26 C
Sidoarjo
Tuesday, December 10, 2024
spot_img

Perempuan dalam Keluarga Perspektif Feminisme Liberal

Oleh :
Afdal Adam
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

Perempuan merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan, sehingga banyak topik yang diangkat dengan latar belakang perempuan. Kelebihan-kelebihan perempuan tecakup dalam peran yang dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah yang timbul akibat peran perempuan.

Pembahasan mengenai perempuan dengan sejuta problematika melahirkan pemikiran beberapa ahli yang menghasilkan teori-teori sosial mengenai sisi perempuan seperti feminisme (gender) dengan beberapa paradigma (Faqih, 2012: 80-98).

Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, perempuan menjadi tumpuan bagi pembangunan bangsa ini. Pahlawan yang membela Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme tidak hanya terlahir dari kaum laki-laki saja.
Peran perempuan sebagai pahlawan pembela tanah air pun tidak dapat dipungkiri lagi kebenarannya.

Hal tersebut membuat banyak ahli sosial mengadopsi teoriteori perubahan sosial dari abad ke-18 yang menyatakan bahwa perempuan dapat menjadi aktor pembawa kelangsungan pembangunan bangsa (Aswiyati, 2016: 2).

Menjadi perempuan yang memiliki banyak peran tidaklah semudah yang dibayangkan. Diperlukan keterampilan tambahan atau ilmu pengetahuan yang dapat menunjang peran yang dilakukan perempuan. Apabila perempuan ingin bekerja dalam kaitannya membantu suami, maka ia harus memiliki kemampuan bekerja pada bidang pekerjaan yang ia kerjakan.

Perempuan melakukan peran ganda akan memiliki perbedaan pembagian waktu melakukan perannya dibandingkan dengan perempuan yang melakukan peran tunggal. Perempuan yang bekerja tidak hanya untuk mengisi waktu luang, namun juga mereka ingin meningkatkan taraf kehidupannya sendiri maupun keluarganya.

Menurut Aswiyati (2016: 7) bahwa perempuan di pedesaan bekerja bukan semata-mata untuk mengisi waktu luang atau mengembangkan karir, tetapi untuk mencari nafkah karena pendapatan suaminya dikatakan kurang mencukupi kebutuhan sehingga banyak perempuan atau ibu rumah tangga yang bekerja. Apabila pendapatan suami kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka tidak dapat dipungkiri adanya peran yang harus dilakukan oleh perempuan selain perkejaan domestik.

Keinginan untuk membantu suami dalam meningkatkan ekonomi keluarga bagi perempuan dewasa ini tidaklah sulit. Perempuan memperoleh kebebasan untuk bekerja membantu suami mereka dalam hal meningkatkan pendapatan keluarga.
Mulai dari berkebun, bertani, berdagang, hingga menjadi buruh pabrik dilakukan oleh perempuan agar dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.

Hal yang tidak kalah penting adalah pekerjaan rumah dilakukan bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga agar dapat terlaksana semua kegiatan baik bekerja di luar rumah, sekolah, maupun pekerjaan domestik seperti yang diharapkan dari keluarga tersebut.

Pada kenyataannya masih banyak perempuan, terutama ibu rumah tangga yang tidak memiliki akses untuk memiliki peran lebih di kalangan masyarakat. Akses yang ada di era modernitas ini diperuntukkan bagi manusia yang dapat mengelola peluang usaha dengan baik yang memadukan unsur modernitas sesuai dengan perkembangan zaman.

Penggunaan teknologi modern pun tidak dapat dihindari untuk menunjang usaha yang dikelola. Oleh sebab itu, perempuan menjadi terhambat untuk melakukan peran yang lebih seperti bekerja dan memulai usaha.

Era yang serba modern ini, perempuan atau ibu rumah tangga masih terbenani dengan pekerjaan domestik yang seolah-olah dibebankan kepadanya saja.

Berita Terkait :  Fatwa Jihad Santri 1945

Sebelum memulai pekerjaan pada sektor publik perempuan harus mengerjakan pekerjaan domestik terlebih dahulu, seperti mencuci, menyapu, memasak, dan mengurus anggota keluarga.

Selain itu, beberapa perempuan hanya bekerja pada sektor tertentu yang kebanyakan adalah pedagang kecil, buruh pabrik dengan upah rendah, serta petani sayur mayur.

Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya pendidikan formal yang mereka dapatkan saat masih muda. Tidak lulus SD menjadikan mereka tidak dapat menulis dan membaca.

Fenomena semacam ini merupakan faktor nyata yang ada di pedesaan yang membuat perempuan atau ibu rumah tangga terhambat aksesnya untuk maju membantu meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia adalah setengah dari tenaga kerja laki-laki. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang salah satunya adalah pendidikan.

Pada umumnya, perbincangan mengenai feminisme merupakan perbincangan tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan disektor domestik dan publik.

Feminisme memiliki sifat keperempuanan dalam sejarah, gerakan feminisme itu lahir dari awal kebangkitan perempuan untuk menggeser status sebagai makhluk kedua setelah lelaki di dunia ini.

Gerakan feminisme berkembang pada abad pertengahan Eropa, yaitu pada abad 16-19 M (Siti Muslikhati, 2004). Feminisme liberal adalah aliran feminisme yang berkonsentrasi pada kesetaraan hak antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme Liberal sangat mendukung hak-hak individu dalam memenuhi keinginan, kepentingan, dan cita-cita yang harus dilindungi oleh hukum (Jill Steans, 2006).

Dalam literatur yang lain dijelaskan feminisme liberal merupakan salah satu jenis feminisme yang lahir akibat pemikiran politik. Humm (Kartika, 2014:2) menyatakan bahwa Feminisme Liberal adalah gerakan yang tercermin dalam setiap perjuangan yang dilakukan oleh perempuan untuk menuntut hak kebebasan mereka. Akibat perempuan sering mendapatkan diskriminasi, tidak hanya di rumah, dalam tempat kerja pun mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda Perempuan sering dijadikan objek dalam berbagai jenis kekerasan, dan fenomena tersebut kebanyakan luput dari jangkauan formal hukum atau politik internasional.

Untuk itu, Feminisme Liberal berusaha untuk mencegah atau mengurangi kekerasan terhadap perempuan tersebut dengan cara memberikan porsi yang setara untuk perempuan agar dapat bergabung atau berintegrasi di dalam berbagai level pemerintahan tanpa mengubah proses sosialisasi antara perempuan dan laki-laki (Laura Sjoberg, ed. 2010).

Seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, ciri dari gerakan ini tidak mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan memasukan wanita kedalam struktur yang ada berdasarkan prinsip kesetaraan dengan laki-laki. Feminisme Liberal mengatakan bahwa subordinasi perempuan karena adanya setting budaya dan hukum yang membatasi akses dan aktualisasi perempuan di sektor publik, karena itu segala hukum dan budaya yang berasaskan patriarki harus diganti dengan yang berkesetaraan gender.

Dalam artikel ini, penulis menganalisis berdasar dua narasumber yakni Sri Widayanti (52 Tahun, Tukang Sayur)
dan Sadinah (73 Tahun, Petani). Menurut saya pandangan kedua narasumber diatas mengenai perempuan sesuai dengan teori feminisme liberal.

Berita Terkait :  Siapa Butuh Asuransi?

Menurut Schwartzman (2006), feminisme Liberal dapat dipahami dari prinsip-prinsipnya yaitu: (1). All persons have an essential interest in leading a life in accordance with their own conception of value (Semua orang memiliki kepentingan yang mendasar dalam memimpin menjalani kehidupannya sesuai dengan konsep nilai mereka sendiri). (2). All person have an interest in freedom and liberties needed to develop and revise their conception of the good (Semua orang memiliki kepentingan dalam kebebasan dan kebebasan yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan memperbaiki konsepsi mereka untuk kebaikan). (3). Government must treat individuals with equal concern and respect (Pemerintah harus memperlakukan tiap individu dengan kepedulian dan rasa hormat yang sama).

Dilihat dari prinsip-prinsip yang disampaikan di atas, kelompok ini termasuk paling moderat di antara kelompok feminis. Kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang dominan.

Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peranperan tersebut. Gerakan feminisme liberal memiliki beberapa indikator penting yang menjadi pedoman untuk mengetahui sejauh mana seseorang dikatakan memiliki pemikiran feminisme Liberal, indikator tersebut adalah, perempuan memiliki pilihan dan mampu berpikir secara individu, dan rasional.

Seorang perempuan berhak tidak menikah, bekerja, dan merubah dirinya ke arah yang lebih baik jika itu adalah pilihan pribadinya dan perempuan tersebut merasa pilihan itu adalah yang terbaik untuknya.
Feminisme Liberal juga merasa bahwa pekerjaan di sektor domestik adalah pilihan yang tidak baik karena tidak menguntungkan untuk perempuan, dan akar dari ketertindasan yang ada berasal dari diri perempuan itu sendiri. Kaum feminis liberal juga mengajak para perempuan, baik perempuan yang telah menikah dan mempunyai anak maupun perempuan yang belum menikah atau telah bercerai untuk bekerja (Tong, 2009).

Alasannya dijelaskan oleh Friedan (Tong, 2009) yaitu karena bagi perempuan- perempuan yang hidup sendiri tanpa adanya tunjangan dari pria disekitarnya, akan sulit memenuhi kebutuhan finansialnya. Kaum feminis liberal menyatakan bahwa perempuan zaman sekarang merupakan perempuan yang “Superwomen”, mereka dapat melebihi kemampuan mereka sebagai seorang wanita dan mulai mendapat penyetaraan dengan kaum laki-laki.

Friedan dalam Tong (2009): “Observing the ways in which some members of her daughter’s generation ran themselves ragged in the name of feminism trying to be full-time career women as well as full-time housewives and mothers Friedan concluded that 1980s “superwomen” were no less oppressed (albeit for different reasons) than their 1960s “stay-at-home” mothers had been”.
“Mengamati cara beberapa anggota dari generasi putrinya yang berlari dengan membawa nama feminisme mencoba menjadi wanita karir yang bekerja penuh dan sekaligus menjadi ibu rumah tangga yang mengurus secara penuh.

Berita Terkait :  Generasi Lemas Indonesia Cemas

Friedan menyimpulkan bahwa era 1980-an perempuan “Superwomen” pun tak kalah tertindas (walaupun dengan alasan yang berbeda) dengan perempuan di era 1960-an yang menjadi ibu rumah tangga yang diam di rumah.” Meski memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pemenuhan hak asasi perempuan, feminisme liberal mendapatkan beberapa kritik, diantaranya;

Pertama, feminisme liberal dianggap kurang mempedulikan realitas sosial ekonomi dan terjadinya pembagian kerja secara seksual.

Kedua, feminisme liberal cenderung menekankan persamaan perempuan dan laki-laki (sameness), tanpa mempertimbangkan realitas kelas dan penindasan yang terjadi oleh ideologi patriarkhi yang berakibat pada penerimaan nilai-nilai laki-laki daripada menentangnya dengan menggunkan perspektif perempuan.

Ketiga, para feminisme liberal terkesan eksklusif perempuan kulit putih, kelas menengah dan heteroseksual (Valentina dan Ellin Rozana, 2007).

Feminisme liberal berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, oleh karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Feminisme liberal lebih memfokuskan pada perubahan undangundang yang dianggap dapat melestarikan sistem patriarki. Misalnya, kepala keluarga konvensional yang berlaku secara universal adalah suami sebagai pemberi nafkah dan pelindung keluarganya.

Hal ini oleh feminisme liberal tidak sesuai dengan konsep kebebasan individu untuk mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Konsep kepala keluarga ini menurut mereka dapat membuat perempuan menjadi terus tergantung pada lakilaki.

Feminisme liberal lebih fokus kepada penanganan diskriminasi perempuan daripada menuntut agar terjadi revolusi sosial dan politik. Secara umum Feminisme Liberal beranggapan bahwa perempuan dan laki-laki berbeda secara biologis, namun setara dalam hak (Putnam Tong Rosemarie, 1989).
Dasar pemikiran inilah yang menyebabkan para feminis masih ingin menuntut agar semua pihak meluruskan pikiran bahwasanya meski terdapat perbedaan biologis antara lakilaki dan perempuan, hal tersebut tidak sepatutnya dijadikan justifikasi atas tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan (Christine Sylvester, 2002)

Tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan saat ini memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, bahkan sebagai pencari nafkah dalam keluarganya dalam rangka pemenuhan ekonomi keluarga atau bahkan demi ‘sesuap nasi”, Al hasil perempuan memiliki peran ganda dalam keluarganya yakni perempuan sebagai istri yang mengembang tugas dan tanggungjawab di ruang domestik, dan perempuan pekerja menjadi tugas tambahannya di ruang publik demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Kontribusi perempuan pencari nafkah pada praktiknya sangat banyak, bahkan telah menjadi budaya atau tradisi dalam sebuah komunitas, terkait adanya pembagian tugas dan tanggungjawab dalam keluarga, misalnya pada masyarakat Mandar, Bugis, Jawa, dan beberapa komunitas lainnya, di mana perempuan diberi tempat yang terhormat, namun juga tidak melarang untuk berkontribusi di ruang publik, selama tidak melanggar agama, adat dan budayanya.

Hal ini menandakan bahwa antara laki-laki dan perempuan pada masyarakat telah mendapatkan peluang yang sama (setara), bahkan saat ini kaum perempuan dapat dikatakan juga sebagai sumber utama dalam ekonomi keluarganya.

————— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img