oleh :
Vritta Amroini Wahyudi
Dosen Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang/Mahasiswa PhD Biotechnology Chulalongkorn University
Video seorang anak perempuan yang memperingatkan adiknya untuk tidak membeli camilan impor bermerk Pororo karena mengandung babi, meskipun mencantumkan logo halal, telah menggemparkan publik. Rekaman ini viral dan menimbulkan kekhawatiran, terutama di kalangan orang tua Indonesia yang cemas akan kehalalan produk konsumsi anak-anak mereka. Tidak hanya masyarakat awam, banyak pengamat halal, aktivis konsumen, hingga akademisi juga merasa terkejut. Bagaimana mungkin sebuah produk yang telah bersertifikat halal dari Korea Muslim Federation (KMF)-lembaga halal yang diakui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)-justru terindikasi mengandung bahan non-halal? Kasus ini tidak hanya menimbulkan tanda tanya besar terhadap produk Pororo, tetapi juga membuka diskusi lebih luas mengenai keandalan sistem sertifikasi halal lintas negara. Belum genap sebulan setelah temuan produk bersertifikat halal yang mengandung babi, temuan terbaru ini semakin menambah keraguan masyarakat terhadap sistem sertifikasi halal.
Produk Pororo berbeda dengan kasus produk bersertifikat halal sebelumnya. Pororo merupakan produk impor yang terkait dengan regulasi MRA (Mutual Recognition Arrangement), yang mengatur pengakuan sertifikat halal antarnegara dan memainkan peran penting dalam perdagangan produk halal global. Indonesia, melalui BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), telah mengakreditasi KMF sebagai Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN) yang diakui. Dengan pengakuan ini, sertifikat halal yang diterbitkan KMF dianggap sah dan diakui di Indonesia, sehingga produk asal Korea Selatan dengan logo halal KMF dapat beredar tanpa perlu sertifikasi tambahan. Namun, kasus Pororo ini menjadi pengingat bahwa MRA bukanlah akhir dari proses pengawasan. Regulasi tersebut perlu didukung oleh sistem monitoring, validasi, dan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan integritasnya. Selain itu, MRA memerlukan komunikasi intensif antarotoritas halal untuk memastikan bahwa standar yang diterapkan benar-benar setara. Perbedaan interpretasi standar halal, praktik produksi, dan labelisasi perlu dicermati bersama. Tantangan utamanya terletak pada transparansi data dan akses informasi antara lembaga halal di negara asal dan lembaga pengawasan di Indonesia. Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa kepercayaan masyarakat tidak hanya dibangun oleh dokumen, tetapi juga oleh bukti nyata bahwa sistem pengawasan berfungsi dengan efektif. Kasus Pororo menyampaikan pesan penting yaitu, perlunya langkah konkret untuk menjaga kepercayaan publik.
Biosensor dan SJPH
Kasus Pororo menjadi alarm bagi semua pihak. Kita membutuhkan sistem deteksi cepat (fast detection) untuk memastikan kehalalan produk impor, bukan hanya berdasarkan dokumen, tetapi juga melalui verifikasi sampel secara ilmiah. Dalam hal ini, halal authentication berbasis teknologi menawarkan prospek biosensor melalui pendekatan omics. Pendekatan omics tersebut meliputi genomics (DNA), transcriptomics (ekspresi gen), metabolomics (komponen metabolit), dan juga proteomics (fingerprint protein). Keunggulan biosensor dibandingkan dengan alat deteksi high-throughput adalah kepraktisan dan juga potensi sensitivitas serta spesifikasi yang tinggi, yang membantu mendeteksi keberadaan komponen non-halal, meskipun dalam bentuk produk turunan. Produk minuman Pororo memang tidak mengandung daging babi, namun bahan tambahan seperti gula atau pemanis kemungkinan bisa menggunakan bahan turunan yang diambil dari enzim babi. Hal ini menjadi contoh nyata bahwa sains, khususnya laboratorium, tidak boleh dianggap sebagai pelengkap saja. Hasil laboratorium perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem audit.
Sesungguhnya, para akademisi di Indonesia, bersama dengan negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan negara-negara Timur Tengah, telah menghasilkan berbagai publikasi penelitian dan prototipe yang sangat siap untuk diterapkan dalam sistem halal. Menilik masa depan, kita bisa membayangkan jika Indonesia memiliki alat deteksi cepat – seperti tes kehamilan- tetapi untuk DNA babi atau bahan non-halal lainnya pada produk makanan. Alat ini bisa digunakan oleh petugas untuk sampling audit secara cepat dan berkelanjutan sehingga keabsahan sertifikat halal, baik produk dalam negeri maupun impor, tetap terjaga.
Integrasi biosensor dalam Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) di Indonesia akan memperkuat kepercayaan publik dengan meningkatkan transparansi dan akurasi dalam pengawasan produk halal. Biosensor yang mampu mendeteksi bahan non-halal secara cepat dan akurat menawarkan solusi konkret untuk verifikasi kehalalan produk, mendukung dokumen dalam alur sertifikasi. Dalam konteks MRA pada produk impor, biosensor juga dapat menjadi alat penting untuk mengatasi keraguan yang timbul akibat perbedaan interpretasi standar halal antarnegara.
Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan dukungan regulasi yang kuat serta edukasi publik tentang pentingnya teknologi ini dalam menjaga integritas sistem halal. Dengan membangun ekosistem yang mendukung hilirisasi riset dan implementasi biosensor, Indonesia dapat memperkuat perannya dalam memverifikasi dan mengawasi produk halal secara lebih akurat. Ini akan menjadi langkah besar dalam memperkuat sistem halal yang transparan, efisien, dan dapat dipercaya di tingkat global. Keberadaan teknologi biosensor yang dapat mendeteksi komponen non-halal dengan cepat dan akurat akan sangat berperan dalam menjaga integritas sistem halal di Indonesia.
————- *** —————–