30.9 C
Sidoarjo
Saturday, January 4, 2025
spot_img

Profesor dan Kritik

Oleh :
Oman Sukmana
Guru Besar FISIP, Ketua Prodi Doktor Sosiologi, dan Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial, FISIP-UMM

Di sela kunjungan kenegaraan ke Mesir, Presiden Prabowo berkesempatan berpidato di hadapan para mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Universitas Al-Azhar, Kairo. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyampiakan rasa keprihatinanya terkait adanya profesor Indonesia yang mengkritik kebijakan makan bergizi gratis. Dalam pandangan Presiden Prabowo, profesor yang tidak setuju atau mengkritik kebijakan makan bergizi gratis dianggap sebagai profeser yang hanya pintar otaknya akan tetapi hatinya tidak.

Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu program unggulan Presiden Prabowo adalah program makan siang gratis bagi anak-anak sekolah, yang kemudian berubah nama menjadi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Besaran biaya MBG bagi anak-anak sekolah ini ditetapkan Rp 10.000 untuk setiap porsinya. Dalam hitungan pemerintahan Presiden Prabowo, biaya makan bergizi gratis dengan biaya per porsi Rp 10.000 sudah cukup layak untuk memenuhi standar gizi yang diperlukan.

Program MBG adalah merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan status gizi masyarakat, terutama anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Program ini bertujuan untuk memastikan pemenuhan gizi yang optimal, yang merupakan fondasi bagi pengembangan sumber daya manusia berkualitas di Indonesia, menuju visi “Indonesia Emas 2045”. Program MBG memiliki beberapa tujuan utama, antara lain: Pertama, Peningkatan asupan gizi yakni memberikan makanan bergizi kepada peserta didik dan kelompok sasaran lainnya untuk meningkatkan status gizi; Kedua, Edukasi gizi yakni meningkatkan pengetahuan tentang gizi di kalangan peserta didik dan masyarakat; Ketiga, Dukungan ekonomi local yakni memanfaatkan bahan pangan lokal untuk mendukung kesejahteraan petani dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); Keempat, Pengurangan kemiskinan yakni mengurangi beban ekonomi keluarga miskin dalam memperoleh pangan bergizi; dan Kelima, Peningkatan prestasi pendidikan yakni meningkatkan partisipasi dan kehadiran siswa di sekolah, serta mengurangi angka putus sekolah.

Berita Terkait :  Racun Digital Yang Menghancurkan Masa Depan Pelajar

Dalam perspektif kebijakan, program MBG adalah merupakan sebuah kebijakan sosial. Dimana kebijakan social dipandang sebagai suatu ketetapan pemerintah yang dibuat untuk mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Kebijakan sosial dipahami sebagai kebijakan dan program yang dijalankan oleh pemerintah, yang didesain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau meningkatkan harkat martabat manusia. Secara luas, kebijakan sosial dimaknai sebagai kebijakan kesejahteraan sosial social welfare policy), yakni apa yang dilakukan oleh pemerintah yang memengaruhi peningkatan kualitas hidup manusia.

Program MBG yang diluncurkan oleh Presiden Prabowo memang mendapat perhatian kritis dari berbagai kalangan, termasuk para profesor. Meskipun tujuan program MBG ini adalah untuk mengatasi masalah gizi buruk dan meningkatkan kesehatan masyarakat, ada beberapa aspek yang perlu dievaluasi lebih lanjut. Pertama, keberlanjutan program ini harus dipastikan, termasuk sumber pendanaan dan logistik distribusi yang efektif agar tidak hanya sekadar menjadi program seremonial. Selain itu, penting untuk mempertimbangkan kualitas dan variasi makanan yang disediakan, agar benar-benar memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Aspek partisipasi masyarakat juga perlu diperhatikan dan dilibatkan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Tanpa pendekatan yang holistik dan partisipatif, program ini berpotensi menghadapi tantangan dalam implementasi dan dampak jangka panjangnya.

Kewajiban seorang profesor (kaum intelektual) bagi dunia akademik, pemerintah, dan masyarakat luas sangatlah signifikan. Dalam konteks dunia akademik, profesor bertugas untuk mengembangkan dan menyampaikan ilmu pengetahuan melalui pengajaran yang berkualitas serta penelitian yang inovatif, yang dapat memperkaya wawasan akademis dan membentuk generasi penerus. Bagi pemerintah, professor (kaum intelektual) dibutuhkan dalam memberikan masukan berbasis penelitian untuk kebijakan publik, membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik melalui analisis yang mendalam dan data yang valid. Sementara bagi masyarakat luas, para professor (kaum intelektual) berperan dalam menerapkan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah sosial dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Peran profesor tidak hanya terbatas pada ruang kelas, tetapi juga mencakup kontribusi yang lebih luas bagi pembangunan bangsa.

Berita Terkait :  Menyoal Rendahnya Soft Skills Lulusan S1 Indonesia

Beberapa ahli menjelaskan bahwa ada tiga unsur dari kecerdasan, yakni Kecerdasan akal (Intelligence Quotient), Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient), dan Kecerdasan Spiritual (Spriritual Quotient). Kecerdasan akal (Intelligence Quotient) merujuk kepada kemampuan seseorang untuk berpikir kritis, menganalisis informasi, memecahkan masalah, dan memahami konsep kompleks. Kecerdasan ini sering diukur melalui kemampuan akademis dan keterampilan analitis, mencakup kemampuan logika, penalaran, dan penguasaan pengetahuan di berbagai bidang. Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient) berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi mampu berempati, berkomunikasi dengan baik, dan membangun hubungan yang sehat. Sedangkan Kecerdasan Spiritual (Spriritual Quotient) melibatkan pemahaman dan pencarian makna dalam hidup, serta nilai-nilai yang mendasari tindakan seseorang. Kecerdasan ini membantu individu untuk mengembangkan etika, moralitas, dan tujuan hidup yang jelas, serta memberikan ketenangan dan keseimbangan dalam menghadapi tantangan hidup.

Ungkapan keprihatinan Presiden Prabowo terkait profesor yang mengkritik program MBG sebagai seseorang yang pintar secara akal (intelektual) tetapi tidak memiliki hati semoga bukan dimaksudkan sebagai cerminana presiden anti kritik. Saya yakin bahwa pernyataan Presiden Prabowo tersebut lebih sebagai mengingtakan bahwa seorang profesor yang efektif dalam memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah sejatinya harus mampu memadukan tiga unsur kecerdasan, yakni akal, emosional, dan spiritual. Kecerdasan akal memungkinkan profesor untuk menganalisis dan mengevaluasi kebijakan secara objektif, menggunakan data dan fakta sebagai dasar untuk argumennya. Sementara itu, kecerdasan emosional penting untuk memahami dampak kebijakan tersebut terhadap masyarakat, serta untuk merespons reaksi publik dengan empati dan sensitivitas. Kemudian, kecerdasan spiritual memberikan landasan moral dan etika dalam kritik yang disampaikan, mendorong profesor untuk mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam setiap penilaian. Dengan mengintegrasikan ketiga unsur ini, seorang profesor tidak hanya dapat memberikan kritik yang konstruktif, tetapi juga mendorong dialog yang lebih mendalam dan bermakna dalam konteks kebijakan public atau kebijakan sosial. Barangkali inilah professor yang sejatinya…(*)

Berita Terkait :  Spirit Membangun Solidaritas Kemanusiaan Internasional

————- *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img