Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Studi PGSD dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Surakarta yang meminati penulisan di media massa
Dinamika edukasi menjadi epos tersendiri dimana beragam pemaknaan tersaji, Cerita sedih Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB ) setiap tahunnya dipastikan memunculkan superioritas dan inferioritas, Sekolah negeri menjadi elemen peneguhan segala superioritas, sehingga segala daya Upaya dilakukan dan sebgai isu sentral dan menjadi priortas utama layanan Pendidikan. Disisi lain sekolah swasta tanpa sadar penuh ketidakberdayaan dan menjadi proletariat dalam layanan Pendidikan. Sedemikian brutalkah penyikapan publik yang disuburkan penyelenggara Pendidikan negeri ini hingga memunculkan opini miring tersebut. Rilisan tahun 2022 menyebutkan Top 1000 Sekolah Menengah Atas (SMA ) Tahun 2022 dari Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) berdasarkan nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Berdasarkan data tersebut terungkap bahwa 5 besar sekolah terbaik diduduki oleh sekolah swasta. Fenomena ini sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan toh sekolah swasta juga merupakan ikhtiar anak bangsa untuk menggantang asa peningkatan kualitas insani.
Namun mendobrak platform penyelenggaraan Pendidikan selama ini bahwa sekolah negeri adalah segalanya peringkat tersebut sedemikian menohok. Tidak bisa dipungkiri ditengah derasnya wacana cerdas bahwa semua sekolah adalah sama realitasnya secara umum publik masih mengedepankan sekolah negeri adalah segala-galanya dibandingkan sekolah swasta. Kualitas serba jelas, fasilitas berkelas dan utamanya pembiayaan tidak menguras menjadi opini publik tak terbantahkan hingga saat ini. Fenomena kegalauan masyarakat untuk mengakses sekolah negeri ini menjadikan komoditifikasi sekolah negeri sedemikian menggurita hingga saat ini.
Layaknya sebuah komoditas ekonomis pihak pemerintah sebagai operator sekolah negeri bertindak sedemikian tangkas menangkap peluang pasar. Ketangkasan ini diterjemahkan pengelola sekolah negeri membuka penawaran dalam beragam metode dengan bertujuan menjaring peminat sebanyak mungkin. Faktanya pola penjaringan peserta didik ini sedemikian sporadis hingga memunculkan kompetesi serba tidak berimbang. Peran pemerintah sendiri sedemikian bias, sebagai regulator disisi lain berperan juga sebagai operator dengan menjadi kompetitor sekolah swasta. Dualisme peran pada beragam jenjang pendidikan berpijak dari kompetisi ketat serba berimbang tersaji sedemikian transparan tanpa disadari semakin memarjinalkan pendidikan swasta.
Persepsi ini sekan meneguhkan bahwa publik tidak mau main-main dalam memillihkan Pendidikan bagi putra-putrinya. Pilihan berbasis ideologi dianggap menjadi fundament utama demi meyelamatkan kehidupan anak-anaknya dalam menghadapi tantangan di masa mendatang dan menjawab pilihan tersebut ada di sekolah swasta yang mayortas berdasrkan ajaran agama.Ono rego Ono Rupo, diksi ini teras relevan pemberitaan diatas pilih untuk berkaitan mahalnya biaya masuk Sekolah swasta. Idiomswasta dalam KBBI online adalah bukan milik pemerintah; partikelir. Arti kata swasta inilah yang sedemikian sensitif. Publik pada akhirnya terdeukasi mereke memilih sekolah swasta dengan segala konsekuensinya dan dampaknya pun terasa dengan semakin mencuatnya kualitas Pendidikan di sekolah swasta seperti pemberitaan diatas.
Diskursus apakah sekolah swasta sebagai beban selayaknya perlu didiskusikan ulang mengingat pada kenyataannya berdasarkab data terakhir Jumlah Amal Usaha pendidikan di Muhammadiyah sebanyak 27.808 sementara LP Ma’arif NUmenaungi total 20.136 sekolah dan juga madrasah data tersebut masih kasar belum ditambah lembaga swasta lain penyelenggara pendidikan. Secara tidak langsung besaran data kuantitatif tersebut menunjukkan pengelolaan sekolah swasta tidak sekedar penggeruk dana publik namun memiliki idealisme demi membangun negeri. Kesalahan penyikapan penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah swasta tak pelak menempatkan idealisme penyelenggraan sekolah swasta ini belum semestinnya tersampaian proporsional. Disinilah Pihak pengambil kebijakan pendidikan dalam hal ini kementrian pendidikan dan kebudayaan sebagai instansi langsung pengelolaan sekolah swasta untuk menumbuhkan asa bagi kebermaknaan sekolah swasta bukanya memperkuat stigmasi negatif publik sekolah swasta dalam beragam reduksi.
Pelurusan makna penyelenggaraan pendidikan di sekolah swasta ini diharapkan mengurangi tudingan bahwa sekolah swasta sekedar menambah beban pendidikan berkelanjutan. Patut disadari bahwa sekolah swasta haikikatnya menanggung seluruh operasional penyelenggaraannya. Beratnya beban operasional sekolah swasta inilah yang hingga saat ini belum sepenuhnya disadari semua pihak. Berdasarkan latar operasional ini salahkah jika sekolah swasta menerapkan pembiayaan lebih dari standar pendidikan yang dianut publik selama ini?
Linierisasi peran
Teramat naif manakala memposisikan sekolah swasta dibully hanya sekedar masalah biaya yang dianggap mahal. Saya teringat perkataan seorang teman guru kolumnis Media Almarhum Rumongso manakala menanggapi rententan permasalahan di sekolah swasta “mengapa semua pihak mempertanyakan sekolah swasta, toh kami makan dari padi yang ditanam sendiri dan minum dari air sumur yang kami gali sendiri”, Pernyataan ini secara tersirat menunjukkan betapa sekolah swasta memiliki asa mengembangkan kualitas bangsa dengan metode kemandirian. Pernyataan ditambah pemberitaan diatas menyiratkan bahwa idealisme penyelenggaraan sekolah swasta tidak sekedar mencari laba namun mampu memecahkan permasalahan anak bangsa. Menampung seluruh siswa dengan segenap permasalahannya menjadikan sekolah swasta sebagai penyelamat pendidikan manakala jalan normal sedemikian terjal.
Menyikapi kondisi kekinian nampaknya terdapat perbedaan penyikapan pada dunia pendidikan manakala pendemi ini melanda. Pemenuhan Ketersediaan kesehatan, pangan, keamanan saat ini menduduki peringkat teratas penanganan pendemi ini namun kebijakan langsung di dunia pendidikan pengatasan dampak ini belum terlihat. Lantas bagaimana dengan penyikapan dampak pendidikan terutama sekolah swasta? Tudingan-tudingan miringpun mengemuka, Semua orang menuduh pendidikan tidak peka, Penyelenggaraan sekolah swasta dianggap tidak berempati ditengah pendemi, bahkan dalam detik.com 13 April 2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis laporan 213 aduan siswa mayoritas berisi keluhan para siswa terkait beratnya beban tugas yang harus mereka kerjakan selama belajar di rumah.
Menyibak peran pembelajaran yang tidak bisa berdiri sendiri dan terkait dengan beragam permasalahan sosial masyarakat. Kondisi ini ditarik pada platform kesejahteraan Bagaimana nasib sekolah swasta yang mengandalkan pungutan dari siswa?. Tuntutan peran edukasi ini memerlukan amunisi memadai, pada sekolah negeri pemenuhannya tidak begitu bermasalah namun kondisi ini berkebalikan pada sekolah swasta. Saya beberapa kali mencermati pengelola sekolah swasta mulai bertanya tentang keberlaanjutan edukasi dimasa kini. Persepsi ini bukanlah isapan jempol semata pada beberapa sekolah swasta ditemukan yang pemasukan SPP hanya 10persen dari masa normal jika pemenuhan kesejahteraan guru diperoleh dari pungutan masyakakat, penyelenggaraan pendidikan swasta pun dengan kondisi ini tinggal menghitung hari.
Peradaban pendidikan
Tantangan yang muncul menyikapi kondisi ini dari pemahaman orang tua ini serba disalahartikan. Pengaruh penyelenggara pendidikan sangat terasa di sekolah swasta dan teramat tidak layak jika empati penyelenggaraan sekolah swasta ini tidak jua terlaksana. Menyikapi pendemi ini penyikapannya haruslah konstruktif dengan mempertimbangkan berbagai kondisi penunjang pendidikan di lapangan.Menyikapi kodisi sekolah swasta ini penyikapannya haruslah konstruktif dengan mempertimbangkan berbagai kondisi penunjang pendidikan di lapangan yaitu
Tingkatkan Keberpihakan sekolah swasta, bukannya menganak emaskan satu layanan pendidikan dibandingkan layanan pendidikan lainnya namun ditengah pendemi ini sekolah swasta merupakan sekolah yang terdampak langsung dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Salah satu kebijakan lanjutan menyatakan dana BOS (Bantuan Operasional Siswa) diperbolehkan untuk pembelian kuota pendukung pembelajaran daring namung pemenuhan pensejahteraan guru belum tersentuh. Alangkah elegannya ada kebijakan berkaitan perut sang guru agar pembelajaran terus menderu. Keberpihakan berkaitan kebijakan penyelenggaran ini teramat dinantikan, hal ini bisa dilakukan dengan membuka keran kebijakan untuk kesejahteraan pendidikan
Manakala berpikir lebih ijka keberadaan sekolah swasta tidak bisa dipandang sebelah mata dalam ikhtiar mencerdaskan bangsa.Permasalahan riil mencakup seluruh usia sekolah ini justru belum sepenuhnya menggembirakan bagi penyelenggaraan sekolah swasta dimana kesan kelasdua masih mengemuka. Sekolah swasta merupakan peneguhan ideologi, usianya melebihi negeri termasuk pendidikan Kesetaraan peran layanan pendidikan,
Pihak Depdikbud teramat dinantikan keberimbangan peran. Inilah yang menjadi fokus mengingat selama ini Depdikbud optimalisasi pembinaan sekolah belum sepenuhnya terasa, hal ini bukan tanpa alasan sekaligus menjadi sebuah implikasi regulator sekaligus operator.Tidak pelu risau Jika sekolah negeri mulai sepi, sepinya sekolah negeri dan diikuti semaraknya publik mengakses pendidikan di sekolah swasta secara tidak langung menjadikan keberimbangan peran pendidikan. Pembiayaan pendidikan bukanlah permasalah besar sepanjang pertanggungjawaban pelaksanaan pendiidkan bisa diperlihatkan. Mendudukkan permasalahan pendidikan sesuai proporsi adalah keniscayaan agar tidak terjadi salah persepsi edukasi berkelanjutan.
———– *** ————-