Segenap rakyat dan pemerintah Indonesia sangat patut menyokong warga Gaza, Palestina yang di-genosida bangsa Israel. Tetapi bukan diangkut ke Indonesia, melainkan tetap disokong di Gaza, dengan rumah sakit (RS) lapangan dan RS terapung. Trauma perang, dan pelanggaran HAM (Hak asasi Manusia) sangat mendalam dialami warga Gaza. Korban jiwa hampir mencapai 51 ribu orang, tak terkecuali perempuan dan anak-anak. Rumah sakit menjadi kebutuhan paling vital, sekaligus tempat (seharusnya) aman dalam konflik bersenjata.
Peran Indonesia dalam genosida di Gaza, merupakan mandatory konstitusi. Mukadimah UUD-RI pada alenia pertama, menyatakan, “bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh karena itu penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Teradapat frasa kata “harus dihapuskan,” yang menuntut Upaya aksi. Maka mukadimah UUD pada alenia ke-3, dinyatakan “ikut melaksanakan ketertiban dunia.”
Sudah dibuktikan TNI (Tentara Nasional Indonesia) melaksanakan program khusus pengiriman Kontingen Garuda (KONGA). Yakni, tim militer Indonesia yang secara khusus bertugas sebagai pasukan perdamaian di negara lain atas nama PBB. Tugas utama KONGA, tak lain, memulihkan trauma akibat konflik bersenjata (perang). Serta kemjungkinan eksploitasi seks. Eksistensi KONGA sudah diakui internasional, sejak 1957. Beberapa wilayah konflik yang pernah di-ikuti KONGA, antara lain, Vietnam, Kamboja, Irak, Kuwait, Namibia, Macedonia, dan Bosnia.
Bahkan pasukan KONGA yang pertama, ditujukan untuk mendukung perdamaian Timur Tengah. Khususnya di wilayah Mesir. Persis tragedi sekarang. Saat itu Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), menyatakan wajib menarik mundur militer Inggris, Prancis, dan Israel dari seluruh wilayah Mesir. Indonesia medukung negara-negara Liga Arab sebagai “balas budi.” Karena seluruh negara Arab, mendukung Indonesia, Ketika terjadi perdebatan pada forum PBB tentang sengketa Indonesia-Belanda.
Bahkan Mufti Akbar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, telah mendukung visi Indonesia Merdeka. Dukungannya disampaikan melalui agitasi (pidato) di radio Berlin, September 1944. Setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Sesuai janji Jenderal Kuniaki Koiso, yang dilantik menjadi Perdana Menteri Jepang.
Tetapi bukan sekadar kalangan ulama (Syekh) yang menyokong visi Indonesia Merdeka. Melainkan juga kalangan pengusah. Seperti dilakukan saudagar Palestina, Muahmmad Ali Taher, menyumbangkan seluruh uangnya di Bank Arabia. Sokongan nyata diberikan kepada Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Sehingga dukungan politik, dan keuangan dari Palestina, menarik negara muslim lainnya mendukung kemerdekaan Indonesia.
Maka dukungan Indonesia untuk negara Palestina yang Merdeka, sangat patut dilakukan. Seperti saat ini, dinyatakan Presiden Prabowo, di hadapan negara Liga Arab. “Palestina Merdeka menjadi harga mati!” Sekaligus dinyatakan, Indonesia akan terus menyokong dan membantu Palestina pada tataran politik. Serta menyokong rehabilitasi Gaza, dan Masyarakat Gaza.
Namun kalangan ulama Indonesia wanti-wanti, agar Presiden Prabowo, tidak mengikuti “skenario Trump.” Mayoritas ulama Indonesia, menolak relokasi warga Gaza ke luar wilayah. Tidak perlu membawa rakyat Gaza ke luar Gaza, walau sekadar untuk pengobatan. Indonesia bisa mengirim dokter, obat-obatan, dan peralatan medis. Bisa dalam bentuk rumah sakit (RS) lapangan, dan RS terapung di kapal milik Indonesia (KRI).
Memindahkan orang ke luar negeri, tak beda dengan pengusiran. Memandang rendah Hak Asasi orang lain, karena perbedaan warna kulit, dan bahasa. Sangat bertentangan dengan Universal Declaration of Human Rights, UDHR). Deklarasi HAM, pada muqadimah alenia kedua, menyatakan “bahwa mengabaikan dan memandang rendah HAM telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan….” Merendahkan hak bangsa lain, bisa menyuburkan terorisme global.
——— 000 ———