Oleh ;
Arief Azizy
Bergiat di Jaringan GusDURian Kediri dan Peneliti di Laboratorium for Psychology Indigenous and Culture Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Trisuci Waisak yang dikenal sebagai peristiwa agung oleh umat Buddha merupakan bagian dari peristiwa penting yang menjadi objek penghormatan. Umat buddha meyakini bahwa pada saat ini, energi spiritual mencapai puncaknya, sehingga menjadi waktu yang tepat untuk bermeditasi dan merenungi ajaran Buddha.
Menyambut dan merayakan Hari Raya Trisuci Waisak 2569 ini melalui Kementerian Agama mengeluarkan surat edaran Nomor 67 Tahun 2025 tentang Vesakha Sananda 2569 BE/Tahun 2025. Serta dalam hal ini melaksanakan program prioritas kementerian agama dengan melalui kegiatan-kegiatan yang bermanfaat terhadap umat Buddha. Hal demikian menjadi sangat penting untuk menjadi sarana dan media dalam menginternalisasi kegiatan-kegiatan yang toleran di tengah riuh dunia, penuh dengan peperangan.
Di tengah riuh politik identitas, polarisasi wacana publik, serta derasnya arus ujaran kebencian di media sosial, toleransi bukan lagi sekadar jargon atau materi pelajaran PKn. Ia kini adalah praktik sehari-hari yang harus terus-menerus diperjuangkan. Toleransi bukan sikap pasif, melainkan bentuk aktif dari kecerdasan sosial dan spiritual. Ia adalah semacam meditasi sosial-mengasah kesabaran, memperhalus nalar, dan menahan godaan untuk membenci hanya karena berbeda.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, toleransi bukan pilihan, melainkan keharusan eksistensial. Bangsa ini tidak dibangun oleh satu warna, satu etnis, atau satu keyakinan. Dalam buku Imagined Communities karya Benedict Anderson, disebutkan bahwa bangsa adalah konstruksi yang dibayangkan bersama. Dalam konteks Indonesia, imajinasi kolektif itu membutuhkan ruang perjumpaan yang sehat, bukan sekadar ruang pengakuan simbolik. Tanpa toleransi, “Indonesia” hanya akan jadi istilah geografis tanpa jiwa.
Namun dalam prakteknya, toleransi sering disempitkan maknanya. Ia diidentikkan dengan sikap netral atau kompromistis. Padahal toleransi adalah bentuk tertinggi dari pengakuan: bahwa orang lain punya hak untuk berpikir, percaya, dan hidup secara berbeda, dan kita tetap bersedia hidup berdampingan dengannya. Dalam The Ethics of Identity, karya Kwame Anthony Appiah, menekankan bahwa identitas bukan hanya tentang kebanggaan, tapi juga tentang pengakuan. Ketika identitas berbeda dianggap ancaman, maka toleransi menjadi benteng etis yang menjaga masyarakat tetap waras.
Sayangnya, kita hidup dalam zaman yang mempercepat penilaian. Media sosial mengubah perbedaan menjadi pertentangan, dan algoritma mempersempit perspektif menjadi kubu-kubu yang saling curiga. Dalam dunia digital yang menuntut reaksi cepat, toleransi sering terlambat hadir. Ia kalah oleh emosi, kalah oleh provokasi. Toleransi membutuhkan waktu: untuk mendengar, untuk memahami, dan untuk menimbang. Dan waktu itulah yang semakin sedikit kita berikan.
Di sinilah pentingnya mengembalikan toleransi sebagai kebajikan sosial, bukan sekadar retorika politik. Kita butuh lebih dari sekadar kampanye. Kita butuh keteladanan. Dari guru yang bersedia mendengarkan murid berbeda pendapat, dari tokoh agama yang memilih dialog daripada caci maki, hingga pejabat publik yang tidak mengobral narasi mayoritas-minoritas demi suara pemilih. Toleransi harus hidup dalam tindakan, bukan hanya pidato.
Realitas lapangan menunjukkan bahwa ancaman terhadap toleransi nyata dan terus berkembang. Setara Institute pada tahun 2023, mencatat bahwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih terjadi, dengan 175 peristiwa intoleransi dalam satu tahun terakhir. Sebagian besar terjadi di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kebhinekaan: sekolah, rumah ibadah, dan ruang digital. Ini alarm keras: toleransi bukan sekadar masalah elite, tapi persoalan akar rumput yang membutuhkan perhatian serius.
Di tengah situasi itu, pendidikan menjadi salah satu medan krusial. Kita tidak bisa hanya mengandalkan kurikulum. Pendidikan toleransi harus menjadi suasana yang dirasakan, bukan hanya informasi yang diajarkan. Anak-anak harus tumbuh dengan pengalaman langsung berinteraksi lintas identitas. Perlu ada keberanian untuk membangun sekolah yang inklusif, guru yang terbuka, dan lingkungan belajar yang membiasakan perbedaan sebagai hal yang wajar. Karena toleransi tidak diwariskan, ia dilatih.
Namun pendidikan saja tidak cukup. Ruang publik juga harus direbut kembali sebagai tempat perjumpaan, bukan perpecahan. Dari media cetak, televisi, hingga dunia maya-kita harus menciptakan narasi tandingan yang memperkuat keberagaman. Kita butuh lebih banyak kisah tentang orang-orang biasa yang hidup rukun meski berbeda. Tentang kampung yang saling bantu meski berbeda agama. Tentang anak muda yang membangun komunitas lintas iman. Cerita-cerita kecil ini justru lebih kuat daripada jargon-jargon nasionalisme abstrak.
Mengembalikan toleransi juga berarti memperbaiki cara kita berbicara dan bersikap. Kata-kata adalah cermin nilai. Jika ujaran kebencian dibiarkan menjadi kebiasaan, maka kebencian akan menjelma norma. Kita harus belajar untuk tidak selalu ingin menang dalam perdebatan, tidak selalu ingin membenarkan diri, dan tidak selalu curiga pada yang berbeda. Toleransi adalah seni untuk hidup berdampingan, tanpa harus menyeragamkan.
Tentu tidak mudah. Toleransi menuntut keikhlasan untuk menahan ego, untuk membuka diri, bahkan untuk bersedia dikritik. Tapi justru karena tidak mudah, ia menjadi mulia. Dalam masyarakat yang semakin plural dan kompleks, toleransi adalah fondasi dari kemanusiaan kita yang paling dalam. Tanpa toleransi, kita hanya akan hidup dalam perang sunyi yang terus-menerus.
Hari-hari ini, ketika polarisasi merayap pelan ke meja makan, ke grup WhatsApp keluarga, dan ke bilik suara, toleransi adalah rem paling efektif. Ia tidak menyuruh kita menyerah pada yang berbeda, tapi mengajak kita memahami bahwa perbedaan bukan kehancuran. Ia adalah harmoni yang harus diupayakan.
Toleransi memang tidak bisa menyelesaikan semua persoalan. Tapi tanpa toleransi, tidak ada satupun persoalan bisa diselesaikan dengan damai. Maka, merawat toleransi hari ini bukan sekadar menjaga harmoni sosial, tapi menjaga jiwa bangsa. Di saat amarah menjadi bahasa umum, toleransi adalah meditasi kita bersama-menenangkan, menyembuhkan, dan menumbuhkan harapan.
————– *** —————–