Oleh :
Muhammad Ali Murtadlo
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo
Kejadian viral yang melibatkan Gus Miftah, seorang penceramah ternama, yang melontarkan kata-kata dianggap menghina seorang penjual es teh, menjadi sorotan publik dan memicu reaksi luas di media sosial. Insiden ini bermula dari candaan dalam sebuah acara yang diunggah ke dunia maya, namun cepat berkembang menjadi isu serius yang menggambarkan ketimpangan sosial dan pentingnya adab dalam komunikasi publik.
Fenomena ini tidak hanya memunculkan simpati dan empati dari masyarakat, tetapi juga menyoroti bagaimana gaya dakwah, peran media sosial, dan nilai-nilai budaya Jawa saling berinteraksi dalam membentuk persepsi dan respons publik.
Gaya dakwah yang mengandung humor sebenarnya telah lama menjadi bagian dari tradisi dakwah Islam, terutama di Jawa. Humor sering digunakan untuk menciptakan suasana santai, mendekatkan pendakwah dengan jamaah, dan menyampaikan pesan dengan cara yang mudah dicerna. Namun, seperti dalam kasus Gus Miftah, humor yang tidak terkontrol dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Dalam konteks ini, candaan yang ditujukan kepada penjual es teh tidak hanya dianggap tidak pantas, tetapi juga melanggar nilai-nilai dasar kesetaraan dan rasa hormat yang dijunjung tinggi dalam Islam dan budaya Jawa. Humor dalam dakwah seharusnya membangun, bukan merendahkan.
Fenomena kehadiran penjual es teh atau pedagang kecil dalam acara pengajian umum adalah hal yang lazim dalam budaya masyarakat Jawa. Pedagang ini tidak hanya mencari rezeki, tetapi juga menjadi bagian dari dinamika sosial yang mencerminkan keterkaitan antara aktivitas ekonomi rakyat kecil dan kehidupan religius masyarakat. Budaya Jawa mengajarkan bahwa setiap orang, tanpa memandang status sosial, memiliki hak untuk berpartisipasi dan mendapat berkah dari acara keagamaan. Oleh karena itu, tindakan yang dianggap merendahkan pedagang kecil bertentangan dengan nilai-nilai egalitarianisme yang melekat dalam tradisi ini.
Reaksi masyarakat terhadap insiden ini mencerminkan teori sosial tentang simpati dan empati. Publik tidak hanya merasa iba terhadap penjual es teh, tetapi juga menunjukkan empati dengan memberikan bantuan konkret seperti hadiah dan dukungan moral.
Reaksi ini menunjukkan adanya emotional contagion, di mana emosi yang ditampilkan dalam video insiden tersebut menyebar luas dan memotivasi tindakan kolektif. Selain itu, respons netizen yang masif juga menunjukkan perilaku prososial, di mana masyarakat berusaha memulihkan martabat korban dengan memberikan dukungan material dan simbolis.
Tekanan publik yang besar juga memaksa Gus Miftah untuk meminta maaf, terutama setelah pihak istana memberikan sentilan terkait insiden ini. Dalam konteks ini, teori public shaming menjadi relevan. Media sosial telah menjadi ruang publik modern di mana individu dapat “dihukum” secara sosial melalui kritik terbuka. Meski kritik publik ini bertujuan untuk mengoreksi perilaku, ada sisi negatif yang harus diwaspadai, yaitu potensi berubah menjadi cyberbullying. Gus Miftah tidak hanya menghadapi tekanan untuk meminta maaf, tetapi juga risiko kerusakan reputasi yang mungkin berdampak jangka panjang.
Hikmah dari kejadian ini sangatlah mendalam. Allah menunjukkan kebesaran-Nya sebagai Zat yang Maha Membolak-Balikkan derajat manusia. Dalam sekejap, seorang penjual es teh yang biasanya tidak dikenal menjadi pusat perhatian nasional, menerima simpati, empati, dan penghargaan dari berbagai pihak.
Sebaliknya, seorang penceramah terkenal dengan kedudukan sosial tinggi harus menghadapi kritik tajam dan pengawasan ketat dari masyarakat. Kejadian ini menjadi pelajaran bahwa kesombongan, baik yang disadari maupun tidak, dapat menurunkan derajat seseorang, sementara keikhlasan dan ketulusan hati mampu mengangkat martabat seseorang di mata manusia dan Allah.
Dari sudut pandang dakwah, insiden ini mengingatkan para pendakwah untuk lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata. Islam mengajarkan pentingnya menjaga adab dalam berbicara dan bersikap, terutama ketika berhadapan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang sosial. Dakwah bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga soal membangun hubungan harmonis dengan masyarakat, menjaga sensitivitas, dan memberikan teladan yang baik.
Dalam budaya Jawa, konsep eling lan waspada, selalu ingat kepada Allah dan berhati-hati dalam bertindak, sangat relevan dengan kejadian ini. Kesederhanaan dan ketulusan hati, seperti yang ditunjukkan oleh penjual es teh, sering kali lebih dihargai daripada status sosial atau popularitas. Penjual es teh dalam insiden ini menjadi simbol dari nilai-nilai tersebut, menginspirasi banyak orang untuk merenungkan pentingnya sikap tawadhu dan rasa hormat dalam kehidupan sehari-hari.
Kejadian ini juga membuktikan bahwa media sosial memiliki kekuatan besar untuk menciptakan solidaritas dan membela keadilan. Meskipun sering dianggap sebagai tempat konflik, dunia maya juga dapat menjadi ruang di mana nilai-nilai kemanusiaan diuji dan dibangun ulang. Kasus ini menjadi pengingat bahwa semua manusia, terlepas dari statusnya, memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga lisan, menghormati orang lain, dan menjadikan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan sebagai pedoman dalam setiap tindakan.
———- *** ———–