
Fenomena janji gimmick sering kali muncul saat kepala daerah sedang dalam masa kampanye atau saat menghadapi tekanan untuk menunjukkan bahwa mereka bekerja untuk kepentingan rakyat. Janji-janji ini cenderung bersifat populis, seperti memberikan bantuan langsung yang bersifat sementara, mengumumkan proyek besar yang sulit direalisasikan, atau berjanji mengatasi masalah dalam waktu yang sangat singkat. Meskipun tampak menarik dan memikat, janji-janji tersebut sering kali tidak sesuai dengan kenyataan setelah kepala daerah dilantik.
Kepercayaan yang terkikis ini bisa membuat masyarakat merasa apatis dan skeptis terhadap pemimpin mereka dan kebijakan yang dijalankan. Ini tentu berbahaya karena dapat menciptakan ketidakstabilan sosial dan politik, serta menghambat upaya pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, janji gimmick bisa merugikan anggaran daerah. Kepala daerah yang terjebak dalam janji-janji besar tanpa perencanaan yang jelas cenderung membuat keputusan impulsif pada orientasi pertaruhan politik.
Alih-alih fokus pada program pembangunan yang berkelanjutan, anggaran bisa tersedot untuk proyek-proyek yang tidak produktif atau tidak sesuai dengan kebutuhan jangka panjang daerah. Hal ini masih sering terulang dengan pemberitaan kasus korupsi hingga kasus suap-menyuap proyek. Pertarungan posisi kepala daerah sudah menjadi rahasia umum perihal desain dengan janji gimmick.
Penting bagi kepala daerah untuk menghindari jebakan janji gimmick dan lebih fokus pada komitmen yang realistis dan terukur. Janji yang berdasarkan pada analisis mendalam dan kebutuhan masyarakat yang riil akan lebih mudah direalisasikan dan memberikan manfaat jangka panjang. Pemimpin yang baik adalah mereka yang dapat merancang kebijakan dengan landasan yang kuat, memberikan solusi konkret, dan tidak hanya mencari popularitas semata.
Pertarungan Mentalitas
Pertarungan mental seorang pemimpin sering kali tidak terlihat oleh publik, tetapi dampaknya sangat besar bagi efektivitas kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak hanya berhadapan dengan tantangan eksternal, seperti kebijakan, ekonomi, atau krisis, tetapi juga dengan tantangan internal berupa tekanan emosional dan psikologis. Keteguhan mental menjadi kunci utama dalam menentukan keberhasilan kepemimpinan.
Pemimpin yang kuat secara mental mampu menghadapi stres dan tekanan dengan kepala dingin, mengambil keputusan yang tepat dalam situasi sulit, serta memberikan inspirasi kepada tim. Sebaliknya, pemimpin yang mudah terpengaruh oleh tekanan cenderung membuat keputusan yang impulsif, yang bisa berdampak buruk bagi organisasi atau masyarakat yang dipimpinnya.
Selain itu, pemimpin harus mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan tanggung jawab profesional. Seringkali ujian pemimpin diawali dengan orang terdekat. Oleh karena itu, penting bagi seorang pemimpin untuk memiliki jaringan dukungan, baik itu keluarga, teman, atau rekan sejawat, untuk menjaga stabilitas mental. Hanya saja, moralitas dalam membangun jiwa mentalitas yang sehat sering dialih fungsikan yang berdampak pada keinginan memperkaya golongan maupun kelompok sendiri.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, mentalitas pemimpin diuji lebih dari sekadar kemampuan teknis. Kepala daerah yang terpilih memiliki makna yang mampu mengelola tekanan, tetap berpikir jernih, dan tetap fokus pada visi jangka panjang, meskipun berada di tengah krisis atau perubahan besar. Ini adalah inti dari pertarungan mental yang sesungguhnya. Pada akhirnya, keberadaan kepala daerah menjadi sentral membangun kemaslahatan (kebaikan) bukan kemudharatan (kerusakan) pada lingkungan yang dipimpinnya.
———— *** ————–