29.1 C
Sidoarjo
Saturday, July 12, 2025
spot_img

Menghidupkan Kembali Al-Qur’an dalam Realitas Kehidupan

Judul Buku : Al-Qur’an dalam Jejak Hidup: Renungan, Hikmah, dan Petunjuk
Penulis : Alfain Jalaluddin Ramadlan
Penerbit : Lensa Publising, Lamongan
Cetakan : Pertama, April 2025
Tebal : 304 halaman
ISBN : 978-623-96540-5-4
Peresensi : Ahmad Faton, Dosen Fakultas Agama Islam UMM

Bagi setiap muslim, Al-Qur’an adalah kitab suci yang sangat dimuliakan. Menyentuhnya saja harus dalam keadaan suci. Ia diletakkan di tempat tinggi, dibaca dengan suara merdu, bahkan dilombakan dalam berbagai ajang. Namun di tengah semua penghormatan itu, ada satu pertanyaan penting yang kerap luput: apakah Al-Qur’an masih benar-benar dihidupkan dalam realitas kehidupan?

Ulama besar seperti Muhammad Al-Ghazali sudah lama mengingatkan bahwa umat Islam sering terjebak pada teks, tanpa menggali konteks. Akibatnya, banyak yang membaca Al-Qur’an tanpa memahami pesan, apalagi menerapkannya. Padahal generasi awal Islam mampu menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi hidup dan perubahan sosial.

Ironis memang. Di satu sisi, kita umat Islam begitu menghormati fisik Al-Qur’an, tapi di sisi lain kita jauh dari substansinya. Banyak orang membaca ayat-ayatnya setiap hari, namun tetap bingung menghadapi persoalan hidup. Al-Qur’an seolah hanya menjadi bacaan sakral yang tidak berdialog dengan kehidupan sehari-hari.

Hal ini dikupas secara menarik dalam buku Al-Qur’an dalam Jejak Hidup: Renungan, Hikmah, Petunjuk karya Alfain Jalaluddin Ramadlan. Dalam buku setebal 304 halaman ini, penulis tidak sekadar mengulas ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi mengajak pembaca untuk merenungkan kembali bagaimana posisi Al-Qur’an: sebagai bacaan rutin, atau sebagai pedoman nyata dalam setiap langkah kehidupan?

Berita Terkait :  ASN Pemkot Pasuruan Diduga Aniaya Pegawai Koperasi Resmi Diberhentikan Sementara

Kritik utama buku ini adalah tentang keterputusan antara bacaan dan pemahaman. Banyak yang rajin membaca, tetapi tidak mengerti. Banyak yang hafal ayat, namun lupa makna. Akibatnya, ayat-ayat Al-Qur’an justru dijauhkan dari realitas. Ia hanya dibaca saat acara slametan, dibawa saat pernikahan, atau dijadikan jimat pengusir setan. Padahal fungsi Al-Qur’an jauh lebih dari itu.

Al-Qur’an senyatanya hadir sebagai pedoman hidup (al-hudâ), pembeda antara yang benar dan salah (al-furqân), penyembuh luka lahir dan batin (asy-syifâ’), serta sumber nasihat sepanjang masa (al-mau’izhah). Namun, banyak dari kita justru lebih percaya ramalan zodiak, medsos, atau nasihat motivator daripada petunjuk Al-Qur’an sendiri. Fungsi-fungsi luhur kitab suci ini sering direduksi dan difungsikan tidak sebagaimana mestinya.

Tatkala Al-Qur’an tidak dihidupkan dalam keseharian, sebagai mulsim kita akan kehilangan arah. Kita mungkin terlihat religius secara simbolik, tetapi tidak kuat secara spiritual dan sosial. Kita fasih membaca, namun gagal menangkap hikmah. Sementara itu, kehidupan berjalan tanpa arahan dari wahyu yang sudah jelas. Faktanya, ketika Al-Qur’an bilang A, kita justru melakukan B atau ketika Al-Qur’an menyuruh ke arah barat, kita malah menuju ke arah sebaliknya.

Buku di hadapan pembaca ini juga mengangkat pentingnya membaca kisah-kisah umat terdahulu dalam Al-Qur’an, bukan sekadar sebagai dongeng pengantar tidur, tetapi sebagai cermin zaman. Kisah Ashabul Kahfi, Nabi Musa, hingga kaum-kaum yang diazab karena kesombongan, semuanya adalah pelajaran hidup yang relevan sepanjang masa. Kisah-kisah itu adalah nasihat hidup yang harus direnungkan, bukan sekadar dikenang.

Berita Terkait :  Pemkot Probolinggo Pastikan Inflasi Tetap Terkendali Selama Ramadan

Pertanyaannya, bagaimana mungkin kaum msulim bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, jika tidak pernah benar-benar merenunginya? Di sinilah pentingnya pendekatan reflektif dalam membaca Al-Qur’an. Bukan hanya membacanya secara tartil, tetapi juga melakukan tafakkur dan tadabbur.

Menghidupkan Al-Qur’an berarti menjadikannya teman hidup. Kita ajak berdialog saat resah, kita jadikan cermin saat salah, dan kita pegang erat saat tersesat. Kita membacanya bukan sekadar mengejar khatam saja, tetapi untuk menyelami maknanya. Kita membawa Al-Qur’an bukan hanya ke acara-acara seremonial, namun mengamalkannya ke ruang-ruang sosial di mana keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan dibutuhkan.

Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci pajangan, juga merupakan sumber inspirasi dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab. Saat kita mulai memahami bahwa setiap ayat adalah cahaya, maka kita tidak cukup membacanya, sekaligus bagaimana berjalan dalam petunjukan cahaya itu.

Intinya, buku ini mengajak kaum muslim untuk kembali ke esensi. Penulis memang tidak menawarkan tafsir baru, namun menyadarkan mereka bahwa Al-Qur’an harus dihidupkan, tidak berhenti pada level membaca. Ini adalah ajakan yang sederhana, namun sangat mendesak. Mari berhenti memperlakukan Al-Qur’an sebagai simbol, dan mulailah menjadikannya spirit kehidupan. Sebab, jika bukan setiap muslim yang menghidupkannya dalam keseharian, lalu siapa lagi?

——— *** ————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru