Oleh:
Aminatus Saadah
Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) NR 01 Sub Kelompok 7 Angkatan 2022 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Di tengah isu ketahanan pangan dan ekonomi pedesaan, ada satu hal penting yang sering terlupakan: teknologi sederhana yang langsung menyentuh kebutuhan warga desa. Padahal, alat-alat kecil dan murah ini bisa membawa perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari petani.
Ini dibuktikan langsung oleh mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya saat mereka menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Candinegoro, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. Alih-alih hanya melakukan penyuluhan atau kerja administratif, mereka justru datang membawa solusi nyata : alat semprot untuk tanaman bawang merah, alat pengupas kulit bawang merah, dan pelatihan membuat bawang merah goreng sebagai produk usaha rumahan. Semuanya berawal dari hasil ngobrol dan observasi langsung bersama .
Warga di Kecamatan Wonoayu sebagian besar bertani bawang merah. Salah satu contohnya di Desa Candinegoro yaitu Bawang Merah Tajuk sebuah usaha pertanian yang dimiliki oleh Pak rowandi, sebagai mitra nyata dalam proses pemberdayaan ini Tapi, proses perawatannya seperti menyemprot pupuk dan pestisida masih dilakukan secara manual. Selain menguras tenaga, cara ini juga bikin hasilnya kurang merata. Apalagi di musim hujan, saat hama mudah menyerang, petani makin kewalahan. Melihat hal ini, mahasiswa membuat alat semprot sederhana. Alat ini menggunakan Alat kecil dan pipa dengan nozzle (kepala semprot) yang bisa menyemprot lebih cepat dan merata. Dengan alat ini, petani bisa menyemprot dalam waktu singkat, tenaga lebih hemat, dan tanaman lebih terlindungi.
Sementara itu, di tahap pascapanen, ada masalah klasik: mengupas kulit bawang merah. Proses ini bukan hanya melelahkan, tapi juga bikin mata perih dan tangan bau. Mahasiswa pun merancang alat pengupas bawang merah semi-mekanis. Alat ini memanfaatkan putaran mesin dan pengikis dari bahan yang aman untuk makanan. Alhasil, bawang bisa dikupas dalam jumlah banyak, tanpa bikin pegal dan air mata mengalir. Tak hanya membantu proses bertani, para mahasiswa ini juga mengajak Pak rowandi untuk mengolah hasil panen jadi produk bernilai jual tinggi : bawang merah goreng. Bawang goreng memang sudah umum, tapi mereka membekali Pak rowandi dengan cara membuatnya secara higienis, mengemasnya dengan menarik, dan mengenalkannya lewat media sosial serta marketplace. Pak rowandi punya peluang usaha baru. Pak rowandi bisa ikut memproduksi dan menjual bawang goreng, bahkan ke luar kota. Ini bukan cuma soal uang, tapi juga tentang peran dan kebanggaan mereka sebagai bagian dari penggerak ekonomi desa.
Yang menarik dari kisah ini adalah semua alat dibuat dari bahan yang mudah ditemukan: pipa PVC, Dinamo, dan barang bekas yang bisa didaur ulang. Desainnya juga dibuat sesederhana mungkin, agar bisa digunakan oleh siapa pun, bahkan yang belum pernah menyentuh mesin sekalipun. Itulah inti dari teknologi tepat guna alat yang tidak rumit, murah, tapi sangat membantu. Bukan teknologi yang canggih seperti di laboratorium besar, tapi yang benar-benar bisa dipakai masyarakat desa tanpa perlu pelatihan rumit. Tentu ada tantangan yang perlu dipikirkan, seperti perawatan alat jika suatu hari rusak. Maka perlu ada pelatihan lanjutan agar warga bisa memperbaiki sendiri. Selain itu, agar usaha bawang goreng bisa terus berjalan, mahasiswa juga menyarankan Mitra untuk mengurus izin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga), agar bisa masuk ke pasar yang lebih luas. Hal lain yang juga penting adalah dukungan berkelanjutan dari kampus, pemerintah desa, atau lembaga swasta. Jangan sampai semua berhenti saat masa KKN selesai.
Apa yang dilakukan mahasiswa UNTAG Surabaya ini memberi kita pelajaran penting: inovasi bisa datang dari mana saja, bahkan dari desa. Ketika anak-anak muda peka terhadap masalah dan punya niat baik, maka perubahan bisa terjadi-meski dengan alat sederhana. Desa bukan sekadar tempat untuk “mengabdi”, tapi bisa jadi sumber inspirasi dan pusat inovasi. Teknologi tidak harus mahal, yang penting bermanfaat dan bisa digunakan. Mahasiswa tidak hanya datang sebagai pelengkap formalitas KKN, tapi sebagai agen perubahan nyata yang membawa harapan baru bagi masyarakat. Langkah mereka mungkin kecil, tapi dampaknya bisa besar. Dan siapa tahu, inovasi seperti ini bisa menjadi model untuk desa-desa lain di seluruh Indonesia.
Penyusunan opini ini merupakan hasil diskusi penulis (Aminatus Saadah) dengan anggota lain Dista Septyas M., Risqi Afifa A. F., Moch. Malik Mutafar Riki yang merupakan mahasiswa KKN Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya yang melaksanakan pengabdian di Desa Candinegoro, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. [*]