Sudah menapak di tahun 2025. Melewati tahun 2024 dengan segala pengalaman dan keterbatasan (yang sulit), akan menjadi bekal menghadapi tahun 2025. Bisa tetap tegak. Walau perekonomian global masih terkungkung resesi energi, kesulitan pangan, dan krisis moneter. Ditambah kecemasan dampak perang Timur Tengah, dan perang Rusia vs Ukraina. Begitu pula perekonomian domestik, masih mencemaskan pelaksanaan PPN 12% mulai tahun 2025. Jumlah penduduk miskin juga masih sangat banyak.
Namun seluruh gejala resesi tidak akan menjadi penghalang kebiasaan bekerja keras. Saling membantu menjadi kunci melompati rintangan, dengan tetap bersabar. Pemerintah masih wajib bertanggungjawab memberi fasilitasi kepada rakyat, khususnya melalui bantuan sosial (Bansos). Terutama kepada kalangan terbawah, dan rentan kemiskinan. Deflasi lima bulan berturut-turut (Mei – September 2024) menjadi pertanda pelemahan daya beli masyarakat.
Konstitusi telah memberi arahan, bahwa seluruh rakyat Indonesia, adalah keluarga. Sehingga UUD pada pasal 33 ayat (1), menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Bahkan yang lemah harus ditopang negara. Konstitusi pada pasal 34 ayat (2), meng-amanat-kan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan..”
Berdasar catatan BPS (Badan Pusat Statistik), pada tahun 2024 masih terdapat 9,03% penduduk miskin (sekitar 25,22 juta orang). Target awal (tersisa 6%-7%), tidak tercapai. Banyak agregat perekonomian, yang semula ditarget optimistis, harus dikoreksi, karena tidak tercapai. Nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, masih anteng pada nilai Rp 16 ribu-an, sesuai parakiraan APBN 2025. Hanya kurs dolar AS, yang terasa sesuai asumsi.
Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lagi melompat, melainkan melambat. Berbagai Lembaga dunia (IMF, World Bank, OECD, dan ADB) memprediksi pertumbuhan perkonomian Indonesia tahun 2025 masih positif, antara 4,7% hingga 5,1%. Tetapi satu Lembaga PBB, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memberi warning tambahan. Yakni, tingginya suku bunga acuan di Indonesia membuat pelaku usaha memperlambat ekspansi bisnis. Serta suku bunga acuan Bank Indonesia yang tinggi akan buat biaya pinjaman bank juga tinggi.
Begitu pula timbangan perekonomian lainnya, harga komoditas (batubara, dan minyak kelapa sawit) ekspor yang masih tinggi. Berdasar data BPS, total ekspor batubara pada Desember 2024 mencapai US$124,55 per-ton. Tahun 2025 akan naik menjadi US125,85 per-ton. Namun ironis, ekspor batubara malah anjlok pada tahun 2024. Sedangkan komoditas lain andalan ekspor, CPO (Crude Palm Oil, minyak sawit), juga tidak menggembirakan.
Neraca perdagangan Indonesia surplus selama 54 bulan berturut-turut (sejak Mei 2020). Pada November 2024 nilai surplus neraca perdagangan sebesar US$4,42 milyar. Berbagai surplus neraca perdagangan bagai tak berpengaruh pada perekonomian grass-root. Karena akan terancam kenaikan harga beras. Kemenko Pangan telah mengumumkan akan menaikkan harga gabah. Menjadi sekitar Rp 7.000 per-kilogram. Niscaya akan mendongkrak harga beras.
Namun harus dipastikan harga beras tidak boleh memeras perekonomian rumahtangga rakyat. UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, pada pasal 25 ayat (1) mengamanatkan harga kebutuhan pokok harus terjangkau. Sebagai solusinya, pemerintah akan memberi bantuan beras sebanyak 10 kilogram per-bulan selama 6 bulan. Bulog akan menyalurkan sebanyak 960 ribu ton beras kepada 16 juta keluarga penerima manfaat.
Potret perekonomian nasional masih menuntut perjuangan keras. Pemerintah juga harus menahan diri tidak menaikkan berbagai tarif BBM, listrik dan gas. Serta masih diperlukan membangkitkan anggaran “tidur” APBD.
——— 000 ———