28 C
Sidoarjo
Friday, November 22, 2024
spot_img

KDRT dan Istilah Scary Marriage


Oleh :
Jusrihamulyono A.HM
Trainer PUSDIKLAT Pengembangan SDM UMM

Salah satu selebgram yang menampilkan keadaan rumah tangganya yang sedang mengalami penyiksaan batin hingga fisik menuai respon yang beragam. Kasus ini pun ramai di medsos seperti komentar di Instagram hingga x yang menyuarakan untuk hukuman yang setimpal untuk suami Cut Intan Nabila. Kasus ini salah satu kasus yang mungkin lebih banyak lagi yang tidak terekspos oleh para korban yang tidak punya media yang mengundang para netizen bertindak serta membantunya.

Bila melihat data terkini dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa hingga saat ini, pada tahun 2024, telah tercatat jumlah kasus kekerasan 16. 149 skala nasional dengan kategori kekerasan umum. Lebih ironisnya jika spesifikasi kekerasan, KDRT menduduki peringkat pertama dalam jenis kekerasan yang dilaporkan dengan total 9.911 pengaduan. Adapun kekerasan berdasarkan hubungan suami-istri 2.520 pengaduan. (kekerasan.kemenpppa.go.id. Dikutip per tanggal 23/8/2024. Pukul 19.35).

Tingginya laporan tersebut menjadi pertanyaan yang muncul akan kesucian pernikahan bagaikan surga yang di syair kan para pujangga cinta ataukah sebaliknya menjadi neraka bagi kaum perempuan. Kasus KDRT tidak hanya di kehidupan sipil melainkan merambat pada kehidupan selebriti hingga selebgram yang membawa perubahan tren baru lagi dalam konsep pernikahan seperti munculnya tren scray marriage atau dikenal sebagai ketakutan dalam pernikahan pada isu generasi muda.

Berita Terkait :  Profesor Jalan Pintas

Munculnya rasa khawatir dari beberapa pasangan ke jenjang pernikahan akibat bumbu -bumbu pernikahan yang diberitakan di media modern hanya seputar perselingkuhan, kekerasan hingga pembunuhan anggota keluarga. Tangkapan panca indera dari tontonan tersebut mendoktrin pikiran akan kata nikah tidak lepas dari perbudakan gender. Ditambah lagi dengan tradisi sosial yang masih melekat dengan sektoral patriarki. Konsep yang semakin memperbesar akan tindakan kesewenangan pihak laki-laki terhadap perempuan.

Bangun Samara
Dalam tinjauan hukum Islam, keluarga menjadi rumpun orang yang terorganisir secara hak dan kewajiban. Seorang yang punya hak untuk diperlakukan baik dan berkewajiban memberikan perlakuan baik terhadap anggota keluarganya. Dalam konteks ini Islam telah mengatur secara ketat terkait tahapan-tahapan tindakan yang mesti diambil jika memang terjadi pembangkangan dari istri sebagaimana firman Allah swt “Istri-istri yang kalian khawatirkan melakukan pembangkangan maka nasehatilah mereka, diamkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan untuk merugikan mereka.” (QS. an-Nisa: 34).

Kata “pukul” bukanlah pada perintah untuk mencederai secara fisik. Patut dipahami bahwa penggunaan kata tersebut sebagai tafsir Ibnu Katsir, pukulan yang tidak menyakiti secara fisik atau melukainya. Olehnya itu mengurus pasangan bukan hal yang mudah namun bukan hal yang menakutkan. Pernikahan menjadi wadah kolaborasi antara dua jenis manusia dengan watak perilaku berbeda kemudian disatukan dalam sebuah problem. Mampukah diselesaikan secara kedewasaan atau justru saling mencela sama lain hingga adanya tindakan serangan fisik dan verbal.

Berita Terkait :  Penguatan Karakter Anak di Tengah Perubahan Zaman

Seyogyanya membangun rumah tangga artinya membangun tiga pondasi utama dalam benak pikiran serta kepekaan jiwa yaitu sakinah, mawadah, rahmah. Sakinah dimaknai tentram sedangkan mawaddah bermakna kasih yang ditandai adanya rasa cinta yang diwujudkan mau saling memberi. Sementara warohmah bermakna sayang yang berwujud mau saling menerima kekurangan masing-masing dari kelembutan hati yang berempati. Singkatnya samara lahir karena cinta bentuk tanggung jawab dan menerima aspek kekurangan pasangan dengan menambalnya dari kelebihan yang dimiliki pasangan lainnya .

Kata sederhana “samara” jika dipahami secara logika sehat dan diaktualisasikan secara awareness tentu kehidupan rasa neraka dalam pernikahan tidak ada. Tindakan KDRT dapat dipastikan akan hilang sedikit demi sedikit. Inilah pentingnya sebuah pasangan yang hendak ingin melangsungkan pernikahan untuk mendalami pendidikan ilmu parenting sebagai pengarahan dan pengendalian diri dalam mengarungi ombak ganas cobaan kehidupan pernikahan. Ilmu tersebut sebagai pedoman role play pernikahan yang dipahami secara seimbang antara pasangan.

Ancaman Pelaku KDRT
Siapa yang tega melihat orang dianiaya, apalagi mereka salah satu bagian keluarga kita. Tindakan keji untuk pelaku kekerasan dalam rumah tangga sepantasnya tidak ada kata ampun. Meskipun terkadang pelaku KDRT masih mendapatkan maaf dari si korban melalui jalur damai atau mediasi dengan dalih masih ada kesempatan untuk berubah serta anak masih membutuhkan seorang ayah. Realitas ini menjadi pembuka pintu untuk para pelaku dalam memainkan sandiwara maafnya di hadapan para istrinya yang penuh jiwa pemaafnya.

Berita Terkait :  Kesetaraan Gender Ojek Online Perempuan di Surabaya

Menelusuri sanksi terhadap perbuatan KDRT diatur dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana dijelaskan secara rinci dalam Pasal 44-53 Undang-undang KDRT dalam bentuk kekerasan fisik yang tergolong berat bisa dikenai ancaman maksimal 10 tahun pidana dan 15 tahun jika korban KDRT meninggal dunia. Mengenal lebih lanjut akan bentuk KDRT setidaknya ada 4 bentuk seperti, kekerasan fisik, psikis, seksual hingga pelantaran rumah tangga. Bentuk demikian yang harus dipahami bahwa menjaga Marwah pasangan adalah hal penting membangun mood keharmonisan pernikahan.

Tindakan excuse melalui jalur restorative justice pada pelaku KDRT menjadi sorotan yang seharusnya memberikan peringatan darurat sebagai pembelajaran akan menghargai kehormatan wanita ibarat cangkang menjaga mutiara di bawah lautan. Alhasil, seharusnya para pelaku KDRT mendapatkan pelajaran yang setimpal tanpa harus berlapang dada. Sebab tindakan KDRT dapat cermati sebagai tindakan yang rasa empati terhadap pasangan sedang mati terkubur.

Memperlakukan pasangan menjadi cerminan memorial anak, bila yang dilihatnya sebuah adegan kekerasan maka ada peluang dipraktekkan pada masa kembangnya. Dapat dikatakan, akses tindakan bullying atau perundangan berawal dari adegan KDRT yang tidak tersensor dari pandangan para anak.

———– *** ————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img