Oleh :
Anissa Putri Amelia
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya
Indonesia, negeri termasyhur akan kekayaan alam dan keberagaman di dalamnya. Menyerukan ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia’ di salah satu sila pancasila, namun bukanlah kesetaraan yang tercipta melainkan kesengsaraan bagi mereka yang tak mampu melawan kejamnya ketidakadilan penegak hukum negeri ini seolah menjerit mencari keadilan.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum yang mendasari seluruh sistem hukum dan pemerintahan di Indonesia. Nyatanya, kondisi hukum di Indonesia berbanding terbalik dari harapannya, yang di mana banyak masyarakat terlibat hukum namun penanganannya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti status sosial, ekonomi, latar belakang etnis, pendidikan atau bahkan jenis kelamin.
Hal ini yang membuat negara Indonesia sulit untuk maju dikarenakan fenomena ketidakadilan yang merusak tatanan sosial dan sistem hukum di dalamnya.
Bak ‘mencari jarum ditumpukan jerami’ dan ‘hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah’, dua kalimat di atas mencerminkan realita pahit atas sistem hukum di Indonesia. ‘Mencari jarum ditumpukan jerami’ menggambarkan betapa sulitnya mencari aparat penegak hukum yang benar-benar ‘bersih’ tanpa melibatkan cara yang kotor demi hausnya kekuasaan dan ‘Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah’ mengilustrasikan bahwa hukum di Indonesia lebih keras terhadap masyarakat kelas bawah namun lunak terhadap masyarakat kelas atas.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak menemukan masalah yang sekiranya bisa diselesaikan secara kekeluargaan namun dipersulit dan bahkan diselesaikan secara tidak logis. Seperti halnya kasus nenek pencuri singkong, beliau terpaksa melakukan tindakan itu dikarenakan ia kesulitan secara ekonomi, anaknya jatuh sakit dan cucunya kelaparan.
Atas tindakannya itu, beliau dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara atau denda sebesar 1 juta rupiah. Namun hakim yang memimpin persidangan saat itu, hakim Marzuki, termenung dan memutuskan vonis bebas serta mengumpulkan uang 50 ribu rupiah per orang yang hadir di persidangan tersebut, menurutnya sungguh tega orang-orang di sekitarnya membiarkan seorang nenek hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.
Sementara itu, kasus Ronald Tannur (33) anak dari mantan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Edward Tannur. Kasus ini sempat menghebohkan publik dikarenakan ia divonis bebas oleh para hakim di Pengadilan Negeri Surabaya atas penyiksaan hingga tewas kepada kekasihnya, Dini Sera Afrianti (29).
Atas desakan oleh masyarakat, aparat yang bertanggung jawab menangkap dan menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan 1 pengacara sebagai tersangka kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Ditemukan tumpukan uang rupiah dan dolar hasil gratifikasi keluarga terdakwa. Pada akhirnya, Ronald Tannur yang sempat divonis bebas kini dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yakni lima tahun penjara. Jika saja Pasal 28D Ayat (1) UUD diterapkan yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” maka, proses penyelesaian hukum berjalan dengan adil tanpa diskriminasi.
Ketidakadilan hukum masih terjadi dalam praktik hukum negeri ini, masyarakat kelas atas seolah dengan mudah mengakses keadilan sedangkan mereka yang berjuang keras demi sesuap nasi sangat sulit untuk mengakses keadilan. Timbulnya demonstrasi terhadap aparat penegak hukum di berbagai wilayah menggambarkan bahwa sistem dan praktik hukum di negeri kita sedang mengalami masalah.
Sekali lagi, di mana letak keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Adanya diskriminasi atas perlakuan hukum antara mereka yang kaya dengan yang miskin seolah keadilan bagi semua hanyalah ilusi. Namun, nyatanya hukum tampaknya dirancang untuk menguntungkan mereka yang kaya dan menghancurkan yang miskin.
Ketika penegak hukum bertugas menegakkan undang-undang atau peraturan, mereka sering melupakan apa yang terjadi di masyarakat. Alhasil mereka yang memiliki kewenangan terhadap hukum hanyalah formalitas saja. Ini merupakan konsekuensi dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengutamakan positivisme. Mereka seolah menghindar dan menulikan dari jeritan masyarakat yang meminta keadilan dari buruknya sistem hukum di negeri ini. Seolah ini cara mereka dalam ‘berhukum’ yang di mata masyarakat tidak memiliki moral dan akal sehat namun tetap berambisi mempertahankan harkat keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini.
Hukum positivistik yang berlaku di Indonesia kebanyakan mengabaikan aspek kemanusiaan dan konteks sosial. Pada hakikatnya, Pancasila mengamanatkan hukum sebagai alat untuk mewujudkan keadilan yang substantif bukan hanya formalitas. Hal ini menunjukkan bahwa ketidaktransparanan dalam penegakan hukum seperti pengendalian proses pengadilan dan diskresi aparat meningkatkan ketimpangan sosial dan bertentangan dengan prinsip ‘equality before the law’ yang dijamin oleh konstitusi dan Pancasila.
Apa solusi dari permasalahan di atas?
Agar permasalahan atas bobroknya keadilan hukum di Indonesia berkurang, kita dapat melakukan cara-cara berikut.
Pertama, kita dapat menanamkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya nilai dari setiap sila sebagai dasar negara Indonesia. Atau kita dapat memperkuat nilai-nilai demokrasi. Dengan begitu, masyarakat dapat menyampaikan aspirasi dan pendapatnya entah itu dari platform media sosial manapun terhadap hukum disini tanpa takut dituntut oleh pihak-pihak tertentu.
Kedua, masyarakat dapat melaporkan pelanggaran hukum serta memberikan tanggapan kepada lembaga penegak hukum.
Ketiga, perlunya dilakukan reformasi sistem hukum menjadi lebih sederhana agar masyarakat mudah memahaminya. Keempat, menyediakan layanan bantuan hukum gratis bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya hukum atau dapat memanfaatkan teknologi guna mengimplementasikan sistem hukum berbasis digital seperti e-court.
Hal ini dapat mengurangi biaya birokrasi dan dapat diakses lebih luas bagi masyarakat terpencil. Terakhir yang tidak kalah penting yaitu pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada untuk memastikan para aparat penegak hukum bersikap adil dan transparan untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang kekuasaan.
Teringat pada salah satu pandangan dari seorang penulis dan pemenang Hadiah Nobel, Aleksandr Solzhenitsyn, melalui kutipannya yang terkenal: “Keadilan adalah hati nurani, bukan hati nurani pribadi tetapi hati nurani seluruh umat manusia. Mereka yang dengan jelas mengenali suara hati nurani mereka sendiri biasanya juga mengenali suara keadilan.” pandangannya ini menekankan bahwa kewajiban semua orang, bukan hanya individu. Beliau berpendapat bahwa memahami suara hati nurani seseorang akan membantu mereka memahami dan mengakui keadilan dalam konteks yang lebih luas. Ini menunjukkan betapa pentingnya empati dan kesadaran moral untuk menegakkan keadilan di masyarakat.
Indonesia mengalami ketidakadilan hukum karena kegagalan sistematik dalam menerapkan prinsip-prinsip Pancasila. Tidak hanya masalah teknis. Dengan menempatkan keadilan substantif di atas keuntungan ekonomi atau politik. Sila kelima harus menjadi dasar reformasi hukum. Janji ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ akan tetap menjadi retorika kosong jika tidak ada perubahan substansial.
Maka dari itu, ketika mulai melihat dan mendapat seruan atas ketidakadilan hukum di negeri ini, kita dapat berpartisipasi untuk menyampaikan aspirasi dan keresahan baik itu melalui media sosial atau turun ke jalan, karena jika kita diam dan acuh maka, ingatlah pesan Soekarno melalui pidatonya “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Jika bukan kita, siapa lagi? Jadikan hasil nyata Indonesia Emas 2045 untuk Indonesia lebih baik.
———– *** —————