25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Elegi Hari Pendidikan Nasional 2025, Ilusi Pendidikan Tak Berkesudahan

Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar ( PGSD ) Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Solo

Bagaimanakah memperlakukan pendidikan dalam laku pengelolaan kebangsaan mensejahteraan menjadi pertanyaan menjelang hari raya pendidikan 2 mei setiap tahun. Tema Hari Pendidikan Nasional 2025 adalah ‘Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua’.

Inipun menunjukkan bagaimanakah memperlakukan pendidikan negeri ini. Tema tersebut tidak ubahnya Ekspeksi liar dalam memposisikan perlakukan pada pendidikan kita. Hakikat pendidikan sebuah Negara menunjukkan bagaimanakah habit pendidikan sebuah negeri. Memperbincangkan pendidikan di negeri ini laksana tamasya di negeri antah berantah tidak ubahnya masuk kotak Pandora tiada ujung.

Permasalahan pendidikan negeri ini teramat kompleks dan tidak jarang menumbuhkan apatisme dibandingkan optimisme menatap masa depan. Krisis fundamental yang menggejala pendidikan di Indonesia adalah alienasi terhadap tujuan pendidikan sebagai humanisasi. Pendidikan pun turun kasta menjadi pengajaran yang menjadikan capaian kognitif-akademik sebagai output tunggal (Dharma kesuma dan teguh ibrahim, 2016;V). Ditengah negeri penuh slogan pendidikanpun terlampau berat menyandang beban.

Kaum penghamba kekuasaan menyerukan semboyan pendidikan adalah parameter kemajuan suatu bangsa, disisi lain kaum oportunistik mempertontokan betapa bonus demografi tahun 2045 akan menjadikan bangsa ini sedemikian kuat dengan produktifitas tinggi dan tentunya menggunakan kurikulum terkini. Bukannya pesismis menghadapi masa depan pendidikan namun tanpa disadari beban pendidikan sedemikian menggurita seakan patah tumbuh hilang berganti bahkan analoginya belum patah maka tuntutan berganti lebih mengemuka.

Pendidikan Keteladanan
Perspektif pendidikan tidak menemukan telaah komprehensif dan mengakibatkan semua pihak merasa mahir untuk mengkritisi pendidikan tanpa melihat ekses berkepenjangan di masa mendatang. Peradaban pendidikan di negeri ini sedemikian banal sehingga permasalahan kuman menggurita layaknya gajah besar dengan permasalahan semakin membesar.

Berita Terkait :  Bupati Mas Rusdi Minta Pejabat Lakukan Pengembangan Kompetensi

Hakikat pendidikan sebagai elemen pencerdasan manusia tidak pernah dijabarkan dengan linieritas kebijakan pendidikan dalam segenap aspek terkait. Risalah dari konsepsi pendidikan sepeti ditawarkan Ki Hajar Dewantara menekankan aspek keteladanan sebagai hakikat pokok pencerdasan tidak pernah dieksplorasi menyeluruh dan pada akhirnya mempengaruhi kejumudan kebijakan pendidikan bersangkutan.

Permasalahan ini kian pelik mengingat mengelola pendidikan tidak ubahnya mengelola isi kepala manusia tidak semata-mata menghasilkan produk kasat mata. Pengelolaan pendidikkan selama inipun tidak menunjukkan betapa peradaban manusia dijunjung sesuai harkat dan martabatnya. Pengambil kebijakan tidak mempertontonkan bagaimana pencerdasan anak bangsa ini diberlakukan namun mengambil perspektif mentalitas industrialis penuh nuansa kapitalis. perspektif ini bertentangan dengan konsep Fraire bahwa manusia harus senantiasa melakukan praxis, yakni tindakan reflektif diatas dunia dengan tujuan merubahnya lebih baik (Dharma kesuma dan teguh ibrahim, 2016;V).

Berpijak tulisan Donie Koesoema di beberapa opini HU Kompas bahwa pengelolaan pendidikan konteks kekinian lebih mengedepankan mentalitas pabrik akan terlihat sedemikan nyata dalam kebijakan pendidikan di negeri ini. Pabrikisasi siswa terjadi sedemikian massif dan perspektif publik tergiring bertahun-tahun tanpa ada upaya mengkritisinya.

Keberadaan standar nilai kelulusan baik pada penilaian harian hingga tingkatan Ujian Nasional membuktikan betapa pabrikisasi ini telah berlangsung akut. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan maka semakin tinggi pula kualitas siswa bersangkutan tidak lebih melecehkan siswa dengan mempersamakan benda hidup dengan hasil produksi pabrik.

Minimnya pemahaman keteladanan pendidikan berimbas pula pada pola pengambilan kebijakan pendidikan. Dalam beragam aspek ketimpangan layanan pendidikan ini terjadi disebabkan kurang membuminya pengambil kebijakan pada realitas pendidikan secara keseluruhan.

Berita Terkait :  DPRD Jatim Ingatkan OPD Efisiensi Anggaran, Tak Ada Lagi Kunker ke Luar Negeri

Carut marut pembelajaran berbasis penyiapan kurikulum teramat banyak pihak berkepentingan didalamnya sehingga fondasi pencerdasan tidak kunjung terbentuk optimal. Adagium ganti menteri ganti kurikulum digeneralisasi semua pihak dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai permasalahan tiada kunjung usai. Pihak pengguna kurikulum layaknya falsafah jawa,tidak ubahnya wedi-wedi angas disatu sisi penolakan kurikulum terjadi disisi lain perlawaan pada kebijakan tak membumi ini menyuburkan pragmatisme pembelajaran.

Saya dan beberapa rekan guru dalam forum diskusipun mengkhawatirkan rasional kurikulum lebih menekankan prgamatisme pembelajaran bahkan tidak jarang disusupi penumpang gelap bertajuk politisasi pendidikan. Stigma ini tak pelak harus dikemukanan mengingat beberapa saat silam penetrasi penguasa sedemikian kuat sehingga seluruh elemen masyarakat terlebih pendidikan harus tunduk patuh pada penguasa bersangkutan. Realitas kekinian Kurikulum lebih banyaak menekankan pelajaran apa yang besok masih diajarkan atau penghapusan pelajaran apa sajakah sehingga kurikulum lebih pantas dipandang dan dilihat.

Degradasi Keteladanan Pendidikan
Imbas penurunan keteladanan pendidikan ini Nampak pula pada kebijakan keguruan,tanpa disadari pengambilan kebijakan keguruan lebih memposisikan guru sebatas komoditas bukannya manusia cerdas. Pengambilan kebijakan keguruan guru tidak ubahnya menjadikan homo homini lupus kalangan guru bersangkutan.

Guru saat ini menjelma sedemikian buas layaknya predator menangkap mangsa sehingga seluruh komponen harus awas meretas. Kebijakan kewajiban guru profesional untuk mengajar 24 jam/pekan menjadikan guru sedemikian banal. Apapun dilakukan asalkan jam mengajar tidak melayang menjadi paradigma guru saat ini.

Kebijakan guru berada di sekolah selama 8 jam setiap hari yang digulirkan Mendikbud beberapa hari terakhir menjadi kegalauan dikalangan pendidik. Parameter apakah yang mendasari besaran jam harus berada di sekolah menjadi pertanyaan mengingat realitasnya kebijakan ini justru memposisikan guru mengalami degradasi makna dimana peran guru tidak layak hanya dibatasi dengan kehadiran di sekolah. Parahnya pengambil kebijakan melaksanakan manajemen mata tertutup padahal jika mau jujur peran guru sebenarnya tidak sebatas aktor mengajar namun memiliki peran agen intelektual.

Berita Terkait :  Tingkatkan Pelindungan Konsumen, Satgas Pasti Luncurkan Indonesia Anti-scam Centre

Makna menjadi agen intelektual bagi kalangan guru ini diterjemahkan beberapa rekan guru untuk memerikan analisis mendalam berkaitan fenomena soslal kekinian. Kecerdasan mengamati sosial ini sering saya dapati pada beberapa rekan guru yang sangat produktif menulis di beragam media tak kalah dengan beberapa pakar tenar. Namun mudah ditebak ditengah kebijakan keguruan yang masih teramat primordial keberadaan beberapa rekan guru tersebut terkadang tidak mendapatkan tempat semestinya dilingkungannya.

Stigma guru pemberontak, guru waton suloyo kerapkali dialamatkan padahal mereka secara tidak langsung menjadi aktor intelektual sebenarnya bukan sekedar penghamba rente semata.

‘Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua’ menjadi permasalahan tidak kunjung tuntas manakala penerjemahan pendidikan menekankan akselerasi dibandingkan isi. Pemaknaan partisipasi tentunya berkebalikan dengan tema pembentukan karakter sebagai misi yang diusung insan pendidikan negeri ini untuk memperbaiki diri. Penumbuhan karakter baik hakikatnya menisbikan budaya instan dan sebagai kerja bersama berkelanjutan bukan sekedar percepatan.

Reposisi pendidikan sebagai usaha sadar pencerdasan anak bangsa selayaknya dilaksanakan dengan penuh perhitungan mengingat permasalahan pendidikan hanya akan dapat diselesaikan pribadi yang memiliki kepedulian memadai pada pencerdasan negeri. Usaha sadar disertai langkah nyata dan linier dengan konteks kekinian akan menciptakan humanisasi pendidikan dan tidak melebarkan ilusi pendidikan tak terselesaikan.

Selamat Hari Pendidikan Nasional

————— *** ———————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru