Riuh pembongkaran pagar laut di perairan Tangerang, bagai perang menghadapi musuh. Sampai menggunakan alutsista (alat utama system pertahanan) TNI-AL, meluncurkan dua unit kendaraan tempur amfibi LVT-7 dan kendaraan amfibi pengangkut artileri. Pembongkaran sampai habis pagar laut, akan diikuti penyidikan terhadap perizinan yang diduga menyimpang. Aparat Penegak Hukum APH) juga diperintahkan menyidik “jual-beli” sertifikat kavling laut.
Secara khusus Presiden Prabowo Subianto, memerintahkan Panglima TNI, dan Kapolri, untuk menindak tegas Perusahaan yang melanggar peraturan pertanahan. Perintah yang sama juga diberikan kepada BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), dan Jaksa Agung. Sembari di-ikuti pesan khusus “tidak ada perlakuan khusus.” Prabowo menegaskan, tidak segan mencabut izin perusahaan yang mengambil alih (menyerobot) lahan negara.
Tindakan tegas juga akan dilakukan pada (kerawanan) pemalsuan sertifikat di area hutan. Presiden mensinyalir, beberapa Perusahaan sudah diberi kesempatan berkali-kali untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun banyak yang ingkar. Maka pemerintah akan melaksanakan kewajibannya. Yakni mencabut izin dan menguasai kembali lahan. Terutama lahan pada area hutan lindung.
Pembongkaran pagar laut, menjadi pembicaraan (dan perintah presiden) dalam Sidang Kabinet Paripurna di istana negara. Diikuti seluruh Kabinet dan pimpinan tinggi Lembaga Negara. Realisasi pencabutan pagar laut dipimpin KSAL Laksamana Muhammad Ali, diikuti Menteri KP (Kelautan dan Perikanan), Menteri Agraria, dan Ketua Komisi IV DPR-RI. Pencabutan diawali inspeksi kalangan pejabat tinggi dengan menggunakan kendaraan amfibi Landing Vehicle Tracked (LVT) 7.
Tidak tang-tanggung, pencabutan dilakukan dengan mengerahkan 1500 personel gabungan TNI, Polri, dan aparat PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Sehingga bisa dipastikan, pencabutan akan berlanjut dengan penyidikan pembuatan pagar laut liar. Sebagian pagar sudah dicabut, sehingga akses nelayan melaut kembali normal. Seluruhnya (sepanjang 30,6 kilometer) akan bersih dalam waktu sepekan.
Pemasangan pagar laut (dan sertifikasi area perairan laut), nyata-nyata pelanggaran secara sistemik. Menteri Agraria mengungkap terdapat 263 bidang, atasnama beberapa Perusahaan (sebanyak 254 bidang) dan per-orangan (9 bidang). Bahkan terdapat sertifikat hak milik sebanyak 17 bidang. Ironisnya, sertifikasi yang luas berkaitan dengan kepemilikan areal laut atasnama konglomerat (PIK-2). Direksinya juga oknum pensiunan perwira tinggi.
Terasa janggal, karena wilayah laut tidak boleh di-sertifikat-kan, atasnama Perusahaan, dan perorangan. Walau dengan segala bentuk kepemilikan (HGB, dan hak milik). Maka Kementerian ATR/BPN, wajib segera meng-evaluasi, sekaligus membatalkan sertifikat. Karena hanya wilayah daratan yang boleh di-sertifikat-kan. Berdasar data Dinas KKP Banten, area pagar laut berada pada zona perikanan budidaya dam tangkap. Juga terdapat area kerja minyak dan gas bumi.
UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, telah mengatur status sertifikat HGB pada pasal 35. Dinyatakan, bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,. Terdapat frasa di “atas tanah.” Bukan di atas air laut!
Tetapi potensi pagar laut, tidak hanya berada di Tangerang, Bekasi, dan Jakarta. Melainkan juga di Surabaya, dalam proyek Surabaya Waterfront Land (SWL), seluas 1.084 hektar (10,8 juta M2). Potensi pelanggaran pertanahan yang sama, juga patut diselidiki seksama terhadap seluruh PSN (Proyek Strategis Nasional), yang dilansir Kemenko Perekonomian pada Maret 2024. Konon sudah disetujui presiden Jokowi.
Peng-kavling-an area laut juga menerabas konstitusi. UUD pasal 33 ayat (3), menyatrakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
——— 000 ———