Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen Civic Hukum dan Trainer P2KKUniv. Muhammadiyah Malang
Seiring dengan adanya beberapa kasus perundungan (bullying) di pendidikan kedokteran khususnya pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang terungkap di media belakangan ini santer menyita perhatian dan ramai dibicarakan publik. Kasus terbaru, perundungan tersebut dialami oleh mahasiswi program studi anestesi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang diduga mengalami perundungan hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Sontak saja, kejadian itupun menjadi fakta yang meski serius ditindak tegas dan penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis perlu di evaluasi secara menyeluruh agar kasus perundungan tidak lagi terjadi.
Stop bullying saat PPDS
Masih minimnya keterdiaan layanan pendidikan dokter spesialis di perguruan tinggi di negeri inimenjadikan kuota terbatas. Sehingga, fakta tersebut membuat kompetisi para dokter tergantung dari kapasitas jaringan dan juga kapasitas keuangan. Sehingga, fakta tersebut menjadi pematik terjadinya kompetisi dikalangan dokter spesialis. Di satu sisi, orang yang masuk juga harus siap dengan berbagai proses pendidikan yang padat, ketat, dan feodalistik.
Sehingga, realitas tersebut menjadikan peluang bullying atau perundungan terjadi dalam pendidikan dokter spesialis. Bahkan, ironisnya siklus perundungan yang tersamar dalam kurikulum tersembunyi justru mampu melakukan pembentukan karakter mengakar kuat pada masa pendidikan dokter. Mirisnya lagi, ditambah senyapnya pelaporan menjadi tantangan penyelesaian kasus perundungan yang berkelanjutan.
Dan, untuk mengakhiri perundungan dalam pendidikan kedokteran, khususnya dalam PPDS inipun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis perlu evaluasi menyeluruh agar kasus perundungan tidak lagi terjadi. Praktik perundungan apapun bentuknya mesti dihentikan, khususnya dalam PPDS. Para senior PPDS idealnya bisa bersama-sama berjuang memutus praktik bullying sekecil apapun, baik itu segi verbal, fisik, finansial, akademis (materil dan non materil).
Melalui pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi.Kebiasaan buruk di profesi yang sangat mulia di kedokteran meski dihentikan. Banyak cara pendidikan yang jauh lebih saintifik untuk menciptakan tenaga kerja yang tangguh tanpa harus mem-bully.
Butuh peran banyak pihak untuk menghentikan praktik bullying di lingkungan PPDS. Terlebih kejadian bullying saat PPDS ini sudah berulang terjadi dan seakan sudah menjadi ‘tradisi’ yang dilestarikan.Situasi bullying saat PPDS membuat tidak sedikit junior menjadi takut untuk melaporkan aksi bullying di lingkungan PPDS.
Akhiri budaya perundungan di PPDS
Perundungan dalam PPDS adalah isu serius yang seringkali tidak tampak di permukaan tetapi memiliki dampak signifikan pada kesehatan mental, kinerja, dan kesejahteraan para peserta didik. Perundungan ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti intimidasi verbal, tekanan berlebihan, pelecehan, atau pengabaian oleh senior, rekan sejawat, maupun staf pengajar. Mirisnya, praktek perundungan di PPDS ini terus berulang terjadi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkap budaya perundungan di kalangan dokter spesialis sudah berlangsung puluhan tahun.
Kemenkes pernah mengecek hal itu lewat screening mental para peserta PPDS. Hasilnya 22,4% peserta PPDS diketahui mengalami depresi. Detailnya, dalam survei yang dilakukan pada 12.121 peserta PPDS di rumah sakit vertikal, pihak Kementerian Kesehatan menemukan ada sekitar 2.716 peserta PPDS yang mengalami depresi. Dari keseluruhan jumlah tersebut, 1.977 mengalami depresi ringan, 486 depresi sedang, 178 mengeluhkan depresi sedang sampai berat, dan 75 orang mengalami depresi berat. Sekitar 3,3% peserta PPDS yang mengikuti survei teridentifikasi ingin mengakhiri hidup atau melukai diri,(Kompas,18/8/2024).
Para dokter muda itu tersebar diberbagai rumah sakit pemerintah. Bahkan, pada 2023, beredar kabar di media sosial soal perundungan antardokter spesialis. Sungguh realitas tersebut sangat memprihatinkan bagi pendidikan kedokteran yang notabenenya harus menjunjung nilai-nilai profesionalisme serta etika kedokteran. Untuk itu, idealnya pendidikan kedokteran tidak seharusnya melibatkan perundungan. Dan, sudah semestinya pemerintah melalui Kemenkes, memiliki peran penting dalam mengakhiri budaya perundungan di PPDS.
Terkait perundungan itu, mengutip dari Kompas(18/8/2024) Menkes telah mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 tentang Pencegahan dan Perundungan Terhadap Peserta Didik Pada Rumah Sakit Pendidikan Di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Menkes telah memfasilitasi bagi siapapun yang ingin mengadukan kasus perundungan dokter pada pendidikan kedokteran spesialis melalui whatsapp 081299799777 dan website https://perundungan.kemkes.go.id/.Bentuk aksi perundungan yang dilakukan pada junior PPDS sangat beragam. Mulai dari beban kerja yang berlebihan, cacian dan makian dari senior, sampai ‘dipalak’ hingga puluhan juta rupiah untuk berbagai keperluan senior. Dan, aksi perundungan di PPDS ini harus dihentikan. Detailnya, berikut inilah beberapa langkah solusi yang sekiranya bisa diambil oleh Kemenkes untuk mengakhiri budaya perundungan di PPDS.
Pertama, menyusun regulasi anti-perundungan. Artinya, Kemenkes bisa mengeluarkan regulasi khusus yang melarang segala bentuk perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran, termasuk PPDS. Regulasi ini harus mencakup definisi jelas tentang apa yang dimaksud dengan perundungan, jenis-jenisnya, dan sanksi yang tegas bagi pelaku.
Kedua, perlu konsisten mengimplementasi kode etik nasional. Artinya, mengintegrasikan prinsip anti-perundungan dalam kode etik nasional untuk dokter spesialis, sehingga semua institusi pendidikan kedokteran wajib mematuhinya.
Ketiga, membangun mekanisme pengawasan. Artinya, Kemenkes dapat membentuk tim pengawas atau komite khusus untuk memantau dan mengaudit lingkungan pendidikan kedokteran, memastikan bahwa tidak ada praktek perundungan yang terjadi.
Keempat, melakukan audit berkala. Artinya, Kemenkes perlu melakukan audit berkala di institusi pendidikan kedokteran untuk menilai sejauh mana kebijakan anti-perundungan diterapkan dan dievaluasi.
Kelima, membangun sistem pengaduan nasional. Artinya, Kemenkes bisa mengembangkan platform pengaduan yang aman, rahasia, dan terintegrasi secara nasional, dimana peserta didik dapat melaporkan perundungan tanpa takut akan reperkusi.
Melalui kelima langkah-langkah itulah, maka pemerintah melalui Kemenkes dapat memainkan peran kunci, sekaligus berkontribusi dalam mengakhiri budaya perundungan di PPDS guna menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat, suportif, dan kondusif bagi pengembangan dokter spesialis yang profesional dan berintegritas tinggi.
———— *** ————–