Dindik Jatim, Bhirawa
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti beri sinyal Ujian Nasional (UN) akan diselenggarakan. Hanya saja UN menurut Mu’ti, UN belum akan dilaksanakan pada tahun 2025.
Terkait kebijakan ini, Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim meminta agar Mendikdasmen meninjau tujuan UN secara komprehensif. Menurut Kadindik Jatim, Aries Agung Paewai sebelum kembali memberlakukan UN, sangat penting untuk merefleksikan secara mendalam tujuan utama dari kebijakan ini.
UN, kata Aries, bukanlah sekedar sederet angka atau skor, melainkan sebuah cerminan dari bagaimana sistem pendidikan menghargai proses belajar siswa. “Jika UN diberlakukan kembali, fokus utamanya harus diarahkan pada upaya untuk memahami dan memetakan capaian pembelajaran secara nasional. Ini berarti UN harus menjadi alat yang membantu kita mengenali kekuatan dan tantangan pendidikan di berbagai daerah, bukan sebagai instrumen seleksi yang berpotensi menambah beban mental siswa,” jabarnya dihubungi Bhirawa, Minggu (5/1).
Di samping itu, UN harus mengintegrasikan pendekatan penilaian berbasis kompetensi. Artinya, UN seharusnya tidak lagi hanya menjadi alat untuk mengukur kemampuan kognitif siswa secara sempit, seperti hafalan atau penguasaan materi pelajaran tertentu. Lebih dari itu, UN perlu dirancang untuk menggali dan mengevaluasi kemampuan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, serta menciptakan solusi yang inovatif. Selain itu, UN yang berbasis kompetensi dapat menjadi sarana untuk menilai dan mengembangkan nilai-nilai karakter, seperti kerja sama, tanggung jawab, dan integritas.
Aries juga menilai, dalam pelaksanaan UN, pemerintah harusnya memberikan otonomi kepada daerah. Dalam konteks UN penting untuk mengakui bahwa siswa dari daerah yang berbeda mungkin menghadapi situasi pembelajaran yang tidak sama, baik dari segi akses sumber daya, infrastruktur, maupun pendekatan pengajaran.
“Dengan memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk menyesuaikan materi ujian berdasarkan kebutuhan lokal, kebijakan ini tidak hanya menghormati keberagaman tetapi juga mengakui bahwa setiap anak memiliki hak untuk belajar dan dievaluasi dengan cara yang relevan dengan realitas mereka,” jabarnya.
Aries juga meminta agar pemerintah menerapkan sistem penilaian hybrid yang dinilai lebih objektif. Sistem penilaian itu meliputi portofolio, penilaian berbasis proyek dan observasi. Sehingga, UN tidak seharusnya menjadi satu-satunya alat untuk mengevaluasi capaian siswa.
Pelaksanaan UN, dinilai Aries juga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam memastikan akses dan kesetaraan. Mengurangi tekanan psikologis pada siswa, melibatkan guru dalam proses penyusunan dan penilaian, memanfaatkan teknologi dalam pelaksanaan UN. Serta mengintegrasikan UN dengan Sistem Asesmen Nasional.
“Perlu juga melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan UN. Untuk memastikan kebijakan Ujian Nasional (UN) tetap relevan dan memberikan manfaat maksimal, evaluasi berkala perlu dilakukan secara menyeluruh,” pungkasnya.
Sementara itu, menurut Pakar Pendidikan UM Surabaya, Achmad Hidayatullah Ph.D Pakar menjabarkan tiga catatan penting. Pertama, kata Dayat ada keyakinan di masyarakat yang berkembang bahwa UN dapat meningkatkan mutu pendidikan. Artinya, saat siswa mengerjakan UN pada mata pelajaran tertentu, secara tidak langsung siswa juga didorong untuk menganggap bahwa pelajaran lain yang tidak ada dalam ujian tidak penting.
“Hal ini cenderung mereduksi kemampuan individu untuk membentuk keyakinan bahwa ilmu pengetahuan terhubung satu sama lain yang selalu berkembang serta dinamis,”ujar Dayat.
Kedua, UN sebaiknya jadi alat ukur ketercapaian saja bukan kelulusan. Pengalaman sistem pelaksanaan UN terdahulu justru menunjukkan sebaliknya. “Ketika dijadikan alat ukur kelulusan siswa dan berlangsung tiga hari, sistem tersebut justru mendorong siswa untuk meyakini bahwa dalam belajar yang terpenting adalah hasil, sedangkan proses seperti ketekunan, rasa ingin tahu adalah nomor sekian,”kata Dayat lagi.
Lebih lanjut lagi, kata Dayat sistem pengerjaan soal tes UN yang memakai jawaban benar atau salah, mendorong siswa untuk membentuk keyakinan tentang pengetahuan absolut, ada salah dan benar. “Siswa tidak lagi berpikir reflektif maupun evaluatif terhadap sebuah teks soal. Wujudnya siswa lebih banyak investasi waktu untuk mempelajari teknis mengerjakan soal tes dan menghapalkan rumus dan definisi,”imbuhnya.
Ketiga, sistem UN dan motivasi siswa. Ada keyakinan yang berkembang di masyarakat (beliefs) bahwa UN dapat memotivasi siswa untuk belajar. Sejak tidak ada UN siswa dan guru dianggap sama-sama tidak punya motivasi karena tidak dianggap memiliki tantangan.
“Belum ada riset yang menyebutkan bahwa UN di Indonesia dapat memotivasi belajar siswa. Meskipun kalau dicari-cari sumbernya, bisa saja dihubungkan dengan jenis penilaian tertentu yang berpengaruh terhadap motivasi belajar,”imbuhnya.
Dayat mencontohkan, ketika UN dihubungkan dengan penilaian sumatif atau penilaian yang dilakukan di akhir periode pembelajaran, hasil studi ini masih terjadi perdebatan. “Studi systematics literature review (SRL) yang dilakukan oleh Wynne Harlen dkk (2002) menemukan bahwa penilaian sumatif cenderung memberi dampak negatif terhadap siswa,”tegasnya.
Sementara itu, hasil riset yang dilakukan Seyed M. Ismail dkk (2022) menyebutkan penilaian sumatif berdampak terhadap motivasi, namun dampaknya tidak sekuat penilaian formatif. “Sayangnya, riset tersebut terikat konteks, ruang dan waktu yang berbeda. Sehingga tidak bisa digeneralisir dalam konteks UN di Indonesia,”pungkasnya.
Sebelumnya, Mendikdasmen Mu’ti menjelaskan konsep dan skema UN sebetulnya sudah siap, tapi pemerintah masih menunggu waktu untuk menyelenggarakan UN lagi. “Ujian Nasional sudah siap sebenarnya secara konsep, tapi 2025 ini belum kita laksanakan. Insya Allah kalau nanti sudah masuk pada tahun pelajaran yang berikutnya, skemanya seperti apa, itu nanti akan kita umumkan pada waktunya,” kata Mu’ti di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta, Senin (30/12).
Mu’ti belum merinci lebih jauh soal rencana penerapan UN ini. Ia mengatakan kemungkinan ada bentuk baru UN yang akan diterapkan di tahun ajaran 2025/2026. “Di tahun ajaran 2025/2026, tapi nanti bentuknya seperti apa sampai ada pengumuman lebih lanjut,” tuturnya.
Mu’ti menjelaskan UN sebetulnya penting untuk pemetaan mutu peserta didik. Dia bercerita jika Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru perlu data yang berkaitan dengan kemampuan individual para siswa yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
“Selama ini dengan sistem yang ada sekarang kan sampling, sehingga kemampuan yang ada ya sampling. Maka keperluan dengan penerimaan mahasiswa baru itu nanti kalau misalnya nanti akak kita laksanakan maka itu akan bersifat individual bukan sampling,” kata dia. [ina.wwn]