Masyarakat (dan pemerintah) patut meningkatkan penghematan lebih ketat. Karena tanda-tanda kemerosotan perekonomian nasional (dan global) semakin nyata. Terutama pemasukan negara dari perpajakan susut sampai 30,1% dibanding periode yang sama tahun (2024). Tanda kemerosotan juga tercermin dari pergerakan IHSG yang terkoreksi 6,12%. Sampai perlu dilakukan trading halt (penghentian sementara) di lantai bursa selama 30 menit. Terjadi deflasi secara nasional, beberapa bulan secara berturut-turut.
Deflasi, menandai daya beli masyarakat makin menurun. Terutama kalangan menengah (karyawan pabrik swasta nasional) yang selama ini pada zona nyaman, semakin terancam. Selain deflasi tahunan, BPS (Badan Pusat Statistik) juga mengumumkan deflasi bulanan pada Pebruari 2025. Diharapkan bulan Ramadhan, sebagai periode sebulan berbelanja secara kolosal, akan mengatrol perekonomian. Namun kalangan pedagang ritel di sentra belanja di kota-kota besar, menhyatakan penurunan omzet.
Berbagai media luar negeri turut memberitakan kemerosotan perekonomian Indonesia. Antara lain, The Star memapar penulisan berjudul “Indonesian Stocks Plunge 7% as Growth, Fiscal Worries Weigh.” Bercerita tentang kemerosotan bursa saham di Indonesia. Sampai IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) melemah pada angka 6.076,08 (turun 6,12%) pada penutupan perdagangan Selasa, 18 Maret 2025. Tidak bisa dianggap sepele. Karena The Star, memapar berbagai kondisi fiskal pada Januari – Pebruari.
Terutama penerimaan negara dari total perpajakan (murni) susut sebesar 30,2%. Yakni, tahun (2024) lalu diterima sebesar Rp 269,02 trilyun. Tetapi sampai Pebruari 2025 pajak yang masuk masih sebesar Rp 187,8 trikyun. Total sampai Pebruari 2025 tercatat sebesar Rp 240,4 trilyun. Padahal periode yang sama tahun 2024 lalu mencapai Rp 320,51 trilyun (susut hampir 25%).
Kemerosotan juga dicatat oleh rupiah yang makin melemah. Nilai kurs rupiah terus merosot ke level Rp 16.500 per-US$ pada hari Sabtu (22 Maret 2025). Menjadikannya sebagai penurunan paling tajam di Asia setelah won Korea Selatan. Rupiah disebut sebagai salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada kuartal pertama 2025. Padahal APBN tahun 2025 mempagu nilai kurs dolar Amerika Serikat, sebesar Rp 16 ribu. Belum pernah tercapai sejak awal 2025.
Pernah terjadi “kenangan” nilai kurs US$ sebesar Rp 8.170,- seperti “berita salah” yang dibuat google (1 Pebruari 2025). Tapi sudah sangat lama, sekitar dua dekade silam (2000-an). Yakni, pada bulan Mei 2003 (22 tahun silam), rupiah bertahan pada kurs Rp 8.279,- per-US$. Bahkan pernah senilai Rp 2.383,- per-US$ pada tahun 1996. Sampai saat ini rupiah makin terjerumus mendalam.
BPS (Badan Pusat statistik) mengumumkan deflasi tahunan pada Februari 2025 tercatat sebesar 0,09% dibandingkan tahun sebelumnya. Deflasi saat ini bagai mengulang kemerosotan ekonomi 25 tahun silam. Walau sebenarnya deflasi mengindikasikan turunnya harga-harga barang dan jasa. Tetapi saat ini sebaliknya, harga barang dan jasa sedang tren naik. Sehingga para ekonom meng-ingatkan deflasi tahunan ini “semu,” di-ikuti menurunnya daya beli masyarakat.
Berdasar data PMI (Purchasing Managers’ Index) Manufaktur Agustus 2024, terkontraksi di bawah level 50. Artinya tumbuh negatif. Ternyata benar, tak lama terjadi penghentian operasional PT Sritex group. Menyebabkan hampir 11 ribu buruh kehilangan pekerjaan. Niscaya semakin mengurangi kelas menengah.
Maka pemerintah berkewajiban melindungi segenap rakyat dari jerat kemiskinan. Sesuai arahan konstitusi. Bahwa seluruh rakyat Indonesia, adalah keluarga. Sehingga UUD pada pasal 33 ayat (1), menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Bahkan yang lemah harus ditopang negara.
——— 000 ———