Oleh:
Dr Husamah
Dosen Ilmu Lingkungan di Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang
Berbicara tentang makanan, umumnya hanya dikaitkan dengan keragaman kuliner, makna, serta sejarahnya di berbagai daerah di Indonesia. Sejatinya, bagaimana kita memperlakukan makanan serta dampak yang timbul bagi lingkungan seharusnya juga menjadi atensi. Lebih jauh, bagaimana memperlakukan makanan juga menjadi citra diri dan kepribadian kita.
Masyarakat Indonesia menghasilkan hingga 20,93 juta ton sampah makanan setiap tahunnya. Sampah makanan terbesar disumbang oleh sektor restoran, industri makanan, dan perhotelan. Namun penyumbang paling signifikan tentunya berasal dari domestik atau rumah tangga (Sumiyati & Bahar, 2024). Sebagaimana menurut United Nations Environment Programme (UNEP), dengan kenyataan itu, Indonesia meraih prestasi buruk karena menempati posisi empat besar negara mubadzir, setelah China, India, dan Nigeria. Indonesia berada dijajaran utama penyumbang sampah makanan yang terbuang di dunia, yang diperkirakan sebesar US$ 680 milyar untuk negara maju dan US$ 310 milyar untuk negara berkembang. Kondisi ini sangat ironis, manakala di sisi lain, sebanyak 795 juta manusia di dunia menderita kelaparan. Total nilai sampah makanan itu, seharusnya mampu menghidupi 2 milyar orang di dunia.
Nyatanya, potensi kerugian dari limbah makanan atau dikenal dengan food loss and waste mencapai Rp 213-551 triliun per tahun. Hal ini sebagaimana data Kementerian PPN/Bappenas (Kompas.com, 3/7/2024). Ratusan triliun rupiah yang terbuang itu semestinya dapat dimanfaatkan untuk memberi makan lebih dari 30-40% populasi Indonesia. Bahkan jika dikelola dengan serius, jumlah tersebut tidak mustahil akan mampu memberi makanan 62-100% penduduk yang kekurangan gizi (CNBC Indonesia, 23/1/2024).
Tim Litbang Kompas (19/5/2022) merilis temuan yang menarik. Hasil analisis di 199 kabupaten/kota menemukan bahwa rata-rata setiap orang di negeri ini mubadzir makanan sebesar Rp 2,1 juta/tahun. Secara total, nilai sampah makanan di 199 kabupaten/kota di Indonesia dapat mencapai Rp 330,71 triliun/pertahun. Bisa kita bayangkan berapa besarnya angka mubadzir dari 514 kabupaten/kota yang yang ada.
Kondisi ini sungguh menyakitkan, padahal bangsa ini juga masih berjibaku mengatasi masalah stunting. PBB pada tahun 2020 mencatat bahwa angka stunting di Indonesia adalah 6-8 juta, yang merupakan anak usia dini atau balita stunting. Data Kementerian Keuangan menunjukkan anggaran program penurunan stunting 2023 kementerian dan lembaga dialokasikan hanya sebesar Rp 30 triliun. Per September 2023, realisasi dari anggaran ini sebesar Rp 22,5 triliun atau 74,9 persen (dpr.go.id, 16/1/2024).
Tak ayal, kondisi ini bahkan menempatkan masyarakat Indonesia sebagai perusak bumi karena “bikin bumi bak neraka” (Nugroho, CNBC Indonesia, 3/7/2024). Bappenas mengestimasi, total dari dampak pemanasan global yang dihasilkan oleh food loss and waste di Indonesia selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Metrix ton CO2-ekuivalen atau setara dengan 7,29%.
World Resources Institute (WRI) pun telah mengingatkan bahwa emisi gas rumah kaca dari sampah makanan menyumbang 8% dari emisi global. Dalam skala Indonesia, ribuan metrik ton gas rumah kaca, berupa gas metana dari hasil pembusukan dan karbon dioksida dari aktivitas pembakaran limbah makanan itu dilepas ke udara. Harus diingat bahwa gas metana memiliki potensi 25 kali lebih tinggi dibanding karbon dioksida dalam meningkatkan pemanasan global. Limbah makanan itu kini berubah menjadi racun, mencemari udara dan meracuni pernapasan kita.
Nilai Agama
Seharusnya kesadaran kita untuk mereduksi food loss and waste menjadi sangat krusial. Pola hidup dan pola konsumsi yang bijak merupakan jawaban dari krisis lingkungan, mitigasi global warming, tantangan ketahanan pangan dan defisit gizi, baik secara lokal maupun global. Pada titik inilah kita perlu kembali merenungi dan menginternalisasikan nilai-nilai agama.
Dalam konteks Islam, sebagai agama komprehensif, kondisi ini sudah ditekankan dalam ajarannya. Muslim dilarang untuk berbuat tabdzir (menyia-nyiakan) dan juga israf (berlebihan). Tabdzir adalah perbuatan mubadzir, atau perilaku yang harusnya masih bisa memanfaatkan sesuatu tetapi justru dibuang. Perbuatan membuang-buang makanan, termasuk ke dalam sikap boros, disebut mubadzir. Dalam QS. Al-Isro’, ayat 26-27, Allah SWT memperingatkan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Allah SWT sangat tidak menyukai perbuatan mubadzir.
Dalam praktik sehari-hari, seharusnya sederhana dan mudah saja. Seseorang yang hanya bisa makan porsi setengah piring, seharusnya mengambil makanan sesuai porsi itu. Setiap individu mestinya mampu memperkirakan berapa kapasitas makannya. Nyatanya, hanya karena dorongan nafsu kebanyakan dari kita malah mengambil banyak dan sisanya dibuang.
Ketika di rumah makan, kebiasaan memesan banyak dan jika tidak habis sisanya ditinggal begitu saja adalah kebiasaan umum kita. Pun kebiasaan memasak banyak tanpa mempertimbangkan kekuatan konsumsi juga menyebabkan banyaknya makanan yang terbuang di rumah. Hal ini tentu bertentangan dengan haya hidup Islami yang berarti menyayangi bahan makanan, tidak menyia-nyiakannya dan selalu mengingat bahwa di luar sana masih banyak orang yang kekurangan makanan.
Sayangnya, kesadaran ini malah tenggelam, termasuk di bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi momen menekan hawa nafsu. Pada momen lebaran pun kenyataan menunjukkan hal yang sama. Banyak makanan dan minuman terbuang saat perayaan lebaran karena penyediaan yang berlebihan. Di berbagai momen pengajian dan syukuran juga tidak lepas dari perilaku mubadzir.
Islam adalah agama rahmatan lil-‘alamin. Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan penyelamatan, pemeliharaan, dan mematikan berkelanjutannya lingkungan. Islam melarang berbuat kerusakan di muka bumi ini yang akibatnya bisa fatal bagi kehidupan. Ini juga dapat berarti melarang berpola hidup yang ujungnya menyebabkan kerusakan, termasuk pola hidup mubadzir.
Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 60 telah mengingatkan kita. ” … Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan….”. Allah SWT memberikan rezeki kepada manusia yang disediakan-Nya di bumi ini. Manusia harus mencari tahu bagaimana memanfaatkan rezeki di muka bumi ini untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Namun, ada catatan bahwa bahwa manusia harus menerapkan pola konsumsi yang bijak, tidak boleh merusaknya.
Wallaahu a’lam bisshawab
————- *** —————-