Peredaran makanan (dalam kemasan) “mengandung babi” ditemukan oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Bahkan tujuh nama merek makanan kemasan mencantumkan label halal. Sedangkan dua merek tidak mencantumkan label “haram,” karena nyata-nyata mengandung unsur babi. Importir diwajibkan menarik seluruh makanan yang mengandung unsur babi. Sekaligus juga akan dituntut pidana sebagai manipulasi ingredients (kandungan isi).
Tim BPOM bersama BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), menemukan sembilan produk jajanan anak mengandung porcine (unsur babi). Istilah ilmiyah yang telah popular, segala unsur yang berasal dari babi, untuk produk makanan, dan kosmetik. Porcine, juga digunakan dalam biomedis. Khususnya dalam riset pengembangan organ dan transplantasi lintas spesies. Seharusnya, setiap terdapat kandungan porcine, otomatis “haram.” Maka tidak boleh mencantumkan label halal.
KPAI (Komisi Perlindungan Anak) juga akan mengajukan gugatan hukum, karena seluruh makanan dalam kemasan, merupakan jajanan anak-anak. Sejenis permen. KPAI menilai pencantuman logo “halal” merupakan penipuan terhadap konsumen. Nyata-nyata terdapat pelanggaran terhadap pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pada pasal 8 mengatur tentang larangan pelaku usaha berbohong.
Dalam pasal 8 ayat (1) huruf f, memperdagangan barang yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakandalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi. Serta pasal 9, harus jujur. Tidak boleh mem-promosikan barang dagangan menjadi “seolah-olah.” Selanjutnya pada pasal 10, dinyatakan, “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, memproamosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan… .”
Artinya, kejujuran wajib menjadi patokan dalam ber-promosi, dan menuliskan keterangan dalam label. Terutama dalam ingredient (isi). Terutama label “halal” wajib dicantumkan, dengan ke-taat-an benar-benar halal. Jika produk jual tidak halal, maka tidak boleh mencantumkan label “halal.” Sanksi pelanggaran pasal 8, tercantum pada pasal 62. Yakni, berupa hukuman pidana penjara maksimal lima tahun, atau dendan maksimal sebesar Rp 2 milyar.
Produk yang dinyatakan “haram” berdasar temuan BPOM (Bersama BPJPH), adalah jajanan anak-anak, yang kondang dengan sebutan dagang Marshmallow. Terdapat 7 produk yang “haram,” dan wajib ditarik dari peredaran. Yakni, Marshmallow Jelly, aneka rasa. Lalu ada Marshmallow Teddy, Marshmallow bentuk mobil, dan Marshmallow bentuk bunga. Selain itu terdapat Marshmallow bentuk tabung, dan Gelatin. Serta Marshmallow bentuk kepala panda. Tiga Marshmallow merupakan produk makanan impor dari Philipina. Sedangkan 4 produk lain dari China.
Ironis, ketujuh produk jajanan anak yang mengandung unsur babi, tetapi diberi label “halal.” Sedangkandua Marshmallow lainnya, kode dagang AAA, rasa jeruk, serta Sweetme rasa cokelat, tidak diberi label “halal.” Karena benar-benar mengandung unsur babi, haram. Seluruh jajanan haram, dijual di berbagai toko, sudah sangat populer.
UU Nomor 33 Tahun 2013 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), seharusnya telah berlaku sejak tahun 2015. Tetapi hampir satu dekade, belum terlaksana secara baik. Bahkan masih banyak perusahaan besar (obat dan makanan), belum mengurus sertifikasi halal. Termasuk berbagai vaksin yang beredar di Indonesia, belum ber-sertifikat halal. Padahal seharusnya, setiap produk makanan, minuman, dan obat-obatan, wajib mencantumkan label “halal.”
UU Tentang JPH pada pasal 39, menyatakan “Pencantuman Label halal … harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.” Terdapat frasa kata “mudah dilihat dan dibaca” sebagai perlindungan awal konsumen (tidak ragu tercampur bahan haram). Pemerintah juga harus menjamin pengurusan sertifikasi “halal” yang mudah, cepat, dan transparan.
——— 000 ———