Wacana SMA Unggulan Garuda Belum ada Urgensi yang Jelas
Surabaya, Bhirawa
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) mewancanakan membangun sekolah unggulan jenjang SMA dengan nama SMA Unggulan Garuda untuk mempersiapkan siswanya untuk melanjutkan pendidikan ke universitas top.
Rencana tersebut akan sebanyak 20 SMA Unggulan Garuda yang ditargetkan akan selesai dibangun pada 2029. wancana tersebut menurut Pakar Sosiologi Pendidikan UNAIR Prof Dr Tuti Budirahayu Dra M Si menagapi hal tersebut bahwa Pembangunan SMA Unggulan Garuda belum ada urgensi yang jelas.
“Program tersebut belum memiliki urgensi, karena didasarkan atas kajian yang mendalam serta data data atau peta data pendidikan di Indonesia,” jelasnya.
Lanjut Prof Tuti mengatakan program SMA Unggulan Garuda sangatlah ambisius dan prestisius, sebab Pembangunan yang direncanakan pada daerah pedesaan atau pelosok. “Dari pada membangun sekolah baru yang berkualitas, pemerintah seharusnya meningkatkan kualitas sekolah yang sudah ada dan melakukan pemerataan pendidikan di semua jenjang sekolah,” pungkas Prof Tuti.
Hal yang seharusnya di cermati, kata Prof Tuti, dari pernyataan menteri dan wamen dikti saintek, karena ada kecenderungan argumentasi mereka tidak konsisten dan bahkan kontradiktif, urusan pembagunan SMA buka kewenangan Kemendikti Saintek, tapi kementerian pendidikan dasar dan menengah, sebab SMA adalah ranahnya kementerian tersebut.
Prof Tuti menyapaikan bahwa fokus SMA Unggulan Garuda pada materi Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) bukan ilmu sosial yang dapat menyebabkan turunnya jiwa sosial siswa.
“Pernyataan tidak konsisten dengan apa yang disampaikan oleh Wamen Dikti Saintek terkait tujuan membangun sekolah unggulan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap masalah lokal, sangat tidak masuk akal jika tidak memasukkan muatan-muatan ilmu social, Bagaimana siswa dapat memiliki kepekaan terhadap persoalan lokal di wilayah tempat mereka belajar, jika tidak diasah pengetahuannya tentang masalah-masalah sosial, budaya, dan politik. tentu semakin lama jiwa sosial siswa akan semakin menurun,” tutur Prof Tuti.
Prof Tuti menambahkan dengan adanya label unggulan yang secara tidak langsung mengatakan bahwa siswa yang diterima hanya yang unggul saja, terlihat kesan eksklusif yang akan lebih terasa menyebabkan masalah baru bagi pendidikan di Indonesia yaitu munculnya kesenjangan, diskriminasi serta ketimpangan sosial.
“Apabila tujuan hanya menyiapkan siswa berkualitas di universitas top, maka pemerintah hanya cukup mencari siswa yang mampu lalu diberi bimbingan, selanjutnya dari pada membagun sekolah baru lebih baik meningkatkan kualitas sekolah yang sudah ada, dari Program bridging bagi siswa SMA juga dapat dilakukan untuk mempersiapkan mereka masuk ke universitas top,” ujarnya. [ren.wwn]