27 C
Sidoarjo
Friday, June 13, 2025
spot_img

Aktivis Pelajar Mengajar Berikan Bimbel Gratis, 120 Anak Belajar di Pinggir Jalan, Meraih Bermimpi Ditengah Keterbatasan

Salah satu anggota Aktivis Pelajar Mengajar memberikan Bimbel secara gratis ke anak-anak yang berada di Kawasan Jembatan Surabaya, Kenjeran. Foto Alina Ruskamila

Di tengah gemerlapnya kehidupan perkotaan Surabaya, secercah cahaya yang tumbuh dari keresahan hati para pelajar muda. Bukan dari ruang kekuasaan, bukan pula dari bangku birokrasi, tapi dari mata yang melihat langsung kenyataan bahwa di balik gedung-gedung sekolah yang megah, masih banyak anak-anak yang terjebak dalam kebisuan huruf, kesunyian angka, dan ketidakmengertian akan pelajaran.

Kota Surabaya, Alina Ruskamila

 Dari nurani yang terusik itulah, lahir sebuah komunitas bernama Pelajar Mengajar, tepat pada 16 September 2016 dengan tujuan untuk memberian bimbingan belajar (Bimbel) secara gratis ke para pelajar di Kawasan Kenjeran Surabaya.

 Sebuah komunitas yang tumbuh bukan untuk pamer pencapaian, melainkan hadir karena ingin menjadi teman bagi mereka yang kerap terabaikan. Para pelajar ini turun ke jalan, menyusuri lorong-lorong kampung, menghampiri tawa anak-anak yang bermain tanpa tahu bagaimana caranya membaca sebuah kata.

 Anak-anak datang satu per satu dengan pakaian rapi dan perlengkapan belajar di tangan. Setibanya di kawasan Kenjeran atau tepat didekat Jembatan Surabaya, mereka menyapa para pengajar dengan senyum ramah, berjabat tangan, dan langsung bergabung duduk melingkar. Suara tawa dan canda mereka terdengar riuh, menghadirkan suasana yang hangat di tengah kerasnya lingkungan sekitar. Meski sederhana, momen itu begitu bermakna.

Berita Terkait :  Kenalkan Ubi Dalam Karung, Bagian Dari Gerakan Pangan yang Dilakukan UB

 Di bawah rindangnya pepohonan, sekitar 30 anak duduk melingkar beralaskan banner bekas sebuah perusahaan sabun. Meskipun tempat itu jauh dari kata layak dengan suara desiran ombak, deru sepeda motor yang lalu lalang, serta bau menyengat dari ikan-ikan yang dijemur warga sekitar, mereka tetap duduk dengan penuh semangat, siap menerima ilmu dari para kakak pengajarnya.

 Sebelum memulai pembelajaran, anak-anak diajak berdoa bersama. Kemudian para pengajar mulai mengelompokkan mereka berdasarkan jenjang pendidikan. Dengan penuh kesabaran dan kehangatan, para kakak pengajar menyampaikan materi yang telah disusun rapi oleh tim program Pelajar Mengajar. Anak-anak mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat, dan tak ragu bertanya ketika ada hal yang belum mereka pahami.

 Setelah sesi penyampaian materi selesai, masing-masing anak menerima selembar kertas berisi soal latihan. Mereka mengerjakannya dengan serius, berusaha menerapkan apa yang baru saja mereka pelajari.

Para pelajar begitu antusias menyimak pelajaran yang diberikan Aktivis Pelajar Mengajar.

 Namun, tidak bisa dipungkiri, suasana sekitar yang ramai sering kali mengganggu konsentrasi mereka. Suara kendaraan, aktivitas warga, dan kondisi lingkungan yang kurang nyaman membuat fokus anak-anak mudah buyar. Belajar secara lesehan di ruang terbuka memang bukan hal yang ideal. Tapi semangat mereka untuk terus belajar, serta dedikasi para pengajar untuk berbagi ilmu tanpa pamrih, menjadikan setiap pertemuan sebagai bukti nyata bahwa harapan bisa tumbuh di tengah keterbatasan.

Berita Terkait :  Internasionalisasi Bahasa Indonesia Harus Ditingkatkan

 Hingga kini, komunitas pelajar mengajar mempunyai sekitar 120 anak-anak binaan yang tersebar di empat lokasi berbeda. Setiap tempat menyimpan cerita, setiap wajah memiliki latar yang unik, namun semua disatukan oleh satu tujuan yaitu membebaskan mereka dari kebingungan membaca dan mengembalikan rasa percaya diri dalam belajar.

 “Jumlah anak binaan saat ini sekitar 120 an anak, namun di setiap tempat berbeda jumlahnya karna kita ada 4 lokasi jadi setiap Lokasi ini berbeda beda jumlahnya tapi untuk total keseluruhan ada 120 an anak,” pungkas Dwi Ariani.

  Tanpa fasilitas dari sekitar, tanpa dukungan dari pemerintah, para relawan muda ini tetap hadir dengan senyum dan kesungguhan. Jalanan yang kotor, suara kendaraan bising tak henti memecah konsentrasi. Tapi di balik semua itu, semangat tak pernah benar-benar pudar.

  “Lokasinya outdoor, belum ada ruang belajar, tidak ada fasilitas dari sekitar ataupun dari pemerintah, jadi ya lokasinya dipinggir jalan lesehan, jadi kalo hujan sering kebingungan kadang kehujanan anak-anak lari larian dan kadang tempatnya kotor. Jadi memang kondisi lokasinya menjadi tantangan besar buat kami. Anak-anak juga terdistrac dengan lingkungan sekitar yang bising,” tambahnya lagi.

 Kendala terbesar bukan hanya soal tempat, tapi juga karakter. Setiap lokasi punya ciri khasnya sendiri. Anak-anak datang dengan latar belakang berbeda, dengan kebiasaan, emosi, dan cara pandang yang tak seragam. Di sinilah peran pendamping menjadi sangat berarti. Mereka tak hanya mengajarkan cara membaca, tapi juga membentuk karakter, menanamkan nilai agar setiap anak tak hanya cerdas secara akademik, tapi juga tumbuh dengan moral yang baik.

Berita Terkait :  Sambut Hari Teh Internasional, Mahasiswa DKV Ubaya Gunakan Kantong Teh sebagai Kanvas

  “Anak-anaknya juga tiap lingkungan beda karakter jadi untuk yang disini ya tantangan anak-anaknya juga teruji. Jadi kita berusaha memberikan pendampingan moral dengan maksimal karna untuk bisa merubah moral juga sifat anak-anak di sini,” kata Dwi Arini (3/5). wwn

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru